Mata Safia menatap manan penuh dengan ketakutan, ia tidak percaya lelaki yang dikenal lembut itu kini terlihat sangat menakutkan.
Manan terus berjalan ke depan mendekati Safia yang berjalan mundur dan membentur tembok itu. Ia begitu sangat marah pada Safia, yang membuat ia terpaksa menikahi wanita itu."Katakan saja dengan jujur, kalau kau membutuhkan belaian sebab almarhum suamimu tidak pernah memberikannya, Hem ...." Manan mencengkram rahang Safia.Wanita itu menangis tak sanggup menjawab apa yang dikatakan Manan, ia hanya menggeleng sambil berurai airmata."Inikah yang kau inginkan, Safia? Ayo jawab aku!" teriak Manan sambil melepaskan cengkraman di rahang Safia. Namun, sekarang bibirnya menyapu pipi Safia."Ti- tidak kau salah paham, Mas," kata Safia"Aku salah paham, katamu? Mana yang membuatku salah paham? Jawab Safia!" teriak Manan menggelegar membuat Safia terjengkit."Aku tidak bisa menolak mereka lalu kenapa kau sebagai lelaki tidak menolak, kau bisa menolak, 'kan?" teriaknya."Kau pikir aku bisa setelah kita di tuduh berzina, Semua itu karena kamu, kau mengerti!" teriak manan lagi."Baik, aku akan kabulkan! Kau ingin kehangatan bukan?" sarkasnya."Nikmatilah!" ucapnya dengan kasar bibirnya mulai menyambar bibir Safia melum4tny4 dengan kasar lalu menggigitnya hingga berdarah. Bibir menyapu kebawah tangan meraup dengan kasar dada Safia. Manan mencumbunya dengan sangat kasar mengigit leher, bahu bahkan gaun pengantin sudah tersibak ke bawah. Tubuh bagian atas sudah tidak luput dari serangan Manan."Hentikan, Mas! Kau tidak mencintaiku aku tidak ingin kau jamah!" teriak Safia lemah dengan airmata yang tidak mau berhenti di saat itu tangisan Amar terdengar sangat kencang."Kau pikir dengan tangisan Ammar, kau bisa lari dariku? Bagus juga jika kau mau menikah, kau bisa menjadi pemuas hasratku, aku tidak perlu mencari wanita yang haram untuk kusentuh bukan? Parasmu cukup membuat aku bisa berfantasi tentang kakakmu. Ganti pakaianmu dan lekas menyusul ke kamar Amar!" perintah Manan lalu pria itu pun keluar dari kamar itu dengan membanting pintu dengan keras.Tubuh Safia terasa lemas, kakinya seperti tidak bertulang, ia merosot dan menangis, 'Apa salahku? Kau minta aku menyusui putramu, aku lakukan, demi apa? Demi agar aku bisa melupakan kepergian putriku, bahkan aku sendiri belum pernah melihat atau pun menggendongnya,' batinnya nelangsa.ia membuka kopernya mengambil baju terusan dan menanggalkan pakaian pengantinnya. Ia melihat tubuh atas dan terlihat lebam dan membiru. Ia menghapus airmata dan mengenakan pakaian itu. "Aku harus bahagia demi Amar, agar produksi ASI lancar,' pikirnya.Ia menghembuskan napasnya dan tersenyum membangun hatinya sendiri agar tidak bersedih. Ia langkahkan kakinya keluar kamar berjalan menuju kamar Ammar."Kenapa begitu lama? Amar sudah menangis dari tadi apa kau tidak dengar? Apa kau butuh waktu lama untuk mengganti pakaianmu itu? Atau kau diam-diam mengagumi karya yang kubuat di tubuhmu itu?" tanya Manan sambil memicingkan matanya.Safia tidak menjawab diambilnya Amar dan dibawahnya ke dalam kamarnya ia tidak memperdulikan apa yang dibicarakan Manan.Rasa hormat yang pernah ada pada lelaki itu dulu sekarang telah pudar berganti rasa benci yang amat sangat.Ia masuk ke dalam kamarnya lalu menguncinya kemudian ia mulai memberikan ASI pada Amar, bayi lelaki itu dengan sangat lahap menyesap asupan dari sumbernya langsung.Tak Lama kemudian bayi mungil itu tertidur, Safia menatap legah. Ia membayangkan bayi itu di atas ranjangnya, Ia membelai pipi bayi lelaki itu dengan kelembutan. 'Terimakasih telah menyelamatkanku dari kebrutalan ayahmu, aku sangat takut, boy,' batin Safia.Wanita itu menghembuskan napasnya dan menatap kosong ruangan kamarnya, ia meratapi nasibnya ia kehilangan anak dan suami dan menikah demi keponakan yang kata mereka membutuhkan figur seorang ibu bukan hanya ASI saja.Ia merebahkan tubuhnya di sebelah bayi mungil. bahkan ia tidak mengerti mengapa mantan Kakak iparnya itu menyalakan semua keputusannya karena dirinya. Seolah ia mengetahui hal yang tidak ia ketahui sama sekali.'Apa yang disembunyikan sebenarnya yang mereka sembunyikan dariku?' pikirnyaSafiah menatap bayi mungil milik almarhum Kakaknya. 'Andai saja aku tidak ceroboh andai saja aku tidak terjatuh mungkin kau punya teman sebaya, boy.Sementara itu di ruangan kerjanya Manan menatap foto sang istri. Ia masih ingat kejadian sebelum sang istri kontraksi mereka sedang berjalan-jalan di supermarket, tetapi istrinya itu melihat sesuatu yang membuatnya shock dan saat di detik-detik terakhirnya ia memintanya untuk menjaga adiknya, andai harus menikahi ia harus bersedia."Semua ini karenamu Safia andai saja kami tidak bertemu dengan pria itu pasti istriku saat ini masih hidup,' batinnya.Ia masih menatap foto sang istri, entah kenapa pada waktu itu darah yang cocok dengan golongan darah istrinya tidak ada di bank darah sehingga akhirnya sang istri tidak tertolong. Entah permainan siapa yang membuat golongan darah sang istri tidak ada di bank darah manapun saat istrinya membutuhkannya dan apa motifnya, Manan benar-benar tidak tahu. Manan sangat kalut saat itu apalagi golongan darah sang istri sangat langkah sang istri mempunyai golongan darah yang sama dengan ayah mertuanya, yang saat itu melakukan perjalanan pulang dari luar kota dan waktu tidaklah banyak. Dia juga heran mengapa di saat adik Iparnya mendapatkan kabar yang mengejutkan tentang Suaminya. Manan menghembuskan napasnya awalnya pria itu sangat kasihan pada Safia yang kehilangan anak, tetapi karena itu pula yang membuatnya harus menikahi Safia setelah masa idahnya. Wanita itu dan keluarganya tidak pernah tahu apa yang terjadi dengan Akran. Ia mendes4h sambil memegang sebuah amp
Safia melotot kearah Manan. "Kalau aku tidak menghabiskannya apa yang bisa kau lakukan padaku?" tanya Safia."Kau melawanku, baiklah jangan kau habiskan dan saat ini pula kau kumakan, pilih yang mana tergantung kecerdasanmu!" tekan Manan.Safia terdiam berdebat pun percuma karena tidak akan pernah menang dan dimenangkan apalah dirinya bagi Manan. 'Sungguh pria ini sangat menyebalkan,' pikirnya.Safia berusaha menghabiskan makanannya ia takut hal yang tadi terulang kembali. Perutnya sudah terasa sangat penuh dan di piring masih tinggal sedikit ia berusaha bernegosiasi dengan Manan. "Aku sudah sangat kenyang boleh ini kubuang, aku jamin Amar tidak akan kelaparan," jawab Safia."Habiskan atau kau lebih suka ...." Manan menatap tajam pada Safia."Iya aku habiskan!" teriak Safia lalu menyuapkan makanan dengan cepat setelah itu berlari ke kamarnya dan menutup rapat serta menguncinya ia tidak peduli kalau Manan akan marah pada dirinya. Rasa mual
Safia melihat bunga itu masih segar tentunya baru saja ada seseorang datang kesini. 'Siapa?' pikir Safia.Kembali ia menyapukan pandangannya tidak ada siapa-siapa selain dirinya. Ia menghembuskan napas, terkadang menginginkan sesuatu yang mustahil datang padanya. Semua orang yang dicintainya telah pergi, ingin sekali ia bertemu dengan satu cinta yang memberikan cinta yang lainnya yaitu mendiang suaminya.ia tidak pernah bermimpi tentang pria yang masih di hatinya itu, dan tidak bisa mengunjungi makamnya sama sekali. 'Kenapa mereka melarangku berkunjung di makamnya bukankah ia suamiku,' pikir Safia Ia ingin menanyakan ini sekali lagi pada Manan tetapi pria itu sudah berubah dia bukan lagi kakak ipar yang hangat seperti dulu.Duduk di pusara yang kakak sambil menabur bunga ia mengeluh, "Kakak suamimu sekarang adalah suamiku tetapi bukan suami yang semestinya seperti pernikahan yang bahagia, aku tidak mencintainya dan ia membenciku seolah sumber mas
Manan menggendong Safia menuju kamar wanita itu membaringkan di ranjang. "Istirahatlah! Setelah ini kita butuh tenaga untuk mengarungi rumah tangga yang hampa ini, dulu pernah kukatakan padamu jangan menikahi pria itu, kau malah menuduhku yang bukan-bukan dan karena pria itu pula aku kehilangan Lailaku. Tidak peduli betapa sakitnya dirimu karena kamu memilih hidup denganku," ucap Manam lalu ia meninggalkan kamar Safia.Ia berjalan kembali ke ruangan kerjanya mencoba untuk mengerjakan pekerjaannya yang terbengkalai beberapa hari. Satu jam, dua jam Manan mulai bosan. ia berjalan menuju kamar safia membukanya lalu menutupnya dengan sangat kasar.Safia terjengkit dan terbangun dari tidurnya. dan langsung mencapai kesadaran penuh melihat sekilas lelaki yang mengacaukan tidurnya itu, sambil mendengus kesal."Kenapa? Kau ingin marah padaku," ucapnya sambil duduk di sofa."Tidak, bukankah aku tidak punya hak untuk marah di rumah ini," ucap Safia
Manan menghentikan langkahnya, ia berjalan berbalik arah dan menatap pria itu dengan tajam."Apa yang ingin kau katakan lagi hai pecundang!" teriaknya marah."Aku hanya ingin memastikan Mas Manan bisa menjaga rahasia ini, aku akan kembali saat aku telah selesaikan urusanku!" ucapnya sambil membersihkan darah yang ada di hidungnya."Apa kau gila! otakmu kau taruh di mana hah?" ucap Manan gusar."Aku tidak gila, Mas, aku masih sangat mencintainya," ucap pria itu menunduk."Cinta katamu, Jika kau mencintainya menghilanglah tanpa mengusik dan menghancurkan keluargaku. Kau tahu aku juga mencintai istriku dan mereka merenggut dia dari sisiku apa perlu ku hancurkan otakmu agar kau berfikir waras!" teriaknya semakin keras kemarahan sudah sampai di ubun-ubun."Mas tenanglah! Tolong duduk dulu, apa kau kira aku tidak sedih dengan apa yang kau alami aku juga kehilangan putriku dan aku tidak berdaya," ucapnya menunduk."Tidak b
Safia semakin ketakutan saat pintu terbuka, ia berlari ke kamar mandi dan mengunci pintunya. Terdengar suara Manan memanggilnya."Safia dimana kamu? Hai mainanku ke marilah! Aku pasti bisa menemukanmu! Ayo jangan bersembunyi! Di manapun kau berada pasti bisa kutemukan kecuali yang menyembunyikan kamu adalah cantikku Laila." Teriakan itu menggema.Sejenak Sunyi, Safia tidak mendengarkan lagi teriakan Manan. Namun, tak lama kemudian terdengar umpatan lagi dari mulut pria itu."Laila aku sangat merindukanmu, lelaki brensek itu membuatmu meninggalkanku. Kenapa ia tega melakukan pada cintaku?" ucap lelaki itu berulang kali hingga ruangan kembali sunyi. Safia menunggu selama tiga puluh menit akhir ia pun keluar, dan melihat Manan tertidur di lantai kamar Safia. Ia keluar dari kamarnya dan menuju kamar Manan yang di tempati Amar tidur. bayi lelaki itu tampak masih terlelap dan tidak terusik apapun.Ia terlelap beberapa saat lalu terdengar suara tangisan Amar dan Safia memberikan ASInya set
Safia menjauhkan mukanya. Namun, tiba-tiba saja tangan Manan meraih kepala Safia dan menekan serta menempelkan ke mukanya dengan sangat erat."Kenapa kau begitu takut, aku ini suamimu, 'kan? Bisa merasakan semua yang ada di kamu, Aku ingin mencicipi bibirmu, apa semanis milik Lailaku, atau justru hambar," ucap Manan lalu lelaki itu menyambar bibir Safia melum4tnya kemudian menggigitnya sampai berdarah."Benar-benar tidak berasa," ucapnya.Safia mengusap bibir yang berdarah, sambil menatap tajam Manan. Pria itu dengan santai mengambil gelas berisi jus lemon hangat."Kenapa rasanya masam, seperti wajahmu? Beri gula lagi jangan terlalu banyak setidaknya ada manis di rasa asam," perintahnya sambil menggeser gelasnya ke depan Safia Safia mengusap air matanya lalu mengambil gelas dan beranjak dari tempat duduknya dan berjalan menuju meja dapur lalu membuka toples berisi gula dan diambilnya satu sendok gula dimasukan ke dalam gelas jus lemon dan diaduknya kemudian kembali kemeja makan lalu
"Apa? Aku kau suruh menghabiskan lagi?" protesnya."Kenapa? Kau ingin yang lain?" tanya Manan"Tidak nanti kuhabiskan," teriaknya sambil berlari menuju kamar Manan lalu mengambil Amar yang ada di box dan membawanya ke kamar.Manan telah selesai dengan sarapannya. Ia menatap piring Safia lalu beranjak dan pergi ruangannya Safia. Safia terperanjat pasalnya ia tengah menyusui. "Mas Manan kenapa masuk?" tanya Safia. dengan wajah memerah karena malu."Kenapa? Kau Istriku, 'kan aku akan ke kantor jelas kau harus cium punggung tanganku bukan?" tanya Manan sambil melihat putranya yang menyusu. 'Andai itu kau Laila, mungkin aku lebih bahagia,' batinnya.Safia meraih punggung tangan Manan dan lalu menciumnya. Manan hanya menatapnya sebentar lalu pergi keluar dari kamar Safia.Tetapi baru saja mencapai pintu Safia, menghentikan langkahnya. Manan berhenti dan menoleh kebelakang. "Ada apa?""Bagaimana dengan pintu kamarku K