"Mas Arfan nggak ikut, Pa. Yuk! Makan soto dulu, Pa." Aku beranjak lalu pergi ke dapur. Rasanya masih kurang pas, jikalau aku membahasnya secara gamblang perihal permasalahang yang terjadi di rumah tanggaku. Kutinggalkan Papa yang masih duduk di ruang tamu. Lalu bertolak ke dapur menyusul Mama."Gimana, Ma? Udah dipanasin kuah sotonya?" tanyaku basa-basi ketika melihat Mama sedang sibuk menyiapkan beberapa masakan di dapur."Udah, yuk makan dulu. Pasti kamu udah kelaperan lagi, 'kan?" Wanita yang memakai kerudung krem seresi dengan baju daster yang dikenaknya itu pun menyerahkan piring kosong ke tanganku, ketika aku sudah duduk di kursi meja makan.'Ya Allah, bantu aku untuk menjelaskan semua ini dengan kata-kata yang bisa dipahami dan dimengerti oleh kedua orang tuaku. Kuatkan juga hati kedua orang tuaku menerima kabar buruk ini, Ya Rabb.'"Eh, malah diliatin aja, diambil dong nasinya, Lan! Jangan diliatin aja," ujar Mama membuyarkan lamunanku."Oh iya, Ma," jawabku terkesiap. Masih
"Mas Arfan nggak ikut, Pa. Yuk! Makan soto dulu, Pa." Aku beranjak lalu pergi ke dapur. Rasanya masih kurang pas, jikalau aku membahasnya secara gamblang perihal permasalahang yang terjadi di rumah tanggaku. Kutinggalkan Papa yang masih duduk di ruang tamu. Lalu bertolak ke dapur menyusul Mama."Gimana, Ma? Udah dipanasin kuah sotonya?" tanyaku basa-basi ketika melihat Mama sedang sibuk menyiapkan beberapa masakan di dapur."Udah, yuk makan dulu. Pasti kamu udah kelaperan lagi, 'kan?" Wanita yang memakai kerudung krem seresi dengan baju daster yang dikenaknya itu pun menyerahkan piring kosong ke tanganku, ketika aku sudah duduk di kursi meja makan.'Ya Allah, bantu aku untuk menjelaskan semua ini dengan kata-kata yang bisa dipahami dan dimengerti oleh kedua orang tuaku. Kuatkan juga hati kedua orang tuaku menerima kabar buruk ini, Ya Rabb.'"Eh, malah diliatin aja, diambil dong nasinya, Lan! Jangan diliatin aja," ujar Mama membuyarkan lamunanku."Oh iya, Ma," jawabku terkesiap. Masih
"Ayudia, segera carikan angkot! Kita mesti bawa Mama ke puskesmas," teriak Arfan."Ma, tahan sebentar ya. Aku akan carikan angkot dulu," bisik Ayudia lirih, di depan Nina dia berusaha menahan air matanya agar tidak tumpah."Sakit, Yu. Kening Mama sakit banget," sahut Nina sembari mengiris kesakitan. Baju blues berwarna jingga penuh dengan darah segarnya."Sabar, ya, Ma. Ayu cari angkot dulu."Ayudia gegas beranjak lalu menyandarkan Nina di dinding dekat parkiran. Dia berjalan setengah berlari menuju gerbang kantor pengadilan, berdiri di pinggir jalan menoleh ke kanan serta ke kiri tapi angkot yang ditunggu belum juga lewat.Berulang kali dia menyeka air matanya yang tumpah ruah serta terisak menunggu di pinggir jalan tapi angkot tak kunjung lewat. Dia kembali berjalan setengah berlari menemui Arfan yang sedang menatap tajam ke arah Sanjaya. Dia tampak begitu marah, ketika Sanjaya menggagalkan aksinya ketika hendak ingin melukai Laniara dengan sebuah kayu dengan panjang setengah meter.
"Ma ... Papa nggak nyangka kalau Arfan seperti itu tingkah aslinya. Belum lagi lihat besan kita, sama adiknya juga," ucap Papa memecahkan keheningan yang tercipta kurang lebih 10 menit."Iya, Pa. Mama juga nggak nyangka. Tapi yaudahlah, Pa. Alhamdulillah, sekarang Laniara udah terlepas dari mereka.""Papa makin bersalah, Nak. Andai saja dulu ...""Pa ... udah. Aku nggak apa-apa, kok. Semua yang terjadi pasti udah melalui persetujuan-Nya. Papa nggak usah terlalu bersalah seperti itu. Aku jadi sedih dengarnya.""Iya, Pa. Ambil saja hikmahnya. Jadi gimana? Mau makan dimana?""Makan di rumah sajalah, Ma. Papa udah nggak bersemangat makan di luar.""Yaudah, kita bungkus aja nasinya, Lan. Mama juga nggak bersemangat makan di luar." Aku mengangguk dan kembali fokus mengemudikan mobil.???"Lan, kamu nggak makan dulu?" tanya Mama ketika aku hendak membuka pintu kamar. Kami baru saja sampai di rumah setelah membeli nasi bungkus di rumah makan Sederhana."Nanti saja, Ma. Aku mau istirahat seben
Kening Pak Ketua Hakim tampak mengerut, dia menoleh ke arahku dan ke layar handphone yang diserahkan lelaki tadi secara bergantian. Aku semakin bingung, rekaman apa yang ada dalam genggaman Pak Ketua Hakim.'Ya Allah lindungi hamba dari segala fitnah keji'"Saudari Vita bisa dijelaskan maksud dari rekaman CCTV ini!" pinta Pak Ketua Hakim."Saya akan jelaskan dengan senang hati, Pak. Bisa Bapak lihat di rekaman CCTV itu tampak Pak Sanjaya yang dulunya adalah bos dari saudara Arfan lebih tepatnya teman yang katanya menurut saudari Laniara. Dia tampak seolah membopong saudari Laniara, dan saudari Laniara pun ikut memainkan perannya di sana dan saya tahu di sana dia hanya berpura-pura tidur untuk ngelabui karyawan yang ada di sana. Agar aksi perselingkuhan mereka tidak tercium. Seolah dibopong padahal ... Seolah tertidur padahal ... Cara perselingkuhan banyak sekarang, Pak. Jadi saya harap para hakim jangan tertipu dengan sikap polos saudari Laniara yang seolah merasa menjadi korban perse
Kisah perceraianku berbuntut panjang, belum selesai perkara Mas Arfan, kini malah bertebaran fitnah murahan. Kupikir yang hanya mertua, Ayudia, Mas Arfan serta Angel yang hanya ingin menghancurkan diriku, rupanya aku keliru, sangat keliru. Ada wanita lain yang kukenal baik selama dua tahun di tempat kerja sebelum aku memilih resign, ternyata dia pun termasuk dalam barisan orang yang menindasku.Mungkin bisa kugelari dia dengan musuh dalam selimut. Oh iya, aku baru engeh sekarang, dalam rekaman CCTV yang kuminta tidak ada sosoknya. Aku paham sekarang, dia tidak berada di hotel itu.Ada yang aneh dari ucapannya, di persidangan tadi Vita mengatakan Mas Arfan yang memintanya untuk datang dalam persidangan hari ini, sebagai pengganti dia yang tak bisa hadir karena mertuaku sedang dirawat. Ya, dia masih berstatus mertuaku hanya sampai ketuk palu perceraian oleh majelis hakim. Anehnya, Vita sekarang malah berdalih, bahwasanya dia hanya suruhan seseorang."Jadi siapa yang menyuruhmu! Kenapa d
Dekorasi sederhana tak mengurangi suasana khidmat di hari nan sakral ini. Selepas bakda Jumat semua keluarga inti pihak kedua mempelai sudah berada di ruangan yang tak begitu besar di kampung halaman Laniara. Hari ini adalah hari dimana Sanjaya dan Laniara akan mengikat suci melalui ikral pernikahan.Sanjaya tampak tampan memakai stelan pengantin pria berwarna krem lengkap dengan pecinya tentu dengan warna senada, gurat wajahnya agak tegang apalagi sudah duduk di berhadapan dengan Pak Yahya yang hanya dibatasi sebuah meja berbentuk persegi dan juga telah siap untuk menjabat tangan sang calon mertua. Meja pun dilampisi dengan kain beludru putih tak lupa beberapa taburan bunga mawar putih turut menghiasi meja yang akan menjadi salah satu saksi bisu pernikahan mereka.Namun, ada yang janggal, di antara yang hadir tidak tampak papa serta adik dari Sanjaya. Hanya Mama dan beberapa kerabat inti saja yang turut hadir. Kemana mereka? Bukankah harusnya ada dalam acara yang paling bersejarah i
Malam ini terasa begitu panjang, mataku enggan terlelap, sedangkan Mas Sanjaya sangat pulas dalam pergantian malam pertama kami sebagai sepasang suami istri. Aku tahu dia lebih lelah dari segala hal. Sekalipun aku sedang kedatangan tamu bulanan, akan tetapi aku masih bisa memanjakan suami dengan cara lain, tentunya masih dalam syariat islam.Perjalanan hidup masa depan memang tidak ada yang tahu, sempat menghindar, bahkan tak berkomunikasi dengan Sanjaya sama sekali pasca sidang keduaku dengan Mas Arfan. Namun, atas takdir-Nya, aku dan Mas Sanjaya dipersatukan dalam ikatan suci pernikahan.Pada akhirnya bukan tanpa alasan jika pada akhirnya aku dengan mantap membuka hati. Aku tak sengaja menemukan bahkan saking penasarannya aku membaca buku diary Mama. Ada satu halaman diary Mama yang membuat hatiku meleburkan rasa trauma yang masih membekas."Ya Allah, jika umurku tak panjang berikanlah jodoh yang baik serta bisa membahagiakan anakku dengan segala kekurangan yang ada pada dirinya. Bu