Share

Suami Idaman

Nova menyeret Angga ke sisi ruang yang lebih sepi dengan langkah hati-hati. Gaun panjangnya ternyata cukup membatasi pergerakannya di tengah orang-orang yang menghadiri pesta.Di belakangnya Angga sama sekali tidak memberontak. 

“Sejak kapan kamu merencanakan hal gila itu?” Seloroh Nova tanpa basa-basi. 

“Rencana apa maksudmu?”

“Pesta kelahiran anak kita? Kamu bahkan tidak memberitahuku untuk hal itu, Angga.” 

Nova frustasi. Ia pikir, setelah kelahiran anak mereka nantinya, Angga akan memberikan sedikit ruang untuk membiarkan Nova menjadi dirinya sendiri. Memulai hidup sebagai seorang ibu baru untuk bayi dalam kandungannya. Nova tidak peduli apakah Angga akan memperdulikan keinginannya atau tidak, tetapi, ia sudah menyusun banyak rencana dalam proses membesarkan anak mereka.

Angga terkekeh, “aku tidak mungkin menyanggah suatu hal yang bisa menaikkan pamorku di mata publik. Kamu hanya perlu mengikuti aturan mainnya.”

Nova menahan amarahnya di dalam dada. Seperti biasa, Angga hanya akan mementingkan nama baiknya di hadapan banyak orang. Ia sama sekali tidak tertarik dengan istilah “privacy is pricey” yang dijunjung tinggi oleh Nova saat ini. 

“Aku hanya tidak ingin hal itu mengganggu kenyamanan anak kita,” gumam Nova lirih. Itu ucapan paling jujur yang pernah ia utarakan di depan Angga. Pria itu pun mematung beberapa saat. Seolah tertampar dengan kalimat yang diucapkan oleh Nova.

“Pikirkan saja dirimu sendiri. Aku akan memberikannya kehidupan yang layak yang tak pernah dimiliki anak manapun di dunia ini.” Setelah mengatakan itu, Angga pergi meninggalkan Nova sendiri. Sepertinya ia lupa saat ini mereka masih dikelilingi oleh orang-orang yang penasaran dengan kehidupan pribadi mereka.

‘Kamu pikir, semua hal bisa dibeli dengan uang?’ Batin Nova nelangsa. 

Selama acara berlangsung, Nova tak henti menebarkan senyum pada tamu lain yang datang. Di sampingnya, Angga sibuk menanggapi pujian-pujian yang dilontarkan padanya. Mendengar itu terus-menerus lama-lama membut Nova mual.

“Ya, aku baru saja menanamkan modal di beberapa perusahaan rintisan. Aku melihat potensi besar dalam model bisnis yang mereka eksekusi.” 

“Pak Angga memang pengusaha hebat. Belasan tahun berkiprah di dunia bisnis, tidak ada satupun berita yang mencoreng nama bapak di mata khalayak. Kalau boleh, ajarkan aku untuk menjadi sepertimu,” ucap seorang pemuda asing. Nova mengernyitkan dahi menatap pria dalam balutan jas serba hitam itu. Sorot matanya memancarkan banyak harapan yang ia gantungkan terhadap reaksi Angga nantinya. 

Angga beralih pada pria itu, seraya menepuk pelan pundaknya. “Tentu aku akan membimbingmu. Aku rasa ini kali pertama aku melihatmu. Siapa namamu?” 

“Chris, Pak Angga. Saat ini aku sedang merintis usahaku. Aku banyak membaca tentangmu di media. Pak Angga adalah pengusaha dermawan yang tidak pelit ilmu, maka dari itu aku ingin belajar banyak darimu.” 

Nova hanya diam memperhatikan tingkah orang-orang yang gemar memuji suaminya. Ingin rasanya ia enyah dari perkumpulan orang-orang tak tulus seperti ini. Namun, berbeda dengan Nova, Angga justru sangat menikmati pujian-pujian yang diberikan padanya. 

Angga akan merasa bak seorang dewa yang tengah dipuja rakyatnya tiap kali berada dalam lingkarang elit seperti saat ini. 

“Sayang, kenalkan ini Chris. Aku pikir, aku akan mendukung bisnis yang baru dia rintis. Bagaimana menurutmu?” Angga menatap Nova meminta persetujuan. Namun Nova tahu betul suaminya hanya sedang membangun citra baik untuk dirinya sendiri, bukan benar-benar meminta izin pdanya. 

Bisik-bisik tamu lain di sekitar Nova menelusup ke telinga, “dia romantis sekali. Bahkan untuk mengambil sebuah keputusan saja, dia meminta saran istrinya. Wanita itu sangat beruntung menikah dengan Pak Angga.” 

Lewat ekor matanya Nova bisa melihat senyum puas Angga saat mendengar pujian mereka. Tidak ada yang tahu apa yang sedang Angga lakukan hanyalah sebuah sandiwara. Tidak ada jaminan Angga benar-benar membantu sebuah perusahaan rintisan ketika pria itu justru menganggapnya sebagai sampah yang harus dimusnahkan.

“Bagaimana, menurutmu sayang?” Angga bertanya lagi.

“Um, ya. Aku pikir itu ide yang bagus, sayang. Kamu harus mendukung pengusaha-pengusaha muda seperti Chris,” jawab Nova dengan berat hati. Diam-diam Niva memanjatkan ribuan maaf pada sang pencipta atas kesalahannya kali ini. Dengan menyetujui keputusan Angga, sama saja ia menjerumuskan banyak pengusaha pemula menjadi korban keserakahan Angga selanjutnya. 

Nova hanya bisa berharap, apa yang Angga lakukan tidak berbuah karma menyakitkan untuk keluarga mereka. 

“Sayang, kamu baik-baik saja?” 

“Ah? Ya. Aku baik-baik saja,” Nova gelagapan. Terlalu lama melamun dengan pikiran yang mengawang membuatnya tak fokus. Tatapan Angga yang berubah marah seolah menampakkan sinyal bahwa dirinya dalam bahaya.

“Sepertinya kamu kelelahan. Maafkan aku sudah membuatmu berdiri terlalu lama. Kalau begitu semuanya, aku izin pamit lebih awal. Kandungan istriku semakin besar dan sebentar lagi anak kami akan seger lahir. Mereka perlu banyak istirahat. Kita bertemu lain kali,” kata Angga, menyalami satu per satu kolega bisnisnya. 

“Kami tunggu berita baik kelahiran penerusmu Bapak Angga!” Salah satu pria dari sekumpulan orang itu memekik saat Angga sudah melangkah menjauh. 

“Kita pulang lebih awal? Kamu sedang mengigau ya?” 

“Jangan bercanda. Aku sudah muak berada di kumpulan itu. Mereka hanya menyanjungku satu sama lain. Khalayak tidak akan tahu rencana-rencana terbaruku jika aku tidak membicarakannya di media. Bersiaplah,” ujar Angga. 

Mereka keluar dari lobi disambut oleh sekumpulan wartawan yang sudah menunggu. Kilatan lampu kamera membuat pandangan Nova memburam hingga harus mengaitkan tangannya lebih erat pada bisep Angga yang kokoh. 

“Pak Angga, mohon berikan waktu sebentar saja.”

“Pak Angga, bagaimana bisnis anda saat ini. Kami dengar sekarang anda berfokus untuk mendukung perusahan-perusahan rintisan dengan modal hingga miliyaran rupiah, apa itu benar pak?” 

Deretan pertanyaan menyerbu pasangan suami istri itu. Sadar tubuhnya tak cukup mampu untuk menerima tekanan situasi, Nova memilih bersembunyi di balik tubub tegap Angga. 

“Biar aku yang bicara,” titah Angga.

“Benar. Bahkan beberapa saat lalu aku baru saja memutuskan untuk menanamkan modalku lagi untuk salah satu bisnis baru. Kita sebagai pelaku bisnis harus saling mendukung satu sama lain untuk kemajuan bersama,” kata Angga opstimis. 

Nova heran, seberapa banyak stamina yang dimiliki suaminya untuk meladeni bualan-bualan orang lain tentang dirinya. Hidup di atas sebuah kebohongan bukanlah hidup yang ingin Niva miliki. Tetapi sekarang dirinya malah terkurung dengan kerlap kerlip sosialita yang penuh dengan ambisi dan keserakahan. 

Dalam hati Nova mengasihani diri sendiri. Di sini ia hanya menjadi boneka Angga yang bisa diatur kapan dirinya harus bicara. Di depan banyak orang, Angga mengelu-elukan kepiwaiannya dalam berbisnis. Kehidupan  pribadinya yang mewah, dan kisah rumah tangganya yang romantis bak cerita novel.

Angga bangga akan hal itu namun tidak dengan Nova. Setiap helaan napas Nova bahkan diatur sedemikian rupa oleh Angga dengan mengikuti les kepribadian sampai ia bisa dikatakan layak untuk mendampingi suaminya di depan khalayak. 

“Aku berada di posisi ini sekarang, bukan hanya karena usahaku sendiri. Ada sosok wanita tangguh yang sudah mendukungku sejak aku masih merintis. Dia selalu ada di sampingku setiap saat dan kini akan menemaniku sepanjang hayat. Wanita itu adalah Nova, istriku,” tutur Angga terdengar lihai memainkan intonasi bicaranya agar terkesan tulus. Semua sorot kamera mengarah pada Nova. Menjadikan Nova dan Angga sebagai bintang utama dalam laman utama berbagai media. 

‘Sampai kapan aku harus hidup dalam kepalsuan seperti ini?’ Batin Nova meringis.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status