Nova menatap lekat-lekat wajah putranya. Tidak menyangka bayi mungil itu kini berada dalam dekapannya. Dari wajah, hidung, dan bibir, Nova perlu berbangga diri karena tiga bagian wajah itu merupakan warisan darinya. “Mama kasih kamu nama Cerran, abjad depan yang sama dengan putri mama juga. Mama harap kamu menjadi anak yang penyayang dan selalu bahagia.” “Aku sudah memberinya nama Darren, kenapa kamu ubah lagi?” Terlalu fokus dengan sang buah hati, Nova hampir saja melupakan eksistensi Mark yang ada di sana. Ia menatap Mark yang duduk di sofa, di sudut ruangan tengah menata dua helai terakhir pakaian Nova ke dalam mini koper.“Kamu bisa memanggilnya dengan nama itu. Tapi di sini, aku adalah pemegang hak penuh atas Cerran. Jadi aku bebas memberi nama untuk anakku,” balas Nova acuh. Ia tidak.memungkiri perubahan sikapnya terhadap Mark belakangan ini. Hasrat untuk bercengkrama dengan Mark, ataupun meromantisasi hubungan keduanya tak lagi Nova miliki. “Kamu masih marah sama aku?” Mark
“Kondisimu sudah membaik. Kamu diizinkan pulang hari ini, Angga,” ucap Hye in. Keputusannya mengundang kelegaan di dada Angga setelah dua hari menginap di rumah sakit. Pun menghadapi kenyataan mengejutkan bahwa Hye in adalah dokter spesialis jantung yang mengurus pengobatan Angga beberapa hari ini. “Syukurlah, aku bisa sedikit bernapas lega sekarang,” balas Angga puas. Ia mengalihkan perhatiannya dari ponsel ke arah Hye in. Wanita itu semakin dekat dengan brankar yang ditempati Angga. Snelli putih dan stetoskop setia menemani Hye In selama perjalanan karirnya. Kenyataan bahwa Hye In adalah bagian dari tim.medis yang menangani Angga cukup membuat pria itu tercengang. Siapa sangka, Hye In yang ia kenal dari kejadian tanpa sengaja juga merupakan kawan lama dari Dar Hyun. “Akhirnya kamu bisa pulang dan bertemu sahabatmu,” sindir Hye In disusul dengan gelak tawanya yang khas. “Apa kau mau ikut pergi menemuinya? Bukankah kau sudah lama tidak bertemu dengan Dae Hyun?” Angga memberi saran
“Pelan-pelan, sayang. Apa posisi dudukmu sudah nyaman?”“Sudah. Ayo kita pulang.” Nova menjawab. Hari ini adalah harinya pulang ke unit apartemen. Kebahagiaannya ditambah dengan kehadiran bayi mungil yang sekarang ada dalam dekapannya. Paras tampan dan lesung pipi dalam membuat Nova tak ingin beralih sedikitpun pada hal lain, selain Cerran. Cerranoa, ya bayi itu hanya memiliki satu nama dari empat suku kata. Salah satu nama unik dan indah dari sekian banyak nama yang Nova siapkan. Pada akhirnya, hatinya jatuh pada nama bermakna prajurit laki-laki yang tenang dan membuat nyaman. Kehadiran Noa–Nova memutuskan mengganti nama panggilan putranya-nyatanya mampu memberikan ketenangan batin bagi Nova di tengah banyaknya deburan ombak masalah yang membuat kapal kehidupannya hampir karam. “Mark, bisakah kita mampir ke mini market di lantai dasar sebelum pulang? Ada yang perlu aku beli,” kata Nova. Di atas kursi roda, Mark membawa wanita itu keluar dari ruang inap yang sudah ditempati Nova
“Dodi, tolong bantu aku ajukan kasus ini ke proses penyidikan.” Xavier membuka pintu ruangannya melihat Dodi berkutat dengan laptop langsung melayangkan sebuah map warna biru ke atas meja pria itu. Sederet perintah tak luput keluar dari mulut Xavier hingga Dodi harus menaruh fokus cukup banyak pada atasannya itu. Penasaran, Dodi membuka map itu. Lantas isinya membuat matanya terbelalak. Tak hanya itu, tangannya bergetar ketika lembar demi lembar dokumen itu terbuka. “Pak Xavier, ini bukannya–” “Pastikan berkasnya masuk hari ini juga. Aku harus datang ke persidangan lain nanti siang.” Xavier menghempaskan tubuhnya di kursi. Di balik meja kerja dimana setiap bendanya tersimpan dengan rapi. Tidak peduli kegelisahan yang sedang dirasakan oleh Dodi. “Kamu yakin mau angkat kasus ini, Pak? Kasus ini baru aja naik ke media setelah sekian lama ditutup,” kata Dodi, menyodorkan tablet pintarnya ke hadapan Xavier. Keluarga aktivis menuntut kasus bunuh diri massal di depan gedung pemerinta
Andai Angga lengah sedikit saja. Belum tentu Hye In masih bisa berpijak dengan nyaman seperti sekarang. Hye In nampak kesakitan. Meringis tersedu tanpa ada unsur kesengajaan untuk menarik perhatian. Angga dengan naluri pelindungnya bergegas memapah tubuh Hye In. Dilihatnya kaki jenjang yang dibalut sepatu heels sepuluh senti itu memar di area mata kaki. Angga ikut meringis. Tahu persis sakitnya kaki terkilir hingga tak bisa berdiri. “Sudah, Angga. Aku tidak apa-apa.” Hye In mencoba memijakkan kembali kakinya setelah Angga memastikan sepatu hak tinggi warna hitam itu dipastikan aman. Tidak ada patahan apapun yang akan mengganggu Hye In ketika melangkah. “Serius kamu tidak apa-apa?” Hye In mengangguk. “Aku baik-baik saja. Tidak perlu khawatir. Ayo, aku antar kamu ke apotik. Sampai di rumah kamu harus langsung istirahat,” balas Hye In. Wanita itu masih mengedepankan sikap profesionalnya dibandingkan dengan kesulitan yang dihadapi saat ini. “Ayo, aku bantu papah. Hati-hati,” ucap Ang
Hati Nova berdesir sekaligus khawatir ketika seseorang memanggil namanya. Bayangan kejadian beberapa menit lalu masih terngiang di kepala seakan kembali berputar. Nova refleks menoleh, demi memastikan sosok yang tiba-tiba muncul di belakangnya kini bukanlah satu nama yang ada di kepala Nova saat ini. “Kamu sedang apa di sini? Sendiri saja?” pria itu kembali bersuara. Bersamaan dengaN saat Nova menoleh ke arahnya. “Ka-kamu–” “Aku kemari untuk menjengukmu, Nova. Sekaligus untuk menjemput sahabatku.” Nova rasa ia tidak perlu banyak basa-basi pada pria ini, bukan? Dia sudah menjawab pertanyaan Nova yang masih ada di kepalanya secara mandiri. “Kamu sendiri? Kemana.. Mark?” Ekspresi Mario berubah kecut. Terlihat enggan menyebut nama sepupunya sendiri. “Mark sedang membantuku mengambil barang-barang yang harus dibeli,” jawab Nova sambil tersenyum. Bibir tipis Mario membulat tanpa suara. Perhatiannya kali ini teralihkan pada bayi mungil dalam gendongan Nova. Pria dengan tinggi badan l
Apalagi yang bisa Nova lakukan selain diam mematung ketika dihadapkan pada tiga orang dari tiga dimensi berbeda perjalanan hidupnya. Mark, pria itu nampak berpikir keras menganalisis situasi yang sedang terjadi saat ini. Terlebih, kehadiran orang baru di depannya membuat dahi pria itu berkerut. Berbeda dengan Mark, Mario justru memamerkan senyum lebarnya. Menyambut kedatangan pria yang kini tengah menjadi sorotan dengan tatapan hangat. “Kau kenapa di sini? Aku baru saja mau menjengukmu,” tanya Mario memecah keheningan yang menyelimuti empat orang–termasuk dirinya–yang ada di sana. Hingga saat pertanyaan Mario itu terlontar, Nova tidak berani menatap kembali sosok pria yang berdiri tepat di sampingnya. Aura pria itu sangat kuat. Bagaikan magnet yang menemukan pusat tarikannya, yaitu Nova sendiri. Banyak hal yang bisa membuat Nova kembali beralih pada sosok pria ini. Namun Nova memilih untuk mengabaikannya. Tentu saja, Noa adalah alasan satu-satunya Nova untuk fokus pada satu titik
Sudah dua botol Vodka tandas tidak tersisa. Sedangkan di sisi lain meja, sebuah laptop dengan tampilan data serta tumpukkan kertas yang seharusnya sudah dibereskan sebelum Angga memutuskan untuk meluapkan isi pikirannya lewat alkohol. Ia tahu, keputusan ini bukanlah keputusan yang bijak. Apalagi untuk seseorang yang bermasalah dengan organ paling penting dalam hidupnya. Hidup dan mati Angga akan ditentukan setelah ini. Tetapi, alih-alih memikirkan lebih jauh efek dari minum alkohol. Angga justru semakin menjadi. Menikmati seteguk demi seteguk alkohol yang tersisa di gelas terakhirnya.“Arkkhh!!” suara enyahan kenikmatan terdengar. Tenggorokkan Angga mulai terasa kebas. Lidah terasa lebih tebal bahkan untuk berucap sepatah katapun rasanya malas. Ia termenung sejenak. Menatap lurus pada pemandangan kota Seoul di malam hari ini. Indah. Gemerlap lampu bangunan di bawah sana seolah membentuk rasi bintang yang indah. Hampir sama penampakannya dengan taburan bintang di langit saat ini. B