“Kamu ingat kejadian tahun lalu?”
Mata Alexa menatap Mike dengan harapan anak laki-laki itu tahu sesuatu. Uraian kejadian tahun lalu mungkin terjadi di hadapan Mike dan Mary. Alexa percaya kalau anak kecil memiliki daya ingat yang kuat, mereka bisa menangkap memori yang mereka alami.
Beberapa saat kemudian Mike menganggukkan kepala, “Aku ingat.”
Napas Alexa yang terasa tercekat karena menunggu jawaban anak laki-laki di hadapannya kini berangsur lega. Ia meminta Mike menceritakan sesuatu yang terjadi di musim dingin tahun lalu.
“Apakah kamu bisa menceritakannya?” tanya Alexa.
Mike kembali mengangguk, “Waktu itu, aku dan Mary ada di sana.” Jari telunjuk Mike menunjuk ke arah bangku panjang yang berada di depan Moore’s Boutique.
“Paman pemilik toko roti—”
Alexa menghentikan ucapan Mike, “Kamu bisa memanggilnya paman Alan.”
“Baiklah,” sa
Cuaca dingin di London tidak memudarkan senyum wanita cantik yang baru saja keluar dari lobi apartemen. Menurutnya, hari ini akan menjadi hari paling spesial karena ia akan mengenalkan sang kekasih pada papanya. Mereka sudah merencanakan hal ini dari bulan lalu, tepatnya saat libur musim dingin tiba Alexa Smith dan kekasihnya Dave Edwards akan menemui keluarga masing-masing untuk saling mengenal dan meminta restu agar hubungan mereka selalu dimudahkan. Senyumnya semakin lebar tatkala melihat mobil Mercedes Benz C-Class milik kekasihnya. Alexa mempercepat langkah kakinya, setelah sampai di pintu mobil bagian samping kanan, ia membukanya. “Hai!” sapa Alexa, bersemangat. Wanita muda berusia dua puluh dua tahun itu terlihat cantik dengan riasan wajah, rambut cokelatnya dibiarkan terurai menutupi punggung yang terbalut sweater rajut abu-abu agar tubuhnya tetap hangat. Senyumnya yang masih mengembang membuat lesung pipit di kedua pipinya terlihat, memiliki bentuk mata deng
“Ya, kenapa memangnya?” tanya Alexa memandang wajah Dave penasaran. “Aku rasa, aku pernah melihat mobil ini,” kata Dave ragu, matanya belum teralihkan dari mobil milik papa Alexa. Dahi Alexa berkerut samar seperdetik kemudian ia tertawa sembari berkata, “Ya ampun, Dave, ini bukan mobil limited edition, siapa pun bisa memilikinya. Dan papaku adalah satu dari sekian banyak orang yang memilih mobil ini sebagai alat transportasinya.” Yang dikatakan Alexa benar kalau siapa pun bisa memiliki mobil ini namun selain mobil, plat nomor yang dilihatnya saat ini seperti pernah ia lihat sebelumnya. Dave menggelengkan kepala pelan tidak ingin memikirkan lebih jauh sekarang, mungkin saja nanti ia mendadak ingat. “Ayo masuk!” ajak Alexa meraih tangan Dave lalu menggenggamnya. Mereka berdua melangkah beriringan menuju pintu utama. Pintu terbuka sebelum Alexa mengetuknya, seorang pria paruh baya keluar dia adalah Alan Smith, papa Alexa. Alan menyambut Alexa den
“Orang tuanya yang telah membunuh mama kamu.” Alan berkata tenang namun pembuluh darah yang terlihat tegang di lehernya menandakan amarah yang tertahankan. Pada akhirnya, Alan telah membeberkan fakta kematian Xania pada Alexa. Alexa tidak dapat menyembunyikan keterkejutannya, karena apa yang dikatakan Alan tidak pernah terpikirkan olehnya. Mamanya dibunuh? Dan pembunuhnya orang tua kekasihnya? Tapi ... saat itu Alan memberitahunya kalau Xania— “Mama kamu bukan meninggal akibat kecelakaan. Maafkan Papa yang telah merahasiakan hal ini,” tutur Alan seakan sadar arah pikiran Alexa saat ini. Alan membalikkan badan, melangkah mendekati putri satu-satunya yang berdiri mematung dengan tatapan tidak percaya. Mata Alan menatap lekat manik mata cokelat Alexa yang sama persis seperti milik Xania dan sekarang Alan merasa menyesal telah memberitahu Alexa tentang kematian Xania. Salah satu pesan yang dikatakan Xania sebelum pergi untuk selamanya ialah jangan pernah memberit
Pukul tiga sore Alexa pergi dari Andover untuk kembali ke London. Sekarang ia sedang berada di apartemennya mempersiapkan pakaian yang akan dikenakan nanti malam untuk bertemu keluarga Dave. Ia yang sibuk mencari pakaian yang cocok dari dalam lemarinya terus diganggu dengan ocehan Dave ditelepon. “Alexa, kalau masalah kemarin masih mengganggu pikiranmu tidak apa jika pertemuan hari ini ditunda dulu. Aku akan bilang pada oma dan paman—“ ucapan Dave terpotong oleh Alexa. “I'm fine, Dave. Aku sudah menunggu hari ini untuk bertemu keluargamu. Sudah ya, telepon aku lagi kalau kamu sudah sampai apartemen, bye!” Ponselnya dilempar asal ke atas kasur. Alexa memutuskan panggilan sepihak, kalau tidak segera diakhiri bisa-bisa Dave tidak akan berhenti berbicara. Pengertian sih boleh tapi jangan berlebihan, contohnya Dave. Dave itu tipikal laki-laki yang bicara sepentingnya saja saat banyak orang namun ketika berdua dengan Alexa, Dave akan membicarakan banyak hal. Tanpa
“Oma, Paman ini Alexa. Alexa, ini Oma dan Pamanku,” tutur Dave mengenalkan siapa kedua orang yang berdiri di hadapannya kini pada Alexa. “Cantik,” gumam Alexa tanpa sadar melihat wajah wanita tua di depannya. Walaupun sudah berumur tidak dapat dipungkiri kalau wanita tua yang Dave kenalkan sebagai Omanya sangatlah cantik dan elegan. “Hm? Kamu bilang apa Alexa?” tanya Oma yang menyadari kalau Alexa sempat mengatakan sesuatu namun terdengar samar olehnya. “Ah, bukan apa-apa. Kenalkan namaku Alexa, Oma,” sapa Alexa melebarkan senyumnya. Kini ia beralih menatap pria di samping Oma Dave. “Paman, aku Alexa.” Martha Edwards itulah nama wanita tua pemilik mansion mewah ini. Senyumannya begitu tulus sejak ia melihat Alexa yang jalan beriringan bersama cucunya, Dave. Saat pertama kali mendengar kalau cucunya itu memiliki kekasih, Martha sangat senang. Tentu kesenangannya bertambah ketika Dave mengatakan akan mengenalkan kekasihnya itu pada Martha. Dan mal
Waktu menunjukkan pukul sebelas siang, Alexa kini tengah sibuk membersihkan apartemennya. Ia membersihkan bagian karpet dan sofa menggunakan pembersih debu. Sesekali ia bersenandung kemudian mendadak tersenyum kecil mengingat pertemuan kemarin malam yang membuatnya senang. Martha yang menyambutnya dengan hangat dan merestui hubungan dirinya dengan Dave sangat membekas di hatinya. Senyumannya memudar ketika mendengar suara bel yang ditekan berulang-ulang seperti tergesa-gesa. Alexa melihat siapa tamu yang datang melalui monitor di samping pintu. Keningnya berkerut samar melihat Dave berdiri di depan pintu apartemennya. Alexa membukakan pintu untuk Dave. “Dave? Ada apa ke sini?” tanya Alexa, kemudian menyuruh kekasihnya itu untuk masuk ke apartemennya. “Alexa jelaskan maksud dari perbuatan papa kamu!” pinta Dave, kilatan matanya terlihat serius dan itu membuat Alexa bingung. “Jelaskan? Jelaskan apa, Dave?” Alexa bertanya untuk meminta
FLASHBACK ON Satu tahun lalu. Seorang pria paruh baya tengah berdiri menghadap jendela dengan ponsel yang di dekatkan ke telinga kanan. Aroma roti dari dalam etalase kaca memenuhi ruangan sebuah toko roti. Ujung matanya berkerut seiring senyuman yang semakin mengembang. Dia adalah Alan Smith, seorang pria sekaligus seorang ayah yang memiliki sifat hangat dan penyayang. Ia tertawa pelan mendengar lelucon putrinya di telepon. “Apakah tidak masalah jika Papa tidak menjenguk oma?” tanya Alan sedikit khawatir. Saat ini putrinya, Alexa Smith sedang pergi ke kota lain untuk menjenguk sang nenek. Lebih tepatnya, nenek Alexa yang ingin dijenguk oleh cucu satu-satunya itu. Alexa yang selama ini disibukkan dengan kegiatan kuliah tidak ada waktu untuk menemui neneknya. Dan kini ia sedang libur kuliah membuat Alexa tidak dapat menolak permintaan neneknya. “Ha ha ha, tentu saja tidak. Bahkan, oma berkata pada Alexa kalau dia bosan dijenguk oleh Papa terus,”
Alexa mengusap air matanya kemudian menatap bangunan bergaya klasik victorian yang menjadi tempat tinggal paling nyaman di hidupnya. Ia melangkah masuk untuk mematikan seluruh lampu di setiap ruangan, mematikan tungku perapian juga, entah sampai kapan rumah ini akan merasakan dingin. Setelah itu, Alexa pergi menuju toko roti yang jaraknya tidak jauh dari rumah. Tulisan Smith's Bakery yang tertera di jendela bangunan dilihatnya sekilas sebelum memasuki toko roti. Alexa mendekati lemari kayu yang berada di pojok ruangan lalu membukanya. Masih ada beberapa syal yang terlipat rapi di dalam lemari, Alexa mengambilnya satu. Air matanya kembali luruh, bukan karena perihal Alan melainkan rasa rindunya pada sang mama. Ia telah ditinggalkan oleh Xania untuk selamanya, kabar duka itu datang saat Alexa tengah berkunjung ke kota lain untuk menjenguk omanya. Setelah kematian Xania, satu bulan kemudian omanya juga menyusul. Alexa tersenyum getir, pada akhirnya ia hanya dapat bergan