Mas Hasan sangat lega, mendengar Aisyah juga menolak perjodohan. Jadi, tidak perlu mencari alasan untuk membatalkannya, karena Mas Hasan juga tidak ingin menikah lagi.Tinggal berbicara dengan Umi. Semoga Umi bisa menerima keputusan Mas Hasan.“Yang ini salah, Sayang,” ucap Mas Hasan menunjuk ke buku yang ada di hadapan mereka. Mas Hasan begitu telaten dalam mendidik dan menjaga anak-anak, walau mereka bukan anak kandung Mas Hasan.“Papa, kapan ke Bali lagi?” tanya Nela memandang Mas Hasan.“Insya Allah, Sayang,” jawab Mas Hasan.“Reina, ibu mau bicara.” Pada saat kami sedang asyik belajar, tiba-tiba Umi datang.Dari raut wajahnya sepertinya Umi sedang kesal.“Ya, Umi.” Gegas aku mendekati wanita itu.Kami pun akhirnya memutuskan untuk berbicara di teras.“Reina, orang tua Aisyah ke rumah,” ucapnya.“Terus mereka bilang apa?” Aku pura-pura tidak tahu, walau sebenarnya beberapa hari yang lalu kami bertemu.“Aisyah menolak perjodohan dengan Hasan.”Umi menceritakan, jika A
Pada saat pertama Hasan memperkenalkan Reina sebagai calon istrinya. Aku merasa kecewa. Dia tidak seperti menantu yang aku idam-idamkan. Reina memang wanita yang baik dan santun. Namun, sayangnya dia seorang janda dengan dua orang anak. Tidak ada yang salah dengan statusnya. Namun, sebagai seorang ibu aku ingin wanita yang terbaik untuk putranya.Malam itu, Hasan memohon kepadaku. Namun, aku tetap kekeh tidak mau merestui hubungan mereka.“Umi, hanya Reina yang Hasan cinta. Kalau Umi tidak mau merestui hubungan kami. Hasan memilih pergi dari rumah ini.” Putraku satu-satunya itu benar-benar pergi dari rumah.“Hasan!” Dia bahkan tidak mau mendengar panggilanku. Hasan berlari menuju ke mobilnya yang terparkir di halaman. Dia melajukannya dengan asal. Bahkan, sebelum keluar halaman, mobil Hasan sempat menabrak pot bunga yang berjajar di pinggir pagar rumah.Hasan marah dan pergi, semua karena Reina. Wanita itu yang membuat putraku marah. Sebelumnya
POV HASANPOV HASAN“Maaf, Pak, anak-anak hari ini tidak masuk sekolah.”Sore itu, seperti biasa, sepulang kerja, aku menjemput anak-anak di sekolah mereka. Namun, saat tiba di sana aku tidak melihat mereka di sekolah.Aku lantas menghampiri wali kelas mereka untuk bertanya apakah mereka sudah di jemput oleh Reina. “Nela dan Neli hari ini tidak berangkat sekolah, Pak,” kata Bu Septa—Wali kelas mereka.“Tidak berangkat ya, Bu?” aku kembali bertanya untuk memastikan.“Iya, Pak.” Bu Septa menganggukkan kepala.‘Apa mereka sakit?’ pikirku.Merasa khawatir, aku pun bergegas pulang ke rumah. ***Setibanya di rumah. Suasana tampak sepi, pintu pagar juga terkunci. Aku pun turun dari mobil untuk membukanya sendiri. Saat memasuki halaman rumah, mobil Reina juga tak terlihat di halaman. Aku bergegas turun, memutar gagang pintu. Ternyata pintu rumah masih dalam keadaan terkunci. Untung aku selalu membawa cadangannya di dal
“Mas, nanti pulang kerja, mampir ke minimarket sekalian ya! Susu anak-anak habis,” pintaku pada Mas Randi, suamiku, yang akan berangkat kerja. Dia hanya mengangguk mengiyakan.Kami menikah, selama lima tahun, dikaruniai dua orang anak perempuan sekaligus. Urusan belanja bulanan memang biasa mas Randi yang melakukannya. Aku hanya berbelanja kebutuhan sehari-hari seperti sayuran dan lain sebagainya pada tukang sayur yang lewat.Namaku Reina, seorang ibu rumah tangga, Mas Randi tidak mengizinkanku bekerja, dengan alasan tidak ada yang mengurus anak-anak. Dia tidak ingin anak-anak di rawat oleh asisten rumah tangga, karena khawatir kalau mereka tidak memperlakukan anak-anak dengan baik.Terkadang aku merasa bosan, melakukan aktivitas monoton setiap harinya. Namun, kehadiran Nela dan Neli putri kembar kami, sedikit menghiburku.Mas Randi bukan tipe suami yang romantis, dia tergolong suami yang sangat cuek. Terkadang aku merasa kalau dia tidak benar-benar mencintaiku.“Mbak, penampilannya k
“Reina ....” Entah sejak kapan pria itu ada di hadapanku. Aku lantas menyerahkan HP kepadanya. Mas Randi bergegas pergi, karena waktu juga sudah siang. Aku sedikit berlari menghampiri si kembar mengendong mereka, bergegas untuk mengikuti pria itu. Tak lupa aku menyambar dompet diatas meja. Aku menitipkan si kembar Nela dan Neli ke rumah Mila, tetangga sekaligus sahabat terbaikku.Aku berlari menuju ke pangkalan ojek. Aku ingin melihat sendiri siapa sebenarnya Raya, dan ada hubungan apa dia dengan Mas Randi?“Bang, ke jalan laut ya!” Aku naik ke boncengan motor sambil mengenakan helm. Tanpa banyak tanya tukang ojek langsung melajukan motornya. “Cepat sedikit ya, Bang!” perintahku. Abang tukang ojek menjawab dengan menganggukkan kepala. Aku memilih langsung menuju kantor Mas Randi, karena dia pasti menjemput wanita bernama Raya ke rumahnya, jadi aku putuskan untuk menunggu di depan kantornya saja.Tepat jam delapan aku sampai di kantor Mas Randi. Aku duduk menunggu di sebuah warung
Aku menarik koper keluar kamar, melemparnya ke arah Randi yang sedang duduk di kursi. “Apa-apaan ini Rei!” teriaknya. “Apa?! Apa kamu bilang!” jawabku, aku mendorong tubuh pria yang sudah mengisi hari-hariku beberapa tahun ini. “Pergi kamu dari sini, Mas! Aku sudah tidak sudi melihat wajahmu lagi!” “Apa kamu bilang?!” ucapnya marah.Dia mendekat, menarik rambutku yang tergerai. “Kamu pikir bisa hidup tanpa aku! Kamu itu cuma seorang istri dalam sangkar emas, yang tidak tahu dunia luar, mana mungkin kamu bisa bertahan tanpa seorang suami!” Dia mendekatkan wajahnya ke wajahku.“Lepaskan! Bila menyakitiku bisa membuatmu bahagia, maka lakukanlah itu, tanpamu aku pasti bisa! Ceraikan saja aku!” Aku berusaha melepaskan tangannya dari rambutku. Dia menghempaskan lalu mendorongku, hingga aku terjerembap ke lantai.“Kau mau berpisah denganku?” Dia berdiri membelakangiku. Mas Randi berubah, tidak lagi seperti suami yang aku kenal, suami yang penuh dengan kasih sayang.“Ceraikan saja aku, M
Hingga larut malam, aku belum bisa tidur, berdiri di samping jendela, memandang keluar, menikmati indahnya gelap malam. Semilir angin membelai wajah, lalu masuk ke dalam kamar, bulan berbentuk sabit, menyubangkan sedikit sinarnya agar gelap malam tak terlalu mencekam.Kelelawar nampak beterbangan berpindah dari dahan ke dahan lainnya, mencari buah yang mulai masak. Tak terasa tetes-tetes air mulai berjatuhan membasahi pipi, mengingat kebersamaan kami.***Pagi menjelang, mataku bengkak sisa tangis semalam, si kembar masih tampak nyenyak dalam mimpi mereka.Aku bergegas ke dapur untuk menyiapkan makan, membuka kulkas, mencari sesuatu yang bisa aku masak, tapi tidak ada apa pun di sana. Sayup-sayup suara tukang sayur terdengar. Aku keluar untuk berbelanja. Tampak empat ibu mengerumuninya.“Pak, bayam, sama cabainya mana?” tanyaku.“Ini, Bu,” ucap tukang sayur, menunjuk barang yang aku pinta.Aku lihat Bu Mirna dan Bu Anna sedang berbisik, sesekali melirik ke arahku.“Kami sudah bilang
“Assalamualaikum.” Aku mengucap salam sebelum masuk ke dalam rumah Mila.“Wa’allaikum salam,” jawab Mila. “ Kamu, enggak mandi dulu?” tanyanya.“Enggak akh ... aku sudah kangen sama anak-anak,” ucapku menghampiri mereka. Mana mungkin aku bisa dengan santai saat anak-anak masih ada di rumahnya, dia sudah terlalu banyak membantu, jadi aku tidak mau terlalu merepotkannya.“Mil, kalau aku bekerja mengenakan jilbab gimana?” tanyaku memandang Mila.“Enggak apa-apa sih! Itu kan hak kamu,” jawabnya yang sedang duduk di lantai bermain lego bersama kedua putriku.“Aku takutnya, kalau aku berjilbab akan mempengaruhi pelanggan kafe kamu,” terangku sambil membereskan mainan yang berserakan di lantai.“Enggaklah ... terserah kamu yang penting kamu nyaman,” ucapnya yang juga membantu membereskan mainan.“Terima kasih ya, Mil.” Aku memeluk Mila. Aku ingin menutup aurat, mungkin kejadian di kafe adalah teguran dari Allah, mereka menggodaku karena auratku yang masih terbuka. Kejadian di kafe tidak ak