"Hai Kakak Aic!"Ralin menyapa gadis yang duduk di bangku belakang itu dengan ramah.Aice diam saja, bahkan mengalihkan tatapannya. Ralin yang menyadari itu menghela nafasnya, tangannya terulur mengusap rambut Kenra.Aice sangat sombong bahkan pada anak kecil sekalipun. Entah apa motif di balik kecelakaan itu. Ralin mengantar keduanya kembali ke rumah, sebelumnya ia memberikan pengertian pada Kenra untuk pergi sebentar.Ralin duduk di cafe dan salah seorang pria berpakaian hitam datang menghampiri mejanya."Namanya memang Aice, tinggal di panti asuhan, namun satu tahun terakhir dia keluar dan bekerja di sebuah club."Ralin menyimak dengan baik."Bagaimana dengan informasi dari polisi?" tanya pria itu."Belum ada informasi, mereka terkesan lambat dan aku tidak tahan untuk mengetahuinya.""Aku akan mencaritahu tentang kecelakaan itu, murni atau rencana, karena club itu belum berhasil ku tembus." Pria itu adalah kenalan Kenzi dan Ralin yang memintanya agar berurusan padanya."Aku ingin
Luke bangun dalam keadaan tak berbusana dan di kursi roda ia melihat Aice dengan diam seperti menahan sesuatu. Nafas Luke memburu, ingatannya terlempar pada kejadian tadi malam saat ia akan kembali ke rumah, ban mobilnya bocor dan sialnya tidak ada ban serap di mobil.Luke berdiri di luar mobil sambil berkacak pinggang. Dia tahu lokasi ini lebih dekat ke rumah kakaknya.Luke pun memutuskan meninggalkan mobilnya dan mulai berjalan kembali ke rumah Kenzi.Dia memencet bel dan Kenzi membukakan pintu."Ban mobilku bocor, pulang ke rumah terlalu jauh, jadi aku menginap di sini malam ini," katanya seraya berdiri.Kenzi bergeser agar adiknya itu bisa masuk, "Masuklah!" katanya lalu mengunci pintu, "tidak ada kamar kosong.""Aku tidur di sofa," kata Luke ringan."Kalau haus kau ambil sendiri di dapur, aku mau melihat Kenra dulu!" Kenzi belum sempat merapikan selimut saat bel pintu berbunyi.Luke pun berjalan ke dapur, dia melihat teh di atas meja dan sepertinya masih hangat. Pasti punya Kenzi
EndingLivi tersenyum menatap kepergian Ralin. Ia yang sudah meyakini bahwa Aice sudah berhasil tidur dengan Kenzi. Livi rasanya ingin kembali mengejar cinta Darren yang ingin menceraikannya.Hari, minggu dan bulan telah berlalu, namun Aice tetap berpura-pura lumpuh. Padahal Ralin dengan pantang menyerah membawanya terapi.Seperti hari ini, Ralin mendorong kursi roda Aice di sebuah mall, di sisinya ada Kenra berjalan. Mereka baru pulang dari rumah sakit dan Ralin mengajak Aice jalan-jalan, mulai dari makan hingga belanja kebutuhan.Sepulang dari pusat perbelanjaan itu, Ralin menepikan mobil di depan sebuah apotik. Dia ingin membeli vitamin untuk Kenra.Mobil melaju kembali ke rumah, bibi menunggu di depan pintu."Paket dari mana?" tanya Ralin begitu turun sari mobil."Ini untuk Aice, Nyonya," jawab Bibi.Ralin mengamati paket berukuran kecil itu sebentar kemudian masuk ke dalam rumah.Setelah nenerima paketnya, Aice masuk ke dalam kamar, karena sudah tidak sabar untuk mencoba, dia sam
Ralin terpaksa menelan pil pahit kehidupan pasca menikah dengan pria bernama Kenzi Allen, pria arrogant yang tidak mencintainya.Tiada hari tanpa caci maki dari pria itu untuknya, hanya karena Ralin pilihan orang tuanya, sedangkan Kenzi memiliki kekasih bernama Violin.Ralin hanya anak pengusaha bangkrut, orang tuanya memilih bunuh diri karena malu dengan keadaan. Kenzi menganggap Ralin hanya aji mumpung karena ingin hidup menumpang dengan kemewahan yang dimiliki oleh keluarganya."Enyah dari hadapanku!" Teriakan dari pria yang bernama Kenzi menggelegar di dalam kamar. Ralin ketakutan, ia meringkuk di lantai tidak berani lagi bersuara selain hanya isakan yang terdengar lirih."Kau tidak ada artinya di mataku. Violin lebih dari segalanya, seharusnya Kau sadar diri dan pergi dari sini sebelum aku melakukan hal yang lebih buruk padamu," ucap pria itu yang semakin membuat Ralin meringkuk ketakutan.Bukannya kasihan, Kenzi justru menghampirinya dan menarik rambut Ralin dengan kasar, sam
Victoria yakin kalau Darren tadi menyebut nama Ralin, ia jadi berpikir kalau tuannya itu mengenal desainer baru perusahaan ini, namun sikap Ralin tidak menunjukkan hal itu, entah dia tidak mendengarnya tadi."Victoria, bisa tinggalkan kami?" Suara Darren menyentak lamunan gadis dewasa itu."Baik, Tuan," jawabnya, ia berbalik dan sempat melirik Ralin dengan mengangkat tangan memberikan semangat, Ralin mengangguk kecil."Kamu, kemari!" Darren memanggilnya. Ralin segera mendekat.Darren membuka pcnya mencari nama Ralin di sana, sementara ia membiarkan wanita itu berdiri dihadapannya.Ralin BenedictLulusan Rh*le Isla*d Scool Of Design Amerika Serikat.Satu sudut bibirnya terangkat, tidak salah lagi, wanita yang selama tujuh tahun ia cari sekarang berdiri tepat dihadapannya, menjadi karyawan di perusahaannya sendiri.Darren mengangkat kepalanya menatap Ralin yang seperti patung di hadapannya. Kesan yang ia tangkap dari wanita ini adalah, pemalu. Padahal Darren sangat mengenalnya saat di k
Kenzi yang merasa bosan di rumah memilih keluar untuk berjalan-jalan. Karena sering datang ke sini ia jadi tahu tempat-tempat makan maupun keramaian yang hendak di tuju. Ia mengeluarkan mobil aston martin milik Darren, dengan atap terbuka ia ingin menghirup udara segar perancis.Celana jeans hitam di padu dengan kaos tanpa lengan bertopi membuat otot pria itu menyembul sempurna. Membuat wanita yang melihatnya seolah terhipnotis. Kenzi memang sedikit narsis dan paling tahu caranya di puja oleh wanita."Dasar wanita! Tidak bisa melihat yang berotot, mata mereka akan teralihkan." Dia mengoceh sendiri sampai tidak terlalu fokus pada jalan di depannya hingga."Kenra, jangan lari...!" BrakTubuh gadis berambut kepang dua itu terpental karena tertabrak oleh sisi depan mobil yang dikendarai oleh Kenzi.Saat ini jadwal pulang anak sekolah, mereka sedang menunggu bus menjemput sampai akhirnya Kenra yang tidak sadar ada mobil yang sudah dekat hingga ia berlari menghampiri Petra."Kenra, Kenra!
Ralin duduk di depan ruang perawatan Kenra, kartu nama tersebut masih ada digenggamannya. Bagaimana mungkin dia menghubungi pria yang paling menyiksa hidupnya dulu yang ternyata adalah penyebab anaknya masuk rumah sakit.Ralin terlihat menyeka air matanya, sebuah sapu tangan tersodor dihadapannya, Ralin mendongak dan melihat ada bosnya berdiri di dekatnya."Tu-tuan!" Ralin segera berdiri menyapa dan sedikit menundukkan kepala."Saya datang mau menjenguk putrimu," kata Darren tanpa basa basi."Ta-tapi ...," Ralin merasa tidak enak hati, dia ini termasuk karyawan baru. Apa pantas bosnya datang menjenguk keluarganya."Di mana ruangannya?" Darren menyentak lamunan Ralin."I-ini, Tuan." Mau tak mau Ralin pun membuka pintu ruangan Kenra si gadis kecil yang sudah membuka matanya."Hai cantik!" sapa Darren dengan ramah dan Ralin tidak percaya dengan yang di lihatnya."Kenalkan, Paman Darren, teman mommymu!" Ia mengulurkan tangannya."Kenra," jawab anak itu singkat."Paman membawakan buah untu
"Mommy!"Kedatangan Ralin disambut antusias oleh Kenra, anak itu merentangkan tangannya.Awww"Jangan di angkat, tangan Kenra masih sakit." Ralin menegurnya lantas menghampiri putrinya, "tangannya di pasang gips saja ya!" bujuk Ralin."No Mommy, nanti tangan Kenra terlihat besar," tolaknya dengan wajah merengut."Tidak apa-apa sayang, itu supaya tangan Kenra tidak banyak bergerak," ucap Ralin memberi pengertian."Kenra akan terlihat jelek dan cacat."Ralin menggeleng-gelengkan kepalanya melihat Kenra yang tampak ingin selalu tampil sempurna, dia benar-benar putri Kenzi.Ralin meraup kedua pipinya dengan lembut, "Kenra tetap cantik kok, gips itu hanya agar Kenra cepat sembuh lalu bisa menulis lagi dan belajar, hmmm, atau menyisir rambut mommy bagaimana?" Ralin menjelaskan dengan tersenyum, tidak mudah memang memberi pengertian pada anak yang kritis seperti Kenra. "Kalau Kenra pakai gips, apa kita akan pulang kerumah?" Ralin mengangguk tersenyum, "Dan Kenra bisa main lagi." Ia menamba