"Kakekk ...." Kanaya langsung menghampiri Kakek Jaya ketika baru pulang dari kantor bersama Yogi.
Kakek Jaya sedang berkumpul dengan semua keluarga di ruang tengah.
"Baru sehari jadi sekretaris. Sudah bikin ulah. Malu-maluin," ucap Dina melirik ke arah Kanaya. Semua netra pun terarah pada Kanaya.
Kanaya terlihat bingung dengan ucapan Mama mertuanya tersebut.
"Bagaimana tadi di kantor? Lancar?" sambung Kakek Jaya.
Kanaya menganggukkan kepala.
"Yah. Ayah tahu 'kan apa yang dia lakukan pada Siska di kantor?"
'Siska? Dari mana mereka tahu soal Aku dan Siska di kantor, tadi?' tanya Kanaya dalam hati. Dia menundukkan kepala. "Ma - maaf Kek. Tapi bukan Kanaya duluan yang salah,"
terangnya sebelum Kakek Jaya meminta penjelasan."Sekarang kamu mandi dulu! Nanti kita bicara, Nay!"
"Ba - baik, Kek."
Yogi hanya diam. Dia tidak mengatakan hal apapun soal keributan antara Siska dan Kanaya di kantor, tad
"Ingat pesan Mama! Ambil hati Kakek!" bisik Dina pada Zein sebelum akhirnya masuk ke dalam mobil."Mama tenang saja!""Yah ... Rudi dan Dina pamit dulu."Kakek Jaya yang tengah berdiri di depan hanya menganggukkan kepala."Yogi, Kanaya. Papa dan dan Mama pulang dulu." Rudi menepuk bahu Yogi. "Zein, baik-baik di sini!" sambungnya.Mereka langsung masuk ke dalam mobil. Tidak ada ucapan khusus dari Dina untuk Yogi ataupun Kanaya.---Sesaat setelah mobil keluar dari pintu gerbang. Dina langsung mengambil ponsel di dalam tasnya. Dia mengirim pesan untuk Siska.[Siska. Kamu jangan menyerah! Jangan kalah dengan office girl itu!]Tidak berapa lama, Siska pun membalasnya.[Tante tenang saja! Siska akan merebut Yogi dari perempuan itu. Siska juga sudah memutuskan akan meneruskan karier Siska di sini.]Dina mengulas senyum tipis, sesaat setelah membaca pesan dari Siska.
"Lho. Kok sudah pulang, Nay? Katanya mau ke kantor?" tanya Kakek Jaya yang sedang berada di depan.Kanaya masih berpikir untuk menjawab pertanyaan Kakek."Tadi ada Si ...." Seketika Kanaya langsung menginjak keras kaki Zein. "Auu ...." teriak Zein kesakitan."O - oh, maaf Zein! Aku tidak sengaja. Awas ya, kalau kamu bilang macam-macam sama Kakek," ucap Kanaya pelan di depan Zein. "Iya, Kek. Tiba-tiba Naya ngga enak badan. Makanya sama Mas Yogi disuruh istirahat di rumah saja." Kanaya berusaha menutupi yang sebenarnya dari Kakek."Kamu sakit? Mau Kakek panggilkan dokter?""Ng - nggak usah, Kek. Bentar lagi juga sembuh. Biasa. Urusan perempuan. Ya sudah. Naya masuk ke dalam dulu ya, Kek."Kanaya pun langsung masuk. Dia ingin segera sampai ke kamar. Perasaannya sakit ketika melihat Yogi memeluk Siska, tadi.Tiba-tiba terdengar suara tepuk tangan dari belakang. Kanaya pun langsung menoleh."Pinter akting juga ka
"Kek. Naya pamit dulu, ya," ucap Kanaya. Hari ini dia akan pulang ke rumah orang tuanya."Pak Didik. Tolong kamu ikuti mobil Yogi! Bawa semua barang-barang ini ke rumah orang tua Kanaya."Kanaya memandangi barang-barang yang berjejer di halaman. "Ini apa, Kek?" tanyanya."Semua ini untuk orang tuamu, Nay. Sampaikan salam Kakek untuk mereka!"Didik dibantu pekerja lainnya memasukkan barang-barang titipan Kakek Jaya ke dalam mobil."Aku saja yang mengantar barang-barang ini ke rumah Kanaya, Kek," terang Zein yang tiba-tiba datang."Kamu yakin?""Iya. Kek."'Mulai cari muka di depan Kakek orang ini. Tapi ya sudahlah. Lagian Kakek juga sudah mengizinkan,' batin Yogi."Ayo, Nay!" Yogi mengajak Kanaya masuk ke dalam mobil."Dah, Kakek." Kanaya melambaikan tangan sampai keluar pintu gerbang.---"Pak. Terus nanti Bapak tidur di mana?" tanya Kanaya dengan memandang wajah Yogi yang b
"Ini kamar kamu, Nay?""Ya iyalah, Pak, kamar saya.""Tempar tidurnya itu?" Yogi menunjuk tempat tidur berukuran kecil."Memangnya Bapak lihat ada tempat tidur lain?""Sofa?"Kanaya tertawa ngakak. "Sofa? Ya ngga ada lah, Pak."Yogi masih terus berdiri mematung. "Terus. Saya tidur di mana?""Itu dia yang sedang saya pikirkan dari tadi. 'Kan ngga mungkin saya menyuruh Bapak tidur di ruang tamu. Apa kata Bapak dan Ibu, nanti?""Ya sudah. Kita tidur bersama."Seketika Kanaya langsung menatap Yogi dengan netra yang membulat. "Tidur bersama? Ngga-ngga. Mendingan saya ambil tikar. Dan tidur di bawah."Gegas Kanaya keluar dari kamar untuk mengambil tikar sebagai alas dia tidur.---"Nah. Beres," ucap Kanaya selesai menggelar tikar. Dia langsung mengambil bantal, guling, serta selimut."Saya tidur di bawah. Dan Pak Yogi tidur di atas!" terang Kanaya."Banta
"Saya berangkat dulu, Pak, Bu," pamit Yogi yang akan berangkat ke kantor."Hati-hati, Sayang!" Kanaya bersikap sok romantis di depan kedua orang tuanya. "Awas, ya, kalau di kantor berduaan lagi sama Siska," bisik Kanaya mengancam.'Apa maksudnya Kanaya bicara seperti itu? Apa dia cemburu dengan Siska? Berarti dia benar-benar mencintai saya?' tanya Yogi dalam hati."Sana berangkat! Sampai kapan kamu mau lihatin istrimu tanpa berkedip seperti itu?" Kanaya mendekatkan wajahnya persis di depan wajah Yogi. Sontak Yogi pun kaget dan sedikit gugup."Saya berangkat dulu."Saat Yogi hendak melangkahkan kaki menuju mobil. Tiba-tiba Zein datang. Dia langsung keluar dari mobil dan menyapa Kanaya serta kedua orang tuanya."Selamat pagi, Nay. Bapak, Ibu." Zein langsung meraih tangan Heru dan Tari."Pagi, Nak Zein." Tari mengulas senyum hangat pada adik tiri Yogi tersebut. "Pak, Nak Zein ini adiknya Nak Yogi." Tari memperkenalkan Zein
"Hari ini kamu pengen apa, Nay?" tanya Yogi dengan mengulas senyum tampan.'Ish ... ini orang kenapa lagi, senyum sok manis, gitu?' tanya Kanaya dalam hati."Pengen apa? Ngga pengen apa-apa, juga.""Sebut saja sesuatu yang benar-benar kamu pengen saat ini!" ucap Yogi sembari merangkul Kanaya."Pak. Bapak sedang tidak sakit 'kan?" tanya Kanaya sembari memegang kening Yogi.'Kenapa sikap Pak Yogi tiba-tiba aneh begini?' batin Kanaya."Kamu itu aneh ya, Nay. Saya bersikap baik malah dikira sakit. Apa kamu lebih senang kalau berdebat dengan saya?"'Hari ini kamu benar-benar membuat saya kagum, Nay. Tapi kalau saya bilang soal kekaguman saya ini, pasti kamu akan besar kepala,' ucap Yogi dalam hatinya.Tiba-tiba netra Kanaya tertuju pada seorang Bapak yang menjual jagung bakar di pinggir jalan tak jauh dari restaurant tempat mereka meeting tadi."Pak. Saya mau itu." Kanaya menunjuk jagung bakar yang sedang dikipa
Kakek Jaya berdiri di depan pintu dengan raut wajah yang begitu serius. Beliau menunggu kepulangan Yogi dan Kanaya untuk menjelaskan semua yang telah Zein katakan.Ternyata Zein tidak mau menunggu waktu lama untuk memberitahu Kakek Jaya soal apa yang dia dengar di kantor, tadi. Karena ini kesempatan Zein untuk menggantikan posisi Yogi sebagai direktur. Hal yang selama ini diinginkan juga oleh Dina—mamanya.---"Pak. Bagaimana kalau Zein memberitahu soal rahasia pernikahan kita pada Kakek?"Yogi hanya diam. Tapi dia terlihat sedang berpikir serius.'Pasti hal ini tidak akan disia-siakan oleh Zein. Karena aku yakin, Zein punya niat tidak baik dibalik keputusannya tinggal disini,' pikir Yogi dalam hati."Coba ... tadi Pak Yogi tidak bicara yang menyangkut soal pernikahan kita. Pasti saya 'kan tidak nyeplos begitu saja menjawab ucapan Bapak. Kalau sudah seperti ini, apa yang harus kita lakukan? Saya tidak bisa membayangkan reaksi Kak
Yogi masih tidak percaya dengan apa yang dia dengar. Dia menatap tangan Kanaya yang masih terus memeluk tubuhnya. Bahkan semakin erat.'Kanaya mencintaiku? Apa itu benar?' "Kalau Pak Yogi pergi. Saya juga akan ikut bersama Bapak."Yogi melepas tangan Kanaya dengan pelan. Dia membalikkan badan dan menatap wajah istri enam bulannya tersebut."Untuk apa kamu ikut saya, Nay? Kita 'kan sebentar lagi akan bercerai."Kanaya menggelengkan kepala. "Saya tidak mau bercerai dengan Bapak. Meskipun Pak Yogi tidak mencintai saya, tapi saya akan tetap mencintai Bapak. Saya tetap ingin menjadi istri Bapak. Untuk selamanya.""Tapi, Nay.""Tapi kenapa, Pak? Karena Bapak mencintai Siska? Saya tidak peduli dengan hubungan kalian. Yang saya inginkan saat ini hanya mempertahankan pernikahan kita."'Sebenarnya saya juga jatuh cinta denganmu, Nay,' batin Yogi dengan memandang lekat Kanaya."Nak Yogi. Apa Nak Yogi benar-benar tidak ingin