Share

Hukuman Yang Membawa Petaka

Nova terperangah saat kaitan tangannya di bisep Angga dienyahkan begitu saja ketika mereka sudah sampai di rumah.

“Jangan lupa diri. Aktingmu sudah berakhir,” ujar Angga sinis kemudian melangkah lebih dulu memasuki rumah. Para pelayan menyambut kedatangan mereka dengan dua buah baki berisi selop rumahan untuk bos mereka. 

“Aku hanya sedang menyeimbangkan langkahku. Memakai dres panjang ini dalam keadaan hamil besar itu menyiksaku,” Nova membalas sembari bernafas lega. 

Di rumah, Nova tidak perlu khawatir aktingnya akan dikuliti oleh para pelayan karena sebelum mereka dipilih dan memilih untuk mengabdikan diri mereka untuk Angga, segepok uang tutup mulut sudah dijejalkan oleh Angga. 

Angga berdecih, “Alasan! Bilang saja kamu memang ingin memegang tubuhku lebih lama. Jangan pernah menyentuh seincipun tubuhku selain aku sendiri yang memulai,” tegasnya.

Tiba-tiba, dalam sekali tarikan Angga meraih tubuh Nova ke dalam gendongannya. 

"Angga, apa yang kamu lakukan? Turunkan aku, semua pekerja memperhatikan kita." 

"Mereka akan melihat ini setiap hari jika kamu tak mau mengikuti aturanku!" tegas Angga dengan pandangan lurus ke depan. 

"Apa maksudmu?" Nova mulai panik. Ia yakin betul selama acara tadi sudah memenuhi kemauan sang suami untuk berakting sempurna. 

Brak!

Pintu sebuah kamar didobrak dalam sekali tendangan. Kaki panjang itu membawa Nova masuk ke dalam ruangan serba hitam dan merah. Pada Akhirnya Nova tahu kemana arah pikiran suaminya. 

Sudahlah kesulitan bergerak karena gaun yang Nova pakai, penderitaannya masih berlanjut dengan tuntutan Angga pada Nova untuk menuntaskan kabut gairah yang mulai menelusup di manik indah pria itu. 

"Layani aku sekarang!" kata Angga menuntut. Tangannya gesit membuka setiap helai kain yang membalut tubuhnya sedangkan Nova dibiarkan terkapar di atas ranjang. 

"Kenapa aku harus melayanimu? Aku tidak melakukan kesalahan apapun hari ini." Nova membela diri. Perutnya yang besar terasa penuh dan menyesakkan dada dalam posisi seperti ini.  Nova tak hanya memikirkan dirinya sendiri. Bayi dalam kandungannya tak layak diperlakukan kasar seperti ini.

"Kita sudah sepakat, selain kamu harus menebus dosamu pada adikku, kamu juga harus melayani aku kapanpun aku mau. Di sini kamulah yang bersalah, dan sudah sepantasnya kamu menebus itu semua."

Udara dingin di ruangan itu semakin menusuk tulang. Warna hitam dan merah mendominasi semakin menambah kesan kelam dari ruangan ini. Beberapa alat yang tak lazim digunakan oleh pasangan lain tersedia secara cuma-cuma. 

Jangan tanya darimana Angga mendapatkan itu semua. Jauh sebelum Nova resmi menjadi istrinya, pria itu mampu menutupi aib pribadi sebagai pemain wanita dengan persona yang ia bangun di hadapan media. 

Sekujur tubuh Nova memanas. Dihadapannya terpampang wajah tampan dengan siluet tegas di setiap sisi. Siapa yang tak mau menjadi pendamping sosok dewa Yunani seperti pria ini? Kecuali Nova. 

Tubuh Nova bergerak tak karuan dalam kegelisahan setiap sentuhan Angga begitu menggoda membuat Nova hampir hanyut dalam gerbang kenikmatan. 

Srek!!

Gaun putih itu dikoyak dengan kasar lalu dihempaskan begitu saja. Dengan dua balutan kain yang tersisa, Nova siap menjadi mangsa. 

"Angga, tolong jangan lakukan itu. Aku mohon kali ini saja. Bayi ini akan lahir dalam hitungan hari, aku tidak ingin terjadi sesuat-thuh deng-an-nyah ah–" Nova memohon. Suaranya semakin sumbang. Napasnya menggebu membuat dadanya naik turun. 

Sesak dan nikmat adalah dua dilema yang harus Nova terima. Tak peduli seberapa besar usahanya untuk menolak, Angga tak.pernah gentar. 

"Apa salahnya jika aku ingin menemuinya sebelum anak itu lahir? Aku hanya meminjam tubuhmu untuk mengandung dan melahirkan penerusku. Bukan berarti aku menaruh ketertarikan padamu."

Deg!

Jantung Nova rasanya berhenti berdetak untuk sepersekian detik ketika mendengar pernyataan itu. Satu kenyataan yang pernah terucap dulu, tidak pernah Nova sangka akan diseriusi oleh Angga. 

"Apa belum cukup kamu menyiksa batinku selama ini?" 

Sebelah alis Angga naik, sorot mata merendahkannya tertuju tepat di kedua mata indah Nova yang keoranyean. 

"Menyiksa? Apakah itu kata yang pantas untuk menggambarkan sebuah penebusan dosa?".

Sungguh! Nova ingin mati saja rasanya. Percuma hidup dalam belenggu dendam orang lain. Penderitaan ini seolah tak berujung. 

"Sudah aku katakan berkali-kali padamu, Angga. Bukan aku pembunuhnya! Justru aku datang untuk menyelamatkan Andre," ujar Nova dengan penekanan di setiap katanya. 

Tetapi, itu semua nyatanya tidak bisa membuat Angga percaya, "pernyataan tanpa bukti adalah klise. Jangan mencoba meyakini aku dengan wajah polosmu itu."

"Bagaimana lagi aku harus bersumpah agar kamu percaya? Aku bukan pembunuh Andre hiks! Hiks!" 

Dinding pertahanan yang selama ini dibangun kokoh perlahan retak. Tangis pilu merongrong dari mulut Nova.  Nova tidak pernah meminta Angga untuk mengiba. Setidaknya, memberikan sedikit ruang gerak untuk membuktikan kebenaran adalah harapan yang selama ini dinanti oleh Nova. 

"Omong kosong! Jalani saja takdirmu dan layani aku sekarang!"

Permohonan Nova tak pernah diindahkan. Miris, mungkin Angga satu-satunya suami yang tak memiliki empati dan Nova harus bertahan dengan pria itu tanpa ujung yang pasti. 

Angga mulai melancarkan aksinya sebagai penguasa permainan ranjang kali ini. Perut besar Nova sama sekali tak mengurungkan niatnya untuk sekedar memberi jeda. Angga dengan gagahnya memacu Nova untuk terus mendesau. Menggaungkan kenikmatan di malam yang melelahkan ini. 

"Ang-gha, please stop. Anggha." Nova meracau. Di bawah sana Angga masih giat melakukan aksinya namun Nova sudah tak lagi memiliki cadangan tenaga. 

Pegangannya di sprei ranjang mengendur. Keringat sebesar biji jagung semakin deras mengalir dari dahi Nova. Janin di dalam kandungannya bergerak semakin brutal seolah menolak kehadiran ayahnya di dalam sana.

"Anggha, perutkuh sakith." 

"Jangan banyak alasan, Nova. Aku tahu itu hanya caramu untuk menghentikanku." 

Pedih mana lagi yang belum pernah Nova rasakan? Ketika tubuhnya tak mampu lagi menahan sakit dan dawai kenikmatan secara bersamaan. Kejujurannya masih dianggap sebagai alasan. 

Mulas mulai menjajah setiap sudut perut Nova, menjalar hingga ke punggung. Ada dorongan yang kuat dari janinnya untuk memberontak.

'Apakah kamu akan lahir sekarang, nak?' batin Nova. Di tengah kesakitannya, Nova mengingat ucapan dokter yang menyebutkan hari perkiraan lahir sang janin. 

12 februari. Dua hari lagi menuju hari persalinan yang diperkirakan akan tiba. 

"Aw, ah! Anggha perutku. Tolong perutku sakit sekali awh!"

Nova terus meracau kesakitan. Melihat itu, seketika pria di atas tubuhnya bergeming. Menghentikan permainan yang sedang berada di klimaksnya. 

"Jangan bercanda, Nova. Ini belum waktunya anak itu lahir. Masih dua hari lebih awal dari perkiraan dokter." Angga berusaha menyanggah. Sedetik kemudian ia merasakan cairan mulai membasahi area kaki Nova yang terbuka. Darah. 

Darah segar mengalir dari area sensitif Nova yang masih Angga kuasai. Raut wajah Angga berubah tegang.

"Ka–kau keguguran?!" 







Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status