Flavia bangun dan segera ke dapur untuk minum. Saat sampai di dapur dia melihat bekas piring sayur yang dibuatnya di tempat cuci piring. Melihat hal itu, tentu saja membuat Flavia senang. Artinya makanan yang disiapkan kemarin dimakan oleh Bian. Flavia merapikan piring kotor sebelum kembali ke kamarnya untuk mandi. Dia terbiasa memastikan semua bersih. Apalagi dia harus pergi bekerja hari ini. Tepat saat Flavia berbalik setelah mencuci piring. Tiba-tiba tubuhnya menabrak sesuatu. Dahinya sempat terbentur dan terasa sakit.“Auch ….” Flavia memegangi dahinya. “Kamu tidak apa-apa?” Bian langsung memegangi tangan Flavia untuk melihat apa yang terluka pada istrinya itu. Flavia yang mendengar suara Bian menyadari jika itu adalah Bian. Di balik tangannya yang sedang mengusap dahinya yang sakit, dia melihat Bian yang telanjang dada. Hal itu membuatnya membulatkan mata. Perut bak roti sobek terlihat nyata di depannya. “Apa kamu terbiasa tanpa baju?” Flavia sudah beberapa kali melihat Bian
Flavia terpaku. Dia pikir Bian akan dengan mudah ikut dengannya. “Kenapa tidak mau?” tanya Flavia. “Aku tidak mau bermacet-macet ria. Jika kamu mau ikut aku naik motor silakan. Jika tidak, aku tidak mau berangkat dengan naik mobil.”Flavia mengembuskan napasnya. Merasa kesal sekali dengan aksi Bian. “Aku tidak mau berangkat naik motor.” Flavia menolak dengan tegas. “Baiklah, jika kalau begitu. Biarkan saja orang berpikir kita sedang marah karena tidak berangkat bersama.” Bian tampak tenang. Dia tidak peduli dengan pikiran orang. Flavia menatap malas. Ternyata baiknya Bian hanya sebentar. Setelah itu menyebalkan. “Baiklah, terserah padamu. Nikmati saja naik motormu itu. Aku tidak mau. Lebih aku naik mobil. Tidak masalah jika harus bermacet-macet.” Flavia segera meraih tasnya. Mengayunkan langkahnya meninggalkan Bian. Dia tidak mau berdebat dengan Bian. Bian mengabaikan Flavia. Dia masih menikmati teh yang dibuatnya. Dia memang tidak suka bermacet-macet ria. Jadi dia tentu saja memi
Flavia berlari ketika keluar dari mobil. Dia benar-benar merutuki kesalahannya yang menggunakan mobil. Tahu begitu dia pergi dengan Bian saja naik motor. Flavia langsung masuk ke dalam lift. Sepanjang lift bergerak naik, dia berharap lift dapat bergerak dengan cepat. Flavia membayangkan jika rapat sudah dimulai.Saat lift terbuka, Flavia segera ke ruangannya. Hal yang dilakukannya adalah berlari. “Fla.” Anika begitu terkejut ketika Flavia baru datang.“Laporan bulan ini ....” Flavia panik dia harus segera ke ruangannya atau ke mana untuk mencari laporan tersebut. “Semua sudah dibawa Pak Bian.” Anika memberitahu. Mendapati jawaban itu dengan segera Flavia memberikan tasnya pada Anika. “Tolong taruh di ruanganku.” Flavia segera berbalik. Dia berlari sekencang mungkin agar dapat sampai di ruang rapat. Sayangnya, nasib buruk masih menimpanya. Lift berada cukup jauh. Jika menunggu lift pastinya akan sangat lama. Karena ruang rapat berada satu lantai di atas ruangannya, dia memilih unt
“Sebaiknya kita makan siang bersama.” Daddy Bryan langsung berdiri. Tadi dia baru saja mengajari anaknya beberapa hal. Jadi harus terjeda ketika makan siang.“Baiklah.” Bian setuju. Lagi pula sudah jam makan siang. Jadi tentu saja dia harus segera makan. “Hubungi Flavia, agar dia bergabung dengan kita.” Daddy Bryan berjalan sambil memberikan perintah pada Bian.Untuk sesaat Bian terdiam. Dia tidak punya nomor telepon istrinya. Tentu saja itu membuat Bian bingung. “Kenapa?” tanya Daddy Bryan yang melihat anaknya diam saja. “Aku tidak punya nomor teleponnya.” Bian menatap sang daddy malu. “Astaga, kamu sudah pergi sampai Bali. Berhari-hari bersama. Bagaimana bisa tidak punya nomor teleponnya?” Daddy Bryan menggeleng heran “Iya, karena sudah bertemu. Jadi untuk apa aku minta nomor teleponnya.” Bian memberikan alasan. “Dasar!” Daddy Bryan menggerutu. “Ini, cari nomornya.” Daddy Bryan mengambil ponselnya dan membukanya. Setelah itu memberikan pada anaknya. Bian segera mencari nomor
“Sebaiknya Mommy siapkan makannya. Aku lapar.” Bian yang melihat kemesraan antara daddy dan mommy-nya menjadi risih. Jelas dia tidak bisa bermesraan seperti itu dengan istrinya. “Iya.” Mommy Shea tersenyum. “Ayo Fla, bantu Mommy.” Mommy Shea mengalihkan pandangan pada Flavia. Flavia mengangguk. Dengan segera dia mengikuti sang mommy ke dapur. Membantu merapikan makanan dan menghias kue. Ternyata Mommy Shea sudah selesai masak. Jadi Flavia sudah tidak harus bersusah payah dulu. “Seperti ada yang kurang, Mom.” Flavia yang menghias rainbow cake yang dibuat mommy Shea. “Iya, kurang warna merah.” Mommy Shea membenarkan ucapan Flavia. “Apa kamu menggunakan pewarna makanan warna merah untuk membuat kue?” Mommy Shea menatap menantunya. “Tidak. Aku belum membuat kue sebelum ini.” Flavia menggeleng. “Memang kenapa, Mom?” Flavia merasa penasaran. “Waktu itu Mommy beli perwarna makanan semua warna, tapi saat tadi mencari satu warna tidak ada. Yaitu warna merah. Mommy pikir kamu menggunakann
Flavia yang sedang sibuk mencuci piring mengalihkan pandangan ke belakang. “Papa, tetapi sekarang aku yang biayai semuanya.” “Kenapa kamu semua?” Bian penasaran. Anak-anak masih tanggung jawab orang tua. Tentu saja dia merasa aneh. Jika ditanya alasan itu, tentu saja Flavia bingung menjawab. Jelas alasannya karena dirinya menikah dengan Bian. Mamanya memintanya mengambil alih semuanya. “Karena aku kakaknya. Jadi aku ingin bertanggung jawab atas adikku.” Flavia memberikan jawaban lain. “Ternyata tidak enak juga jadi kakak.” Bian tersenyum. Dia anak bungsu. Selalu dituruti apa pun yang diinginkannya. Selalu dapat banyak kasih sayang. Sekali pun kuliah di luar negeri, semua terfasilitasi jadi tidak pernah kekurangan. “Iya, anak sulung bukan anak manja.” Flavia menyindir Bian. “Maksudmu anak bungsu manja?” Bian yang hendak meletakkan lap kotor, menghampiri Flavia. “Iya, seperti kamu.” Flavia melirik sinis. “Aku tidak manja. Buktinya aku di London bertahun-tahun tanpa orang tuaku.
Jumat sore Mommy Shea meminta Flavia dan Bian untuk ke rumah menginap. Besok pagi agar Flavia bisa berangkat sendiri. Seperti biasa Flavia membawa mobil dan Bian membawa motor. Karena tidak ada rapat, Flavia tidak masalah bawa mobil. Lagi pula, kemarin adalah kecelakaan dan hanya terjadi kadang kala saja. Seperti biasa Bian sampai lebih dulu. Bian sudah bermain dengan Lora dan juga Nick. Mereka bermain di tempat parkir. Naik motor Bian yang sedang terparkir. Lora duduk di belakang Bian, sedangkan Nick duduk di depan Bian. Mereka berdua seolah baru naik motor bersama pamannya. Flavia yang turun dari mobil melihat dua anak begitu seru sekali. Tawa mereka begitu terdengar riang sekali. “Aunty.” Lora memanggil Flavia yang baru turun. “Hai.” Flavia tersenyum. Dua anak bule itu terlihat menggemaskan sekali. “Aunty, ayo naik.” Lora mengajak Flavia untuk duduk di belakangnya. “Tidak muat, Sayang.” Flavia memberitahu. “Uncle, maju. Biar Aunty Fla naik.” Lora mendorong tubuh Bian agar da
Flavia seketika takut. Namun, dia tidak yakin dengan ucapan Bian. “Jangan mencoba menakut-nakuti aku!” Flavia memberikan peringatan pada Bian. “Aku tidak berbohong. Aku sering mendengar derap kaki di lorong ini. Kemudian suara pintu utama itu dibuka. Saat aku cek, ternyata tidak ada siapa pun di sana.” Bian memberitahu Flavia.Bulu kuduk Flavia berdiri ketika cerita horor yang diberikan oleh Bian. Dia jelas takut. Lebih baik, dia tidak dengar cerita. Karena rasa takut itu seketika muncul dan begitu menakutkan. Bian menahan tawanya. Dia tahu Flavia takut. “Sudah aku mau mandi.” Bian segera mengayunkan langkahnya ke kamarnya. Flavia melihat ke sekitar. Terdapat empat pintu kamar. Dilihat dari luar, kamar begitu besar. Pastinya akan begitu seram. “Tunggu.” Flavia menarik Bian agar tidak masuk ke kamarnya.“Apa?” Bian yang nyaris membuka pintu kamar, menghentikan langkahnya. “Aku tidur di mana?” Flavia langsung bertanya pada Bian. “Tidur denganku jika tidak keberatan.” Bian menyerin