"Ibu puas sekarang?" teriak Deon pada ibunya.
"Puas," jawab Frida dengan angkuh. Satu kakinya diangkat ke atas meja dan menatap anaknya dengan lurus.
"Ibu puas dengan keputusan kamu. Dari kamu kecil sampai dewasa, ibu yang membiayai sekolah kamu, ibu yang selalu berharap kamu bahagia. Sekarang ibu bahagia kamu putus dengan Berlian," tambah perempuan paruh baya itu.
"Tapi aku tidak bahagia, ibu!" ujar Deon.
"Aku sayang sama Berlian, aku pun cinta sama dia. Ibu bilang ibu berharap aku bahagia, lalu bahagia serti apa yang ibu inginkan untukku?"
"Bahagia tanpa Berlian."
"Apa salah Berlian, Bu. Ya, aku tahu dia angkuh dan sombong, tapi dia baik. Bahkan dia membelikan apa yang ibu inginkan demi hubunganku dengan dia. Tidak kah ibu anggap dia pantas?"
"Selamanya keluarga Evans tidak akan pantas dengan kita, Deon," sentak Frida.
"Lalu apa yang ibu sudah lakukan? Ibu hampir membuat dia cel
Malam ini menjadi malam yang panjang untuk Berlian. Bara sudah pulang sejak sore tadi setelah memasak makanan. Bara ijin pulang karena harus mengurus keponakan kecilnya. Malam ini hujan turun dengan deras, suara guntur menggelegar saling bersahutan dan kilat menyambar-nyambar. Cahaya kilat terlihat sampai di kamar Berlian. Berlian mengeratkan selimutnya, tubuh gadis itu bergetar hebat dengan keringat yang bercucuran di dahinya.Hari ini Berlian benar-benar sangat hancur, sejak pagi emosinya tidak stabil, kalimat ia yang dituduh membunuh kakaknya dan mencelakai kakaknya terus menusuk hati dan otak Berlian. Dengan kejamnya suara-suara itu menyudutkan Berlian. Putus hubungan dengan Deon, laki-laki yang sangat ia cintai pun juga membuat hatinya sangat sakit. Ibunya tidak merestui, ibunya membuka semuanya pada Deon. Segalanya Berlian tutupi agar Deon mau menerimanya. Namun, sepintar-pintarnya menutupi bangkai, pasti baunya tercium juga."Hikss hiksss ...." isakan
Bara menatap wajah Berlian yang pucat pasi terbaring di brankar rumah sakit. Sudah delapan jam Berlian tidak sadarkan diri. Semalam Bian langsung membawa Berlian ke rumah sakit setelah Berlian pingsan di pelukannya.Bara bersama dokter seniornya yang hari ini berpindah di rumah ini untuk bertugas. Sejak masuk ke ruang rawat VIP Berlian, dokter seniornya terus menatap lurus ke arah Berlian."Dokter, ada apa?" tanya Bara pada pria di sampingnya yang merupakan Psikiater juga.Pria itu mendekati Berlian, duduk di kursi samping ranjang dan memegang tangan Berlian dengan erat. "Dulu aku meninggalkannya, sekarang dia sudah dewasa," ucap Evan mengusap tangan Berlian dengan pelan."Dokter kenal dengan Berlian?" tanya Bara."Dia anak saya," jawab Evan yang membuat Bara tersentak. Bara menatap Dokter Evan dan Berlian dengan bergantian, kedua orang itu bagai pinang dibelah dua, wajahnya sangat mirip. Pantas saja ia seperti tidak a
Terjatuh, bagkit lagi, terjatuh lagi dan pada akhirnya bangkit untuk ke sekian kalinya. Sudah tidak terhitung berapa kali Berlian terjatuh, tetapi meski sepuluh kali terjatuh, Berlian akan bangkit untuk ke sebelas kalinya. Namun kali ini, Berlian sudah dalam lingkungan dan pikiran buntu. Berlian menatap bangunan perusahaannya yang sangat megah. Gedung tinggi nan besar itu tempat di mana ia mencari nafkah selama ini. Bisa menghidupi dirinya sendiri, membeli banyak barang mewah dan menggunakan uang sesukanya. Namun, di tempat itu juga ia terluka, di tempat itu juga ia merasa tertekan dengan segala sikap orang yang hanya menghargainya di depan dan menusuknya di belakang.Berlian sudah pulang dari rumah sakit, demam tinggi tidak akan membuatnya terbaring lama di rumah sakit. Gadis itu menatap tingginya gedung pencakar langit yang sangat megah. Dengan dagu yang mendongak angkuh, sorot mata yang tajam dan langkah kaki yang tegap, gadis itu melangkahkan kakinya memasuki gedung
Berlian memutari tubuh Deon dan Frida dengan langkah pelannya. Saat ini mereka sudah menjadi bahan tatapan karyawan Berlian yang kebetulan berada di lantai satu. Tatapan Berlian jelas sekali tatapan menghina, bibir gadis itu juga terangkat dengan sinis. Deon menatap sekelilingnya, pria itu tampak canggung, begitu pun dengan Frida. Frida menatap Berlian berbeda dari kemarin saat memohon-mohon padanya. Berlian saat ini adalah Berlian yang selalu dipuja oleh orang-orang."Mau apa datang ke sini?" tanya Berlian."Berlian, maafkan aku dan ibuku yang sudah memerasmu. Semuanya aku kembalikan lagi padamu," ucap Deon menyerahkan banyak papper bag pada Berlian. Berlian menatap papper bag itu dengan sinis."Bian, terima barang itu dan berikan pada orang-orang yang membutuhkan. Aku tidak akan menyentuh apapun dari tangan dua manusia ini," ujar Berlian dengan angkuh."Berlian," cicit Deon."Masih sanggup bibirmu memanggil namaku. A
Sudah satu bulan lamanya dan semua keadaan berubah seratus delapan puluh derajat. Berlian yang bucin akut dengan Deon kini bukan lagi Berlian yang dulu. Meski dulu masih pacaran dengan Deon, Berlian bersikap tegas dan angkuh, kini Berlian jauh lebih angkuh dari sebelumnya. Perempuan itu benar-benar tidak terkontrol, ia tidak lagi mau berkonsultasi dengan Bara. Berlian merasa dirinya baik-baik saja. Berlian melawan sendiri penyakit yang dia derita.Hati Berlian sudah mati rasa, gadis itu semakin tidak terkontrol pola hidupnya. Saat pagi akan berangkat tepat pukul setengah delapan dan pulang larut malam untuk lembur. Berlian benar-benar gila kerja. Tiada hari tanpa kerja yang dilakukan Berlian. Bian sudah berulang kali membujuk Berlian agar Berlian mau berkonsultasi dengan Bara. Namun Berlian masih saja mengelak. Berlian tidak ada niatan lagi untuk berhubungan dekat dengan laki-laki mana pun termasuk Bara yang hanya Psikiater pribadinya. Ia hanya berhubungan dengan rekan
Jam sudah menunjukkan pukul dua belas malam, Berlian baru saja membereskan pekerjaannya. Gadis itu melepaskan kacamata anti radiasi yang tengah ia pakai, melihat ke arah Bian, Bian sudah tertidur dengan pulas di sofa. Berlian segera berdiri dan menghampiri sekretarisnya itu, ada perasaan kasihan pada Bian. Selama ini Bian lah yang selalu menjaganya dan menjadi garda terdepan dalam membelanya. Namun ia tetap saja bersikap semena-mena pada pria itu."Lagi pula ini juga salahnya sendiri," ucap Berlian dengan kesal. Berlian menggelengkan kepalanya, menolak rasa simpati yang datang dari hatinya."Bian, bangun!" ucap Berlian menggoyangkan lengan Bian. Bian menggeliat kecil, pria itu mengucek matanya yang terasa perih. Ia merasa baru tertidur dan kini sudah ada yang membangunkannya."Bian, bangun. Kamu mau tidur di sini?""Bian, kantor sudah akan tutup. Mau sampai kapan kamu tidur?"Bian tergagap bangun, pria itu mengucek mat
Berlian berdiri di tepi jalan utama untuk mencari taksi. Taksi online sudah tidak beroperasi karena sudah jam dua belas lebih. Hari sudah berganti, di dini hari Berlian masih berada di sekitaran perusahaan. Berlian merasakan perutnya yang sangat melilit karena terlalu banyak minum kopi. Dari pagi sampai malam, tiga gelas kopi sudah masuk dalam perutnya, sedangkan nasi hanya saat siang. Suara perut keroncongan terdengar sampai di telinga Bara yang berdiri di samping Berlian. Bara tidak tega meninggalkan Berlian seorang diri. Tanpa berbicara sepatah kata pun, Bara merogoh saku hodienya, pria itu mengambil kantung yang berisi air hangat.Bara menyerahkan kantung berbentuk kotak bermotif hello kitty itu pada Berlian. Berlian menatap kantung itu dengan bingung. Namun Bara terus saja memaksa Berlian menerimanya. Dengan ragu Berlian menerimanya, rasa hangat langsung menjalar di telapak tangan Berlian.Berlian meremas kantung yang ia tebak berisi air itu. "Kenapa k
Berlian membuka kotak makan yang dibawakan Bara, gadis itu mulai memakan nasi goreng yang katanya masakan dari planet luar angkasa. Masakan Bara tidak buruk, hanya saja rasanya terlalu manis. Untuk penyuka pahit seperti dirinya, makanan dengan rasa manis terasa sangat aneh di lidahnya. Pandangan Berlian menatap ke arah telur yang bulatnya tidak sempurna, telur mata sapi itu terlihat seperti mata hati, hancur tidak berbentuk."Setiap hari Azka menanyakanmu," ucap Bara membuka suara."Azka?" tanya Berlian sedikit berpikir. Bara menganggukkan kepalanya sedangkan Berlian mencoba mengingat siapa orang yang disebutkan Dokter Bara."Lupakan saja, tidak perlu mengingat bocah sialan itu," ujar Bara lagi saat Berlian seolah tidak mengingat keponakannya."Oh itu, bocah yang pipinya gendut, keponakan kamu kan?" tanya Berlian dengan tawa yang sedikit keluar. Bara menganggukkan kepalanya sembari menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.