“Selamat datang kembali di kehidupan bebasmu, Jenar,” ucap Bian, teman satu selku yang telah bebas satu bulan lebih cepat dariku.
“Senang bisa melihat kamu tertawa lagi, Bian.” Kami saling berpegangan tangan dan tersenyum terharu. Masa-masa sulit kami akhirnya berlalu juga.
“Hei, ini bukan saatnya untuk melankolis. Kita harus bergerak dengan cepat, kalau mau rencana kita berhasil,” desak Talia. Kami menatapnya dengan bingung.
“Kamu yang menyetir. Kami sama sekali tidak menghalangi kamu untuk menjalankan mobil, Talia,” goda Bian. Kami tidak bisa tidak tertawa mendengar namanya disebut. Dia begitu bangga menyebut bahwa neneknya adalah penggemar telenovela dari Meksiko. Dia menamakan salah satu cucunya dengan nama pemeran wanita idolanya. Dia berharap nasib cucunya tersebut akan sama dengannya. Sayangnya, Talia tidak sama seperti Thalia tersebut.
Tidak sampai satu jam kemudian, kami tiba di depan sebuah rumah. Untuk ukuran seorang yang bekerja sebagai abdi negara, rumah itu termasuk mewah. Aku melihat ada dua tempat parkir luar untuk mobil, tetapi satu tempat kosong. Mungkin pemilik mobil itu belum pulang.
“Suaminya tidak ada di rumah. Dinas keluar kota. Jadi, ini adalah saat yang tepat. Dia sendirian.” Talia memberikan sepasang sarung tangan dan penutup kepala berwarna hitam kepadaku. “CCTV ada di dekat pintu depan, jadi kalian akan masuk lewat pintu belakang. Pastikan saat menaiki tangga, kalian tidak tertangkap kamera di pintu itu.” Dia kelihatan khawatir dengan dahi berkerut.
“Beres. Aku dan Bian sudah tahu apa yang harus kami lakukan. Kita sudah merencanakan hal ini selama berbulan-bulan. Kami tidak akan gagal.” Aku menepuk pundak Talia untuk menenangkannya.
“Kamu serius tidak ada alarm pada pintunya, ‘kan?” tanya Bian memastikan. Dia sudah mengenakan kedua sarung tangan hitamnya.
“Tidak. Mereka berdua terlalu yakin bahwa tidak akan ada orang yang berani mengganggu tempat tinggal mereka.” Talia mendengus pelan. “Padahal ada banyak orang yang menginginkan kematian mereka. Lihat saja, tidak ada orang yang berjaga di luar.”
“Setelah ini, mereka pasti akan meminta banyak pengawal pribadi untuk ditempatkan di rumah itu untuk menjaga mereka. Syukurlah, kita orang pertama yang memberi mereka peringatan.” Aku mengedipkan sebelah mataku kepada Talia. “Kamu siap, Bian?”
“Sejak satu bulan yang lalu,” jawabnya sambil menurunkan penutup wajahnya.
Kami keluar dari mobil dan menutup pintunya sesenyap mungkin. Talia segera menguncinya dari dalam. Aku mengikuti Bian yang menyeberang jalan lebih dahulu. Dia bergerak dengan lincah seolah tubuh besarnya itu tidak menjadi beban baginya. Tepat jam satu dini hari, semoga saja semua orang sudah berada di alam mimpinya.
Bian memanjat pagar, lalu bergegas menuju bagian belakang rumah. Aku mengikutinya dengan jarak sedekat mungkin. Dia mempelajari jenis lubang kunci pintu tersebut, lalu mulai menggunakan alat yang dia bawa untuk membukanya. Begitu mendengar bunyi klik sebanyak dua kali, kami tersenyum puas. Dia membuka kenop pintu dan mempersilakan aku masuk lebih dahulu.
Aku menuruti ucapan Talia dengan berhati-hati saat menaiki tangga. Kami bisa saja mengutak-atik kamera tersebut. Tetapi kami memutuskan untuk membiarkannya saja, agar tidak meninggalkan jejak kami pernah datang. Bian memeriksa pintu pertama. Kosong. Dia lanjut memeriksa pintu kedua, lalu menggerakkan kepalanya supaya aku masuk.
Aku tersenyum melihat wanita itu tidur pulas di tempat tidur berukuran besarnya seorang diri. Bian menunjuk ke arah kursi yang ada di depan sebuah meja rias. Aku mengangguk setuju. Dia menggeser kursi itu bersamaan dengan aku membekap mulut perempuan itu dengan lakban hitam.
Dia segera membuka matanya, tetapi masih tidak sadar apa yang sedang terjadi terhadapnya. Bian memegang kedua tangannya, sedangkan aku mengangkat kedua kakinya. Kami segera memindahkan dia ke kursi, lalu mengikat kedua tangan dan kakinya. Begitu mengerti apa yang terjadi kepadanya, dia memberontak sekuat tenaga. Kami hanya menonton ketika kursi itu jatuh ke belakang.
Kami menunggu sampai dia tenang, lalu Bian memperbaiki posisi kursi tersebut. Napas wanita itu memburu ketika dia berusaha untuk mengenali kami. Aku menoleh ke arah Bian, dia mengangguk mengerti. Dia mengeluarkan sebuah tablet dari tasnya dan memainkan sebuah video. Mata wanita itu melotot begitu mengenali adegan yang ada pada layar di hadapannya.
Hal yang dahulu membuat aku nyaris muntah itu, justru menjadi alat yang berguna untuk membalas perbuatannya. “Rahasia yang berbahaya untuk diketahui oleh publik. Iya, ‘kan, Ibu Kepala Lapas?”
Dagu wanita itu bergetar dengan hebat. Entah karena gentar mendengar kalimat yang baru aku ucapkan atau lakban di mulutnya menempel terlalu ketat. Dia tidak bisa mengenali kami dengan wajah tertutup, tetapi aku yakin dia sudah tahu siapa aku lewat suaraku.
Kedua matanya menatap aku dengan tajam sampai mengeluarkan air. Dia berusaha untuk membuka ikatan pada tangannya dan kakinya. Tetapi usahanya itu sia-sia belaka. Dia mendesah keras. Melihat itu, aku menundukkan badan agar wajahku dan wajahnya sejajar.
“Kamu ingin mengatakan sesuatu?” Aku memegang lakban tersebut. “Satu teriakan saja, aku akan membuat wajahmu babak belur. Aku tahu bahwa kamu sangat sayang pada muka cantikmu ini.” Dia diam. Aku membuka lakban itu dengan paksa, tidak peduli dia memejamkan mata menahan sakit.
Dia terbatuk-batuk. Bian memberikan sebuah gelas berisi air kepadanya. Dia tidak menolak ketika sahabatku meletakkan bibir gelas ke mulutnya. Setelah beberapa teguk, dia berhenti. Dia menatap aku dan Bian secara bergantian.
“Jenar? Kamu pasti Bian.” Dia tertawa sinis. “Kamu pikir aku takut dengan ancaman video itu? Kamu yang seharusnya takut. Apa kamu tahu apa yang akan terjadi kepadamu begitu polisi tahu bahwa kamu melakukan kejahatan di masa wajib lapormu?”
“Ah, iya. Mengenai hal itu. Bagaimana bisa seorang yang menjalani hukuman dengan penuh, tanpa diberi potongan masa hukuman setelah bersikap baik, malah diminta wajib lapor ketika bebas?” Aku mendekatkan wajahku kepadanya. Dia menelan ludah dengan berat. “Jika aku menyelidiki hal ini, mungkinkah aku akan menemukan bukti kejahatanmu yang lain, Ibu Kepala Lapas?”
“Hah. Kamu coba saja. Tidak akan ada yang membiarkan kamu menyelidiki apa pun.” Dia tersenyum dengan arogan. “Kalian mau menyebarkan video itu? Silakan. Dalam waktu satu detik, video itu akan lenyap dan kalian yang akan masuk penjara.”
“Tetapi, Ibu Kepala Lapas ….” Aku memasang wajah lugu, walaupun dia tidak bisa melihatnya. “Nama pengirimnya tidak lain adalah Ibu sendiri. Jadi, kami tidak akan pernah tertangkap.”
Bian mengambil ponselnya yang ada di atas nakas. “Memangnya kalian bisa apa? Kalian bukan ahli IT, bagaimana kalian bisa memasuki akunku? Kalian pikir aku ini bodoh?” ejeknya.
“Mudah saja.” Aku mengangguk ke arah Bian. Dia mendekati wanita itu, lalu membuka kunci layar ponsel itu dengan sidik jari tengah kanannya. “Semua orang tahu bagaimana membuka ponselmu ini. Bian tinggal mengirim videonya, lalu tarraa … Ibu mempublikasikan video itu di media sosial Ibu.”
“Berengsek! Kalian memang penjahat tidak berguna yang tidak pernah bertobat!” makinya sekeras mungkin. Aku segera membungkam mulutnya kembali. “Tidaakk! Tid—”
Dia tadi begitu arogan, lalu sekarang ketakutan. Bagus. Tidak banyak yang tahu bahwa wanita ini punya orientasi seksual yang menyimpang. Kami para korbannya yang mengetahuinya. Video ini adalah satu-satunya bukti yang kami punya. Karena kami baru bisa merekam pelecehan yang dia lakukan, setelah menemukan petugas lapas yang juga muak dengan caranya memimpin.
“Segera publikasi video itu,” perintahku kepada Bian. Wanita itu memberontak dengan keras. Dia berusaha mengatakan sesuatu, tetapi kami tidak bisa memahaminya. “Ada apa, Ibu Kepala Lapas? Aku publikasikan videonya sekarang?” Dia segera menggelengkan kepalanya dengan liar. “Jangan dipublikasikan?” Dia kini mengangguk-angguk dengan cepat.
Aku tersenyum. “Apa Ibu sudah siap untuk bicara baik-baik?” tanyaku pelan. Dia mengangguk lagi. “Permintaan kami hanya satu, Bu. Bekerjalah dengan benar. Jangan siksa para tahanan. Perlakukan mereka selayaknya manusia. Kalau aku mendengar Ibu berbuat semena-mena lagi, tidak ada tawar-menawar. Video itu akan kami sebar.”
Kami meninggalkan rumah itu tanpa insiden. Talia masih menunggu di dalam mobil. Dia membuka kunci sentral dan kami segera masuk. Kami menunggu beberapa saat sebelum pergi. Jantungku berdebar begitu cepat membuat dadaku terasa sesak. Aku sangat puas, rencana pertama kami berjalan dengan baik.
“Semuanya sesuai dengan rencana. Laporkan kepada kami jika dia tidak menepati janjinya.” Aku memberikan sarung tangan dan penutup kepala yang aku pakai tadi kepada Talia.
Semoga saja wanita itu menepati ucapannya. Video itu sebenarnya bisa merusak reputasiku juga. Tetapi aku sudah tidak peduli dengan itu. Aku adalah seorang mantan napi, jadi tidak ada satu hal pun yang bisa merusak namaku lagi. Nama baikku sudah tercoreng sejak hakim mengetuk palu dan menyatakan aku bersalah.
Aku pulang tanpa ada yang mengetahui dan menjadi orang pertama yang bangun pada pagi harinya. Aku berpikir demikian sampai aku melihat sesuatu di atas nakas. Aku menyalakan lampu meja, lalu melihat ada sebuah kartu ATM, buku tabungan, setumpuk uang, dan sebuah kotak dengan gambar ponsel. Jeff. Dengan penampilan seadanya, aku keluar dari rumah menuju gerbang depan komplek.
“Waah! Aromanya enak sekali!” Dina keluar dari kamar dengan mantel sutra yang tidak ditutup pada bagian depannya, dan salah satu bahunya dibiarkan terbuka.
Aku hanya diam melihat dia mengambil salah satu panekuk dan menaruh di sebuah piring. Dia memakannya dengan lahap. Setelah satu potong habis, dia melihat ke arah tumpukan kue tersebut. Aku tidak terkejut melihat dia tidak menambah makanannya. Pasti dia takut gemuk.
“Untuk apa kamu memasak makanan sebanyak ini? Anak-anak tidak akan memakannya.” Dia berdiri dengan wajah tersenyum.
Aku mematikan kompor, lalu menoleh ke arahnya dengan bingung. “Mengapa tidak?”
Bukannya menjawab pertanyaanku, dia berdiri dan kembali ke kamarnya. Perempuan sialan. Apa lagi yang sudah dia rencanakan terhadap keluargaku? Tidak mau menunggu, aku memeriksa kamar anak-anak. Kosong. Pintu yang aku buka benar, karena ada dua tempat tidur untuk anak-anak dan lemari berisi mainan anak laki-laki. Pintu depan terbuka, aku melihat siapa yang datang. Jeff. Melihat pakaian yang dia kenakan, dia pasti baru saja berolahraga. Aku kembali menuju konter dapur dan memasukkan semua bahan makanan ke dalam wadah tertutup, lalu menyimpannya ke lemari es. Aku berbelanja banyak pagi tadi demi memasak untuk anak-anak. Mengapa aku tadi tidak memeriksa kamar mereka dahulu? Dina dan Jeff keluar dari kamar dalam keadaan rapi. Perempuan itu menarik tangan suamiku agar dia tidak pamit kepadaku. Ada-ada saja. Dia boleh memiliki pria itu selama yang dia mau. Aku tidak peduli aku masih diperlakukan layaknya istri atau tidak. “Selamat pagi, Bu!” sapa seseorang dari arah luar pagar. Aku membal
Dia tahu alamat lengkapku, jadi dia tidak perlu membuntuti aku pulang. Apa jangan-jangan dia mau memastikan aku berkata jujur atau berbohong? Tetapi petugas lapas saja tidak usil ingin tahu apa aku memberi data pribadi dengan jujur atau tidak. Jangan-jangan … dia tinggal di komplek ini juga. Oh, Tuhan. Aku sudah berhasil lepas darinya bertahun-tahun yang lalu. Mengapa dia datang lagi dan mengganggu hidupku? Jantungku berdebar dengan cepat dan tubuhku gemetar hanya memikirkan apa yang pernah terjadi pada masa laluku. Tidak. Aku tidak boleh membiarkan dia menang. Dia tidak punya pengaruh apa pun lagi dalam hidupku. “Bu.” Aku melompat terkejut saat pundakku disentuh. “Ah, maafkan saya. Tetapi ada mobil yang berhenti di depan rumah Ibu. Anda tinggal bersama Pak Jeffrey dan Ibu Adina, benar?” tanya seorang pria yang berpakaian satpam. Aku mengangguk pelan. “Sepertinya itu tamu.” “Biarkan saja. Dia datang tanpa memberi tahu. Aku tidak mau bertemu dengannya.” Aku tidak bergerak sedikit pun
~Jeffrey~ Orang-orang mengenal aku sebagai laki-laki dingin yang tidak bisa dibaca apa maunya. Aku tidak banyak bicara sehingga sulit menemukan orang yang bisa memahami aku. Anehnya, sikapku itu justru menarik perhatian para perempuan untuk mendekati aku. Walaupun aku tidak pernah kekurangan wanita yang bersedia untuk menjadi pacarku, belum ada yang bisa mengetuk pintu hatiku. Ibu sampai khawatir aku tidak akan pernah menikah. Padahal usiaku masih dua puluh lima tahun. Aku dan Lauren selalu menganggap angin lalu keluhan Ibu tersebut. Tetapi begitu adikku menikah, dia menjadi sekutu Ibu yang ikut menyusahkan aku. “Hei!” Seorang wanita muda menyentuh bahuku. “Maafkan aku. Tetapi sepertinya kamu salah tempat duduk.” Dia melambaikan tiket yang dia pegang. Aku menatapnya dengan bingung, lalu melihat ke sekelilingku. Aku baru sadar bahwa aku tidak duduk di antara teman-temanku. Melihat lambaian tangan dari sudut mataku, aku menoleh dan menemukan mereka. “Maafkan aku,” ucapku kepada wanit
Aku menyempatkan untuk mengambil semua milik pribadi Jenar di laci meja kerjaku, juga membeli ponsel dengan nomor baru untuknya. Semua itu aku letakkan di nakas di kamarnya. Dia masih seperti kebiasaannya. Tidak terbangun sekalipun ada yang menyentuhnya. Kesempatan itu aku gunakan untuk mencium keningnya. Bila waktunya tiba, aku akan bisa mencicipi bibirnya lagi. Tetapi tidak dalam kondisi tidur.Ketika memeriksa keadaan anak-anak, aku terkejut. Mereka tidak ada di kamar tidur mereka. Apa yang terjadi? Mengapa Dina tidak mengatakan apa pun kepadaku? Mereka adalah anak-anakku. Siapa yang berani mengambil mereka dari rumahku tanpa izinku?Aku keluar dari kamar dan menuju luar rumah. Biasanya aku berolahraga, tetapi pikiranku sedang kacau. Aku menelepon Ayah. Setelah menunggu beberapa saat, barulah aku mendengar suara sapaannya. Memahami apa tujuanku menelepon, Ayah segera meminta maaf.“Aku akan menjemput mereka sepulang dari tempat kerja. Aku harap Ayah dan Ibu tidak melakukan hal yang
Aku tidak mendengar dia membuka pagar, pintu depan, bahkan saat menaiki tangga. Aku baru tahu dia sudah sampai di rumah ketika dia membuka pintu. Itukah sebabnya aku tidak mendengar saat dia pergi tadi? Iya, aku tertidur. Tetapi aku pasti akan mendengar bunyi langkahnya menuruni tangga.Lampu kamar menyala. Dia menarik napas terkejut melihat aku duduk di tepi tempat tidurnya. Dia melihat ke luar kamar, lalu menutup pintunya dengan cepat dan sesenyap mungkin. Dia memakai baju hitam berlengan panjang dan celana panjang berwarna sama.“Apa yang kamu lakukan di sini?” tanyanya dengan suara berbisik. “Kalau Dina sampai tahu—”“Mengapa kamu tidak menjawab panggilanku? Kamu dari mana?” tanyaku tidak peduli dengan kekhawatirannya itu. Dia hanya diam. “Apa kamu menemui seorang laki-laki di luar sana untuk memenuhi kebutuhanmu?” Dia masih diam. Aku berdiri dan mendekat, tetapi dia mundur menjauh. Aku baru berhenti setelah dia tersudut di dinding.“Selama aku di dalam penjara, kamu tidak peduli
~Jenar~Aku menunggu dengan gugup melihat mereka lama sekali keluar dari kamar. Seharian ini aku hanya membantu Bian di tokonya, lalu pulang setelah makan siang bersamanya. Aku tidak tahu apa anak-anak akan pulang pada hari ini. Tetapi aku memasak kue andai hari ini keajaiban terjadi.Syukurlah, mereka tidak bersikap segan kepadaku. Dugaanku benar. Mereka mirip seperti papa mereka. Cara untuk memenangkan hati mereka adalah lewat perutnya. Semoga saja mereka juga menyukai semua makanan yang diberi cokelat, seperti Jeff.Pintu kamar terbuka, Jax dan Remy segera berebutan berlari mendekati aku. “Mama!” seru mereka sambil memeluk pahaku. Aku tertegun sejenak. Jeff keluar dari kamar dan berdiri di dekat pintu itu. Tidak ada emosi apa pun pada wajahnya.Aku melihat ke arah dua anak yang masih memeluk aku. Air mata jatuh saat aku akhirnya bisa membelai rambut halus dan lebat mereka. Aku memegang tangan mereka, lalu berlutut. “Kalian tadi memanggil aku apa?” tanyaku tidak percaya.“Mama!” jaw
Tanpa menjawab pertanyaannya yang menantang aku itu, aku memungut kue pemberian Bian dan memasukkannya kembali ke kotak. Untung saja setiap kue lemper itu terbungkus daun pisang dan plastik. Lantai kamarku juga bersih, jadi tidak ada debu yang menempel.Lalu sesuatu tebersit di kepalaku. Tidak. Aku pasti akan membunuhnya jika dia sampai melakukan hal itu lagi. Aku bergegas turun dan memeriksa kulkas. Berengsek! Yang aku cari justru berada di tempat yang sama, bersama nasi goreng yang dia buang tadi.“Kau …!” ucapku geram. Dia berjalan mundur, tetapi aku lebih cepat. Aku memegang kedua pipinya dengan tangan kananku. Lalu mendorong dia ke dinding. Aku tidak peduli mendengar ringisannya.“Apa kamu tahu berapa orang di luar sana yang tidak bisa makan?” ucapku geram, menahan amarah. “Ke mana otakmu sampai tega membuang semua makanan yang susah payah aku masak? Ini yang terakhir. Apa kamu dengar aku? Ini yang terakhir, atau aku bersumpah Jeff akan mengusir kamu dari rumah ini hanya dengan s
Aku memikirkan apa yang perlu aku lakukan sebelum masuk ke rumah. Apa yang terjadi pada hari Minggu tidak boleh terulang lagi. Aku serius dengan yang aku rasakan. Aku tidak mau diam-diam bermesraan dengannya, padahal akulah istrinya yang sah.Namun aku terkejut melihat anak-anak berwajah sedih di ruang depan. Jeff berdiri dan berjalan mendekati aku. “Apa kamu lupa bahwa mulai hari ini aku akan mengantar mereka pulang dari sekolah?” bisiknya, agar hanya aku yang mendengar. “Mengapa kamu tidak menjawab ponselmu?”“Oh, Tuhan.” Aku menarik napas terkejut. Apa yang aku pikirkan? Bagaimana aku bisa lupa dengan hal sepenting itu? “Apa mereka sedih karena itu?”Dia menggeleng pelan. “Dina mengambil kotak makan siang mereka. Jadi, mereka sedih tidak makan kue darimu saat di sekolah.” Dia menoleh ke arah mereka. “Aku harus kembali ke kantor.”Aku mengangguk. Setelah dia mengeluarkan mobil dari garasi, aku menutup dan menggembok pagar. Kedua anak itu masih cemberut di ruang depan. Padahal acara