Perjalanan ke Bogor sebenarnya tidak membutuhkan waktu lama. Namun kali ini Arfan membutuhkan waktu lebih lama karena terjebak macet. Mungkin karena dia berangkat di saat jam pulang kantor.
Tidak ada persiapan apapun yang Arfan lakukan sebelum berangkat. Setelah mendengar keinginan Kia untuk bertemu, tanpa pikir panjang dia langsung berangkat. Bahkan ia tidak sempat untuk mengabari ibunya. Arfan terlalu senang karena akhirnya bisa melihat Kia lagi. Meskipun tidak sabar, tapi dia tetap melajukan mobilnya di kecepatan rata-rata.
Arfan menghentikan mobilnya di depan penginapan Kia, sesuai dengan alamat yang gadis itu kirim sebelumnya. Arfan melihat ke sekitar sebentar dan memutuskan untuk masuk. Dia memilih untuk duduk di lobi dan mengirimkan pesan singkat untuk Kia.
"Saya sudah di lobi."
Arfan memasukkan ponselnya dan menggerakkan kakinya gelisah. Sesekali dia menarik napas dalam untuk mengurangi rasa gugupnya. Ini konyol! Hanya beberapa hari t
Dengan bersenandung, Kia mulai memasukkan barang-barangnya ke dalam tas. Di pagi yang cerah ini dia tampak bersemangat mengemasi barangnya. Apa lagi jika bukan karena akan menghabiskan waktu seharian bersama Arfan? Setelah menikmati hari berdua, mereka akan kembali ke Jakarta."Liat, Vit. Dari semalem dia nggak berhenti senyum," ucap Sandra.Vita mengangguk setuju. Semua teman wanita Kia tengah melihat gadis itu dengan pandangan bingung. Apa semudah ini Kia kembali membuka hatinya? Memang dahsyat kekuatan cinta."Lo yang ngajak liburan, tapi lo sendiri yang balik duluan," ujar Vita sedikit kesal."Ya gimana dong? Kan gue ngikutin saran lo.""Apa saran gue?" Kening Vita berkerut."Bulan madu.""Gila!" ucap semua temannya kompak. Kia tertawa keras mendengar itu."Tenang, kalian nggak usah khawatir. Sebagai permintaan maaf, gue udah perpanjang penginapan ini buat dua hari.""Lo serius?" tanya Sandra.Kia mengan
Dengan lemas, Kia mulai memasukkan pakaian Ibu Arfan ke dalam koper. Sangat terlihat ekspresi enggan di wajahnya. Malam ini Kia tengah berada di kamar Ibu Arfan, membantu wanita itu untuk mengemasi barangnya. Entah kenapa setelah hubungannya dan Arfan membaik, Ibu Arfan ingin kembali ke desa."Ibuk nggak mau tinggal di sini aja?" tanya Kia menarik pakaian yang akan dimasukkan Ibu Arfan ke dalam koper."Ibuk udah lama di sini, Nduk.""Nggak papa, tinggal di sini aja ya? Temenin aku."Ibu Arfan tersenyum dan mencubit pelan pipi Kia, "Kan udah ada Arfan yang temenin kamu."Kia mendengkus dan melirik Arfan yang tengah merebahkan diri di atas kasur, terlihat santai sambil memainkan ponselnya."Mas Arfan beda sama Ibuk. Dia banyak ngomelnya.""Saya denger," gumam Arfan tak acuh."Udah waktunya Ibuk balik ke kampung. Ibuk udah kangen sama Bapak, pasti makamnya nggak ada yang urus selama ini."Kia menunduk sedih, "Maaf kalau aku
Kia memasuki rumah dengan lemas. Meskipun hari ini hanya satu kelas tapi dia terlihat sangat lelah. Ini karena dia harus naik kendaraan umum untuk pulang sehingga waktu yang dibutuhkan juga lebih lama. Bisa saja dia menerima ajakan Roland tapi dia tidak mau melakukannya. Sekarang Kia tahu jika Arfan cemburu. Dia tidak mau dekat dengan pria lain lagi dan membuat suaminya semakin marah."Mbak Kia udah pulang?""Capek banget, Mbok." Kia dengan manja memeluk kaki Mbok Sum. Posisinya yang tengah merebahkan diri di sofa membuatnya terlihat sangat nyaman."Mau Mbok bikinin es sirup?""Mau!" Kia tersenyum lebar."Ayo sekalian makan. Mbok masak capcaiseafoodtadi.""Tapi ini masih jam 11, Mbok.""Tadi belum sarapan kan? Ayo makan dulu."Dengan semangat Kia bangkit dari tidurnya. Seperti anak kecil, dia berlari menuju meja makan. Jika orang lain melihat tingkahnya maka tidak ada yang sadar jika dia sudah menjadi seora
Keadaan dapur malam ini terlihat seperti kapal pecah. Ini karena Kia yang tiba-tiba membantu Mbok Sum untuk memasak. Sebenarnya dia tidak banyak membantu, tapi Mbok Sum menghargai usahanya yang ingin belajar memasak. Jika bersungguh-sungguh, Mbok Sum akan dengan senang hati mengajarinya. "Tambah bubuk kaldunya dikit lagi, Mbak." Kia dengan segera memasukkannya ke dalam sop ayam yang ia buat. "Aduk yang rata." Lagi-lagi Kia menurut. Dia mengikuti perintah Mbok Sum tanpa membantah. Bahkan di sampingnya ada buku catatan yang ia gunakan untuk menulis resep andalan Mbok Sum. "Cobain, Mbok." Kia memberikan sendok berisi kuah pada Mbok Sum. Dia menatapnya dengan harap-harap cemas. "Mantep, Mbak!" "Akhirnya!" Kia bertepuk tangan senang. Sebenarnya tidak sulit untuk membuat sop, hanya saja resep andalan Mbok Sum memiliki bahan tambahan. Kia yang sudah terbiasa dengan masakan Mbok Sum tentu ingin mengetahui resepnya. "Pasti Mas Arfan suka," ucap Mbok Sum. Kia mengangguk dan melepaskan
Arfan tersenyum saat melihat foto tangannya. Dia memasukkan foto itu ke dalam pigura dan meletakkannya di atas meja kerja. Perlahan dia mulai duduk kembali menatap wajah Kia yang saat ini sudah resmi terpajang di meja kerjanya.Sejak malam itu, malam di mana Arfan dan Kia tidur bersama untuk yang pertama kali, hubungan mereka mulai berubah. Arfan yang mulai merobohkan tembok di antara mereka. Jika tidak ada yang bergerak maka hubungan mereka tidak akan berkembang. Keinginan Arfan hanya satu, dia ingin mereka memiliki hubungan suami-istri yang sebenarnya. Sepertinya Kia juga mulai membuka diri dan belajar secara perlahan. Benar kata ibunya, dengan perasaan cinta yang tumbuh di hati mereka, perubahan akan semakin mudah dilakukan.Suara ketukan pintu membuyarkan lamunan Arfan. Dia berdeham sebentar dan meminta seseorang di luar sana untuk masuk. Seperti dugaannya, ada Nadia di sana."Selamat pagi, Pak. Saya ingin meminta tanda tangan dan membacakan jadwal Pak Arfan hari ini.""Biar saya
Di depan sebuah cermin, Kia tidak bisa berhenti untuk tersenyum. Dia kembali memoles bibirnya dengan lip cream yang ia bawa. Sebelum benar-benar keluar dari toilet, dia merapikan penampilannya sekali lagi."Cakep banget gue, pantes Mas Arfan klepek-klepek," gumam Kia terkekeh.Dia keluar dari toilet dan kembali ke mejanya. Dia sana Kia bisa melihat Arfan yang tengah memainkan ponselnya. Dia juga bisa melihat jika makanan yang mereka pesan sudah datang."Wah, kayanya enak nih." Kia duduk sambil mengusap tangannya senang.Arfan memasukkan ponselnya dan menarik piring Kia. Tanpa banyak bicara dia memotong daging di piring Kia menjadi potongan-potongan yang lebih kecil. Melihat itu, Kia tidak bisa menahan senyumnya.Malam ini adalah malam yang istimewa bagi mereka. Setelah disibukkan dengan urusan kantor dan kampus, akhirnya mereka bisa menikmati waktu berdua. Arfan secara mendadak mengajaknya untuk makan malam bersama. Dalam artian benar-benar makan malam romantis dengan lilin di tengah
Bereksperimen di dapur adalah hal yang Kia sukai saat ini. Setelah pulang kuliah, dia memutuskan untuk kembali bermain di dapur. Beruntung Mbok Sum tidak berkegiatan di dapur saat ini sehingga Kia bisa bebas memakainya."Kamu siapin warna apa aja, Nduk?" tanya Ibu Arfan.Kia kembali menatap ponselnya untuk melihat Ibu Arfan yang tengah menjahit. Kepalanya bergerak ke segala arah untuk mencari pewarna makanan yang baru saja ia beli. Saat ini Kia memang melakukan panggilan video bersama Ibu Arfan untuk bertanya bagaimana cara membuat cupcake. Lagi-lagi resep andalan keluarga yang ingin ia buat."Warna merah sama hijau, Buk.""Udah beli lilin juga?"Dahi Kia berkerut, "Buat apa, Buk?" tanyanya bingung.Ibu Arfan berhenti menjahit dan mulai melihat Kia."Loh bukannya kamu mau bikin kue buat Arfan?"Kia menggaruk lehernya bingung, "Iya, Buk. Buat Mas Arfan, buat aku, sama Mbok Sum juga. Tapi kenapa pakai lilin?""Kan Arfan ulang tahun hari ini, Ki. Ibuk pikir kamu sengaja mau bikin kue bua
Perjalanan ke Surakarta berlangsung dengan lancar. Selama dua bulan ini Arfan dan Kia sudah mengurus semua hal-hal yang berkaitan dengan pernikahan mereka. Setelah disibukkan dengan persiapan resepsi yang juga menguras tenaga, waktu, dan pikiran, akhirnya mereka bisa bersantai. Hari ini mereka memutuskan untuk menjemput Ibu Arfan di desa. "Tutup jendelanya, Ki. Nanti masuk angin," ucap Arfan sambil mengelus kepala istrinya. "Nggak mau, seger banget liat sawahnya," ucap Kia tersenyum sambil melihat hamparan sawah hijau di hadapannya. Arfan tersenyum tipis dan kembali fokus pada jalanan desanya yang tidak rata. Kedatangan mereka kali ini dilakukan secara mendadak dan tanpa kabar. Kia yang memintanya karena dia ingin memberi kejutan untuk Ibu Arfan. Dia tidak sabar untuk bertemu dengan mertuanya. "Sawahnya Bapak yang mana, Mas?" "Di sana, besok aku ajak kamu ke sana." Tunjuk Arfan pada area sawah yang berada jauh darinya. "Ih, nggak sabar!" Kia menutup jendela mobil dan duduk deng