Kenapa kau menatapku seperti itu, aku hanya berbaik hati untuk tidak mengganggumu tidur dan aku pun tahu di mana letaknya. Apa aku salah kalau mengambilkan Amar, dia tidak bisa ambil sendiri. Amar bisa menyusu tanpa harus membangunkanmu tidur."Bangunkan aku akan menyusuinya kau tidak perlu membantu untuk mengambilkannya. Biar aku sendiri saja melakukannya. Apa kau tidak pergi? " tanyanya pada Manan."Bagaimana aku bisa pergi kau seperti ini karena aku, lagi pula Amar juga belum bangun, kalau sudah bangun siapa mau mandiin dia, kalau bukan aku. Sudahlah tidur saja," ucap Manan."Bagaimana aku bisa tidur kalau dari tadi kamu bicara saja," ucap Safia sambil membalikan tubuhnya menunggungi Manan.Lelaki itu duduk di sofa tak lama kemudian terlihat Aman terbangun bayi itu tidak menangis hanya menggerakkan kaki dan tangannya."Hai jagoan Daddy sudah bangun ya. Yuk mandi sama Daddy, Mommy lagi sakit jadi Daddy yang akan memandikannya," ucapnya pada putranya.Lelaki itu melepas pakaian pakai
Safia mengeram, ia begitu jengkel akan jawaban Manan. 'Kenapa laki-laki itu tidak pergi saja.' pikirnya sebab ia sudah berangan- angan akan terhindar dari Manan untuk beberapa saat.Manan duduk di sofa sambil melihat Safia yang meringkuk membelakanginya itu. Ia masih mencari sesuatu yang membuat ia tertarik pada wanita itu. Dalam ketermaguannya handphone berbunyi. Ia pun menerimanya."Ia Citra ada apa?" "Mereka tidak mau menundanya, Pak, jika Anda menolak pertemuan besok maka kita dianggap memutuskan kerjasama secara sepihak, pak dan kita akan mengalami kerugian yang sangat besar," ucap Citra.Katakan di bagian keuangan, juga pengacaraku kita rapat virtual sebentar," ucap Manan lalu menutup sambungan teleponnya."Fi, kau tidak butuh apa-apa, 'kan? Aku mau pergi ke ruang kerjaku dulu karena akan ada rapat virtual hari ini. Jika kau butuh sesuatu katakan sekarang juga atau kau telepon aku nanti! Aku akan datang ke sini," ucap Manan."Tidak," ucap Safia singkat."Benarkah, tidak buang
Safia mendengus kesal, Manan benar-benar tidak bisa membiarkan dia tenang. Setiap hari selalu saja mengajaknya bertengkar.Tak lama kemudian terdengar suara Manan dari luar. "Apa sudah selesai? Aku masuk yaa, Fi.""Belum, pergilah! Aku bisa jalan sendiri dari pada kau mengangguku dari tadi," teriak Safia."Siapa yang menggangu? Aku itu cuma memastikan saja, Fi. Baiklah terserah kau saja," ucap Manan sambil menyandarkan tubuhnya di dinding dan menatap pintu kamar mandi yang tertutup rapat.Tiga puluh menit kemudian Safia keluar dari kamar mandi, ia sangat terkejut melihat Manan berdiri di depan pintu."Kau masih di sini?" tanyanya sambil melotot ke arah Manan."Kenapa kau melihatku seperti itu? Kayak lihat hantu saja," ucap Manan sambil menyambar tubuh Safia, menggendong dan membawanya ke ranjang tidurnya."Sini Biar Amar Aku taruh di box-nya. Lihatlah kakinya sudah keluar dari ranjang! Bagaimana kalau dia jatuh tadi dan kau lupa menaruhnya di box?" protes Manan."Maaf, Mas," ucapnya s
Manan menutup panggilan telponnya termenung sejenak mempertimbangkan keputusannya apakah sepenuhnya benar. Ia mendesah, menyayangkan apa yang terjadi dulu persahabatan menjadi permusuhan yang tidak ada hentinya. 'Bukan aku yang memulai ini,' batinnya membela diri.Ia menimbang -nimbang keputusannya yang sangat berat, akhirnya ia pun menekan nomor telepon Citra, tak perlu menunggu waktu yang lama panggilan terhubung."Iya ada yang perlu saya bantu?" tanya Citra disambungan teleponnya."Atur pertemuanku dengan HS grup, kembali, aku ingin dua hari ke depan!" perintah Manan pada sekertarisnya. "Baik, Pak," ucap Citra lalu sambung terputus.Ia menghembuskan nafas kasarnya. 'Haruskah aku terlibat lagi dalam hal ini. Sudah tiga tahun yang lalu harusnya ini menjadi hal yang telah usang tetapi justru berimbas pada kehidupanku selanjutnya. Aku menunggu buah hatiku sekian lama begitu dia hadir kau ambil jantung hatiku. Hidupku terasa hampa tetapi aku harus hidup untuk anak kita bukan, Laila, s
Setelah beberapa lama Manan berjibaku dengan pekerjaannya, terhubung dengan berbagai divisi di perusahaan, akhirnya selesai juga ia melihat jam dinding sudah menunjukkan jam satu siang.Ia mengakhiri semua aktivitas yang terhubung dengan kantor, ia berjalan ke kamar dan terlihat Safia tengah melipat mukenanya dan terlihat rambutnya basah.Ia menghela napasnya sudah selama satu bulan lebih semenjak kepergian Laila, dia telah meninggalkan kewajiban sebagai muslim."Apa kau sudah bisa jalan sehingga tidak memanggilku untuk membantumu ke kamar mandi?" tanya Manan."Sudah, Kau tidak perlu mengkhawatirkanku, aku sudah sembuh," ucap Safia tanpa menoleh pada Manan."Aku tidak mengkhawatirkanmu, hanya saja jika kamu belum sembuh aku akan sangat repot membersihkan rumah ini sendiri walaupun banyak peralatan canggih di rumah ini tetap saja perlu dinyalakan seseorang. Aku tidak suka ada orang lain di dalam rumahku jadi aku tidak akan mengambil Art untuk membantu tugasmu sebagai istriku merawat ru
Manan mendengus kesal, "Hai! Kau jangan seperti itu! Aku ini sedang berbaik hati kepadamu karena kamu sakit. Kalau kamu tidak sakit sudah kubuat tidak bisa berjalan lagi, kebetulan obatmu masih banyak, jadi bisa kutambah lagi rasanya, mau kamu? Tidak bukan? Maka jangan macam-macam padaku!" ancam Manan lagi."Iya aku tidur apa kau puas?" tanya Safia pada Manan "Belum, bagaimana bisa puas kalau aku belum menidurimu? Jadi jangan bicara lagi kalau kau tak ingin itu terjadi!" ucap Manan sambil merebahkan tubuh di sofa.Safia mengerutu dalam hati kenapa lelaki itu sekarang selalu berbicara yang membuat jengkel dan marah.Hari itu diwarnai dengan kekesalan Safia dan keusilan Manan. Lelaki itu tidak hentinya berbicara dengan sarkas dan memaki Safia baru berhenti saat pria itu terlelap di malam hari.Dini hari Safia terbangun oleh tangisan Amar, ia mengecek popok bayi itu apakah penuh atau tidak lalu menggantinya kemudian ia pun mulai memberikan
Manan menyusul ke kamar mandi, ia memijit tengkuk Safia. "kau ini sebenarnya hamil atau tidak suka dengan selai kacang?" tanya Manan pada SafiaSafia membasuh mulutnya lalu menoleh pada Manan dan menatap dengan tajam. "Enak saja hamil. Tidak!""Bisa jadi kau hamil karena aku sudah dua kali mendatangimu," ucap Manan."Tidak, aku tidak hamil kenapa begitu ngotot mengatakan aku hamil?""Kau ingin punya anak, 'kan? Jadi aku mengabulkannya," ucap Manan sambil melenggang keluar dengan santainya. Namun, ia mulai khawatir kalau-kalau Safia Hamil."Manan mengambil roti yang sempat disobek sedikit oleh Safia itu lalu menghabiskannya.Safia yang sudah merasa enakkan sedikit itu, kembali ke meja makan ia terkejut karena roti yang sempat dimakannya tadi sudah tidak ada."Kau bikin sendiri saja, aku masih lapar dan harus segera berangkat," ucap Manan sambil menyodorkan punggung tangannya.Safia pun mencium punggung tangan Manan lalu pria itu pergi ke kamarnya dan mengambil kopernya, sebelum pergi i
Manan mengernyitkan dahinya, bagaimana bisa, pihak klien memberikan fasilitas yang tidak nyaman begini."Apa ini gak salah, Nona, kami di sini dalam rangka urusan bisnis. Tentunya akan diberikan fasilitas yang nyaman untuk kami melakukan koordinasi dengan baik, kalau ruangan saya dipisahkan dengan asisten saya Bagaimana saya bisa berkoordinasi dengan asisten saya ini? protes Manan "Mohon maaf, Pak, kami hanya menjalan tugas, Anda tanyakan saja pada pihak yang bersangkutan," ucap resepsionis hotel Brian menarik tangan Manan dan mengajaknya berbicara dengan agak jauh. agar resepsionis Itu tidak tahu apa yang dibicarakan mereka."Ada apa kau menarik -narik tanganku? Aku ingin protes pada klienku!" protes Manan jengkel."Kau tahu kenapa aku memakai topi dan kacamata hitam ini? Agar tidak diketahui olehnya. Kamar yang terpisah jauh akan lebih bagus untuk menangkap mangsa," ujarnya."Menurutmu begitu?" tanya Manan."Ia