“Kamu merindukan mereka?” tanya Bian. “Iya.” Flavia mengangguk.“Nanti kita kunjungi mereka.” Bian membelai lembut rambut Flavia. Flavia segera melepaskan pelukan. “Maksudnya?” tanyanya bingung. “Kita bisa ke makam, lalu kita bisa ke Jerman untuk mengunjungi mama dan adikmu.” Bian tentu saja akan membuat istrinya bahagia. Jadi tentu saja dia akan melakukan hal itu. Flavia terharu sekali. Tidak menyangka jika Bian akan melakukan hal itu. “Sejak kita menikah, kita tidak pernah pergi ke makam orang tuamu. Jadi wajar jika kita harus ke sana.” Bian menghapus air mata Flavia. “Jangan menangis lagi.” Bian mencoba menenangkan Flavia. Flavia mengangguk. Dia berhenti menangis. Kemudian beralih merapikan foto tersebut. Dia berniat membawa foto tersebut pulang. Tak mau sampai foto itu hilang. Bian melihat kamar milik Flavia. Kamar masih tampak rapi sekali meskipun sudah lama ditinggal penghuninya. Sayangnya, memang tidak ada barang. Bian merebahkan tubuhnya di tempat tidur Flavia. Dia ing
“Itu foto aku, mama, dan Ethan. Aku ingin memasangnya di apartemen, Pa.” Flavia memamerkan senyum tipisnya agar papanya tidak curiga sama sekali. Mama Agnes yang mendengar ikut tersenyum tipis. Dia tahu Flavia pasti sangat berhati-hati menjawab. Jadi dia tidak pernah takut. “Oh … baiklah, bawalah foto itu. Agar kamu tidak merindukan mereka.” Papa Harry tersenyum. Flavia mengangguk. Walaupun sebenarnya alasannya membawa itu bukan hanya sekadar rindu. Namun, untuk menyelamatkan foto itu juga. Bian dan Flavia segera berpamitan. Mereka segera kembali ke apartemen mereka. Hari ini, Flavia cukup puas bertemu dengan papanya. Walaupun hanya sebentar saja. Flavia dan Bian yang sampai di apartemen segera membawa kotak kardus itu ke unit apartemen mereka. Namun, alih-alih membawanya ke apartemen Bian, Flavia membawa ke apartemennya. “Kenapa di bawa ke apartemenmu?” Bian meletakkan kardus di atas meja sesuai dengan permintaan Flavia. “Barang-barangku masih di sini. Jadi tidak masalah aku t
“Selamat pagi, Bu.” Petugas keamanan langsung menundukkan kepala ketika Mommy Shea datang. “Selamat pagi.” Mommy Shea mengayunkan langkahnya. Petugas keamanan langsung mengikuti Mommy Shea. Dia segera menekankan angka lift di mana ruangan pemilik perusahaan berada. Mereka tentu saja takut jika sampai diadukan ke Bryan Adion. Kalau tidak menyambut dengan baik. “Silakan, Bu.” Petugas keamanan mempersilakan Mommy Shea untuk masuk. “Terima kasih.” Mommy Shea tersenyum. Langkahnya segera diayunkan masuk ke dalam lift. Lift yang tertutup mengantarkan Mommy Shea ke ruangan suaminya. Hari ini sengaja Mommy Shea datang ke kantor untuk mengajak suami, anak, dan menantunya untuk makan siang. Seminggu tidak bertemu dengan anak bungsunya, membuatnya rindu. Saat pintu lift terbuka, Mommy Shea segera menuju ke ruangan suaminya. Tepat di depan ruangan sang suami terdapat sekretaris yang sudah menyapa Mommy Shea. Berniat mengantarkan Mommy Shea. Namun, Mommy Shea menolak dengan halus. Dia ingin
Mommy Shea, Daddy Bryan, Bian, dan Flavia menikmati makan siang bersama. Mereka mengobrol bersama. Bian menceritakan jika kemarin tidak bisa ke rumah mommy dan daddy karena ke rumah orang tua Flavia dan ke makam. “Lain kali kita harus makan bersama keluarga Flavia.” Mommy Shea langsung terpikir hal itu ketika membahas keluarga Flavia.“Itu juga yang dikatakan oleh papa dan mama Flavia, Mom. Mereka juga sangat ingin makan bersama.” Bian menceritakan jika keinginan sang mommy sama dengan mereka. “Bagus jika mereka berpikir seperti itu. Kamu tinggal buat janji saja kapan bisa makan bersama.” Daddy Bryan pun ikut menimpali. “Baiklah, Dad. Nanti aku akan buat janji.” Bian tentu senang jika keluarga bisa bersama-sama menikmati makan bersama. Flavia tersenyum. Dia tentu menyambut niat baik itu. Sekalian agar sang mama tiri tahu bagaimana baiknya mertuanya. “Fla, kamu sudah ada tanda-tanda kehamilan?” Saat di tengah-tengah makan, tiba-tiba Mommy Shea. Flavia seketika terdiam. Dia menga
“Tidak ada kehamilan.” Mama Lyra menjelaskan apa hasil dari apa yang dilihatnya dari layar USG. Mommy Shea menatap terkejut mendengar akan hal itu. Dia memang berharap terjadi kehamilan. Apalagi anaknya sudah membuat perjanjian jika tidak akan ada kehamilan, maka pernikahan akan segera berakhir. “Ra, kamu sudah lihat benar-benar? Flavia sampai sekarang belum datang bulan. Jadi mungkin saja ada kehamilan.” Mommy Shea menatap Mama Lyra. Dia masih tidak percaya dengan hasil yang diberikan Mama Lyra. “Mom.” Bian memanggil sang mommy. Dia melihat sang mommy begitu mendesak Mama Lyra. “Ada penebalan rahim, tetapi tidak ada embrio yang berkembang. Bisa jadi ini hanya faktor stress karena itu datang bulannya terlambat.” Mama Lyra mencoba menjelaskan pada semua yang ada di ruang pemeriksaan. Entah harus senang atau sedih. Flavia yang mendengar hanya terdiam. Dia tidak tahu apa mau hatinya sekarang. Mommy Shea yang mendengar apa yang dijelaskan benar-benar kecewa sekali. Dia memang berha
Flavia diam sejak pulang kerja. Dia berada dalam kebimbangan. Sebagian hatinya ingin sekali hamil, tetapi hatinya sebagian ingin jangan ada kehamilan. Bian melihat jelas jika Flavia begitu berubah sejak memeriksakan. Sampai saat mereka makan malam pun Flavia hanya memandangi makanannya. “Apa yang kamu pikirkan?” tanya Bian. “Tidak ada.” Flavia mengelak. Menggelengkan kepalanya. “Apa kamu memikirkan apa yang dikatakan mommy?” Bian menebak apa yang terjadi. Flavia menatap Bian. Yang dikatakan Bian memang benar. “Jangan pikirkan apa-apa dulu. Tenangkan pikiranmu agar tidak stress.” Bian tahu jika pasti Flavia sedang memikirkan apa yang dikatakan mommy-nya. Dan itu pasti berdampak buruk pada kesehatannya. “Baiklah.” Flavia mengangguk. Dia melanjutkan kembali makan. Menikmati makan yang tadi dibuat oleh Bian. Seusai makan, Flavia memilih untuk ke kamar. Dia ingin beristirahat karena memang tidak sedang terlalu banyak pikiran. Bian hanya membiarkan saja apa yang dilakukan Flavia. Me
“Kenapa kamu berpikir seperti itu?” tanya Flavia menatap Bian. “Aku hanya ingin melihatmu bahagia. Karena sejak tadi kamu begitu sedih setelah cek kehamilan. Aku tidak tahu apa yang kamu tunggu. Jadi aku hanya ingin mendukungmu. Apa pun keputusanmu nanti. Aku akan menerimanya.” Bian mencoba menerima semua dengan lapang. Tak mau memaksakan kehendaknya. Ada rasa sakit menghimpit dadanya. Ini seperti baru saja ditolak oleh Bian. Di saat seperti ini dia merasa berharap ada kehamilan di dalam rahimnya. Agar bisa bersama dengan Bian. “Melihatmu bahagia adalah caraku mencintaimu. Meskipun kebahagiaanmu bukan bersamaku.” Bian menatap Flavia lekat. Flavia menatap Bian lekat. Ada rasa tidak mau kehilangan yang menyelimuti hatinya. “Jika kebahagiaanku bersamamu. Apakah kamu tetap akan menerima aku walaupun aku tidak hamil?” Semalam Flavia sudah memikirkan tentang perasaan. Rasa ingin bertahan bersama Bian jauh lebih besar dibanding rasa sakitnya. Jadi dia memutuskan untuk tetap bersama Bian
Tautan bibir keduanya seketika terlepas. Flavia tanpa sengaja menggigit bibir Bian. Tentu saja itu membuat Bian terkejut. “Astaga, aku mengigitmu.” Flavia memang belum seahli itu berciuman, hingga tanpa sadar gerakkan bibirnya justru membuat bibir Bian terluka. “Aku akan ambilkan obat.” Flavia panik dan segera ingin mengambil sesuatu yang dapat menghentikan pendarahan di bibir Bian. Sayangnya, Bian menarik kembali tangan Flavia. Membuat sang istri berada di dalam pelukannya kembali. “Aku harus obati luka di bibirmu itu.” Flavia menjelaskan pada Bian ke mana dia akan pergi. “Tapi, obatnya ada di sini.” Bian kembali mendaratkan bibirnya kembali. Flavia hanya terperangah. Bukannya diobati lebih dulu, Bian justru kembali menciumnya. Flavia berusaha melepaskan diri, tetap justru Bian semakin kencang mengeratkan pelukannya. Akhirnya, Flavia pun memilih menyesap bibir Bian. Berharap pendarahan yang berada di bibir Flavia berhenti. Saat tautan bibir terlepas, Flavia mengecek bibir Bian