Walaupun aku sudah bisa menebak siapa dan apa alasannya, aku mau mendengarnya langsung dari mulut kuasa hukumku. Polisi tadi sudah memberi petunjuk yang cukup jelas. Karena tidak mungkin hanya Wahyo yang melaporkan aku bila mereka sampai yakin bisa menjebloskan aku ke penjara lagi.Namun sebelum Franky menjawab, pintu ruangan dibuka dan seorang polisi masuk. Dia hanya mengangguk ke arah pengacaraku, lalu menutup pintu kembali. Apa maksud anggukan itu? Aku melihat ke arah Franky yang berdiri dari kursinya.“Kamu bebas. Ayo, kita pergi dan bicara di tempat lain saja.” Dia berjalan mendekati pintu.Sebuah ide bermain di kepalaku mendengar kalimat pertamanya itu. “Apa aku boleh melakukan satu hal sebelum kita pergi?”Entah apa yang Franky katakan, aku mendapat izin dari polisi. Pria itu menunggu di dekat pintu masuk, sedangkan seorang petugas menemani aku. Dia bersikap baik kepadaku dan tidak bersikap kasar seperti rekannya yang pernah membawa aku ke tahanan ini.“Akhirnya! Aku tahu kamu
Jax dan Remy setengah menarik tanganku saat keluar dari taksi. Aku membawa banyak kantong plastik berisi keperluan sekolah mereka, jadi tidak bisa berjalan dengan cepat. Di mana Jeff? Apa dia tidak mendengar bunyi mesin mobil atau seruan anak-anak? Aku butuh bantuan dengan bawaanku. Lalu mengapa semua orang ini datang bersamaan ke rumah kami? Tidak ada acara khusus pada hari ini, juga tidak ada rencana akan membuat acara. Hanya ada suamiku di rumah, Lalu apa yang mereka lakukan di sini? Oh, tidak. Jangan-jangan terjadi sesuatu terhadap Jeff. “Cepat buka pintunya, Ma!” desak Jax. Tanganku gemetar saat mencari kunci di dalam tas, karena rasa khawatir. Putraku itu bergerak lebih cepat dengan menekan kenop pintu. Ternyata tidak dikunci. “Papa!” panggilnya serentak dengan adiknya. Aneh. Mengapa tirai jendela ditutup semua? Lampu juga tidak dinyalakan. Ke mana perginya mereka yang memarkirkan mobilnya di depan rumah? Anak-anak malah tertawa cekikikan di ruang depan sambil berjalan ke arah
~Jeffrey~ Istriku bersaksi dengan berani dan menjawab setiap pertanyaan dengan gamblang. Apa pun kata yang digunakan kuasa hukum para terdakwa atau hakim saat bertanya, jawaban Jenar tidak berubah. Itu adalah bukti bahwa dia tidak berbohong atau mengarang jawabannya. Dia kembali duduk di sisiku setelah kesaksiannya dianggap selesai. Aku memegang tangannya dan meletakkan di atas pangkuanku. Aku bisa merasakan Dina tidak mengalihkan pandangannya dariku, tetapi aku mengabaikannya. Perbuatannya atas istriku tidak termaafkan. “Sayang sekali, sidangnya tertutup, jadi kami tidak bisa ikut menyaksikan yang terjadi selama sidang,” keluh Ibu. Ayah yang memanggil anak-anak, maka Ibu yang membukakan pintu rumah. “Pihak tergugat yang keberatan sidang itu dilaksanakan secara terbuka. Tidak apa-apa, Bu. Sidang masih berjalan dengan baik,” kataku, menjelaskan. “Papa! Mama!” seru anak-anak yang berlari mendekati kami. Aku meminta mereka untuk pamit kepada kakek dan nenek mereka, lalu kami keluar m
~Jenar~ “Mengapa kau diam saja, Jeff? Cepat selesaikan semuanya sekarang,” kata Dina mendesak. Jeff masih diam menatap aku. Wanita di sisinya itu mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya. “Ini.” Dia meletakkan sebuah map di atas meja. Suamiku mengambilnya, lalu menggesernya ke arahku. Aku tidak perlu membukanya untuk tahu apa yang akan dia katakan. “Kamu tahu bahwa kita sudah tidak mungkin untuk kembali bersama. Tanda tangani surat ini. Aku mau kita bercerai.” Lima tahun lamanya kami berpisah, tidak bertemu, bicara, apalagi saling menyentuh. Lalu pada hari pertama kami bertemu kembali, suamiku justru memberikan aku surat permohonan cerai. Apakah terlalu berat untuk menunggu satu minggu, tidak, satu hari untuk membahas ini? Ini bukanlah dokumen perceraian yang pertama yang pernah dia berikan kepadaku. Gugatan cerai pertama dia tunjukkan saat aku divonis hukuman penjara selama lima tahun. Ingatanku mengenai ruang persidangan, setiap hakim, penuntut, pengacara, petugas pengadilan, bahka
Hatiku hancur melihat anak-anakku tidak mengenali aku sebagai mama mereka, tetapi memanggil wanita lain dengan sapaan itu. Darahku yang mengalir di darah mereka. Aku yang mempertaruhkan nyawa ketika melahirkan mereka. Aku memberi keluarga Agung dua orang anak laki-laki sebagai penerus. Begini mereka membayar keringat dan darahku. Belum cukup menyaksikan perempuan lain berbincang dan bercanda layaknya ibu dan anak selama dalam perjalanan singkat yang terasa panjang itu, aku diberi kejutan lain. Ayah, Ibu, dan Lauren juga datang ke rumah yang aku yakin adalah tempat tinggal baru keluargaku. Mereka keluar dari mobil begitu melihat mobil yang Jeff kemudikan mendekat. “Kakek! Nenek!” seru Jax dan Remy secara bersamaan. “Iya! Itu Kakek dan Nenek yang datang untuk melindungi kalian,” ucap Dina yang menatap tajam ke arahku. Dia segera keluar dari mobil, lalu membukakan pintu untuk anak-anak. Aku membantu membukakan sabuk pengaman Remy, ketika Dina membantu Jax. “Terima kasih!” seru Remy ya
“Selamat datang kembali di kehidupan bebasmu, Jenar,” ucap Bian, teman satu selku yang telah bebas satu bulan lebih cepat dariku. “Senang bisa melihat kamu tertawa lagi, Bian.” Kami saling berpegangan tangan dan tersenyum terharu. Masa-masa sulit kami akhirnya berlalu juga. “Hei, ini bukan saatnya untuk melankolis. Kita harus bergerak dengan cepat, kalau mau rencana kita berhasil,” desak Talia. Kami menatapnya dengan bingung. “Kamu yang menyetir. Kami sama sekali tidak menghalangi kamu untuk menjalankan mobil, Talia,” goda Bian. Kami tidak bisa tidak tertawa mendengar namanya disebut. Dia begitu bangga menyebut bahwa neneknya adalah penggemar telenovela dari Meksiko. Dia menamakan salah satu cucunya dengan nama pemeran wanita idolanya. Dia berharap nasib cucunya tersebut akan sama dengannya. Sayangnya, Talia tidak sama seperti Thalia tersebut. Tidak sampai satu jam kemudian, kami tiba di depan sebuah rumah. Untuk ukuran seorang yang bekerja sebagai abdi negara, rumah itu termasuk m
Bukannya menjawab pertanyaanku, dia berdiri dan kembali ke kamarnya. Perempuan sialan. Apa lagi yang sudah dia rencanakan terhadap keluargaku? Tidak mau menunggu, aku memeriksa kamar anak-anak. Kosong. Pintu yang aku buka benar, karena ada dua tempat tidur untuk anak-anak dan lemari berisi mainan anak laki-laki. Pintu depan terbuka, aku melihat siapa yang datang. Jeff. Melihat pakaian yang dia kenakan, dia pasti baru saja berolahraga. Aku kembali menuju konter dapur dan memasukkan semua bahan makanan ke dalam wadah tertutup, lalu menyimpannya ke lemari es. Aku berbelanja banyak pagi tadi demi memasak untuk anak-anak. Mengapa aku tadi tidak memeriksa kamar mereka dahulu? Dina dan Jeff keluar dari kamar dalam keadaan rapi. Perempuan itu menarik tangan suamiku agar dia tidak pamit kepadaku. Ada-ada saja. Dia boleh memiliki pria itu selama yang dia mau. Aku tidak peduli aku masih diperlakukan layaknya istri atau tidak. “Selamat pagi, Bu!” sapa seseorang dari arah luar pagar. Aku membal
Dia tahu alamat lengkapku, jadi dia tidak perlu membuntuti aku pulang. Apa jangan-jangan dia mau memastikan aku berkata jujur atau berbohong? Tetapi petugas lapas saja tidak usil ingin tahu apa aku memberi data pribadi dengan jujur atau tidak. Jangan-jangan … dia tinggal di komplek ini juga. Oh, Tuhan. Aku sudah berhasil lepas darinya bertahun-tahun yang lalu. Mengapa dia datang lagi dan mengganggu hidupku? Jantungku berdebar dengan cepat dan tubuhku gemetar hanya memikirkan apa yang pernah terjadi pada masa laluku. Tidak. Aku tidak boleh membiarkan dia menang. Dia tidak punya pengaruh apa pun lagi dalam hidupku. “Bu.” Aku melompat terkejut saat pundakku disentuh. “Ah, maafkan saya. Tetapi ada mobil yang berhenti di depan rumah Ibu. Anda tinggal bersama Pak Jeffrey dan Ibu Adina, benar?” tanya seorang pria yang berpakaian satpam. Aku mengangguk pelan. “Sepertinya itu tamu.” “Biarkan saja. Dia datang tanpa memberi tahu. Aku tidak mau bertemu dengannya.” Aku tidak bergerak sedikit pun