Share

8. Wanita Asing

Selamat membaca.

"Tidurlah! Bereskan pakaianmu besok saja!" perintah Abi pada istrinya.

Tanpa mengatakan apapun Tari menuruti perintah suaminya, lalu bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan diri.

Suaminya tidur tanpa selimut, adalah pemandangan pertama yang dia lihat ketika keluar dari kamar mandi. Tari menghela napas lega, setidaknya mereka tidak perlu berada dalam situasi yang canggung. Meskipun semalam dia berusaha bersikap tenang, tapi sebenarnya itu adalah cara agar ia bisa menutupi kegugupannya.

Berpikir beberapa saat, Tari beranjak dari tempatnya menuju ranjang. Setelah itu dengan hati-hati dia tutupi tubuh suaminya dengan selimut. Dia pandangi sebentar wajah suaminya, sebelum berlalu ke sisi lain untuk tidur. Wanita itu menghela napas sebentar lalu berdoa semoga diberi kekuatan untuk menjalani hari esok.

***

Dari lima menit yang lalu, wanita yang masih menggunakan mukena putihnya, berusaha untuk membangunkan sang suami. Meski yang hasil yang didapatnya masih nihil, lelaki itu tetap terlelap pulas.

Ingin rasanya Tari mengabaikan suaminya, terserah dia mau sholat atau tidak. Namun, di sudut hatinya melarang hal itu. Terasa ada yang mengganjal jika suaminya sampai tidak sholat.

"Mas," ucapnya untuk yang kesekian kalinya.

"Hem ...."

"Bangun, waktu subuhnya keburu habis." Dengan ragu-ragu Tari menyentuh lengan sang suami, karena tidak ada tanggapan sama sekali dari lelaki itu.

Merasakan sentuhan dingin di lengannya, reflek Abi membuka matanya. Senyum sang istri yang lagi-lagi menjadi alasan jantungnya berdetak kencang adalah hal pertama yang ia lihat.

"Alhamdulillah, Mas, sudah bangun. Kalau begitu aku mau ke bawah bantu Lastri."

Abi menatap tidak percaya pada sang istri, bagaimana bisa wanita itu begitu tenang? Melepas mukena, menggantinya dengan hijab lalu begitu saja berlalu tanpa menoleh lagi. Padahal dia sendiri merasakan perasaan asing kembali menyusup ke hatinya.

Lelaki itu mengumpat lirih, menyadari tingkahnya yang seperti remaja yang baru saja melihat wanita cantik. Abi bisa membayangkan reaksi Riko saat tau tingkahnya yang terbengong melihat wajah sang istri. Pasti sahabatnya itu, akan menghinanya habis-habisan.

"Sial," batinnya. Lebih baik sekarang dia segera mandi.

***

Lastri celingukan seolah memastikan sesuatu, sebelum kemudian mendekatkan diri pada Tari yang membantunya memasak.

"Ibu mau aku cerita ini sama Mbak, biar Mbak bisa tahu langkah selanjutnya." Alis Tari berkerut mendengar ucapan Lastri yang terdengar serius.

"Hubungan Mas Abi sama bapak menjadi buruk, sejak Mas Abi menikah dengan mamanya Ica. Itu yang kutahu dari cerita ibu, tapi soal alasannya kenapa aku ndak tahu," lanjut Lastri dengan pelan.

Memijat pelan keningnya yang tiba-tiba merasa pusing, Tari alihkan pandangannya pada temannya.

"Soal Arkan?" tanyanya pelan.

"Dulu pas awal aku kerja di sini, Arkan itu anak yang ramah. Trus ndak tau kenapa pas remaja jadi pendiam kayak gitu. Tiap hari bertengkar terus sama Mas Abi. Ibu bilang ke saya, kalau ibu berharap Mbak Tari bisa bawa perubahan di keluarga ini."

"Insya Allah, aku akan berusaha Lastri," jawab Tari yakin. Karena dari awal dia sudah bertekad untuk menjaga pernikahan keduanya.

***

Suasana kaku terjadi di meja makan dengan enam kursi itu, hanya celoteh Ica yang membuat suasana sedikit mencair.

"Motor siapa yang kamu pakai kemarin?" Nada datar suaminya, membuat Tari menoleh ke arah Arkan.

"Dikasih Opa," jawab Arkan sama datarnya.

"Kamu baru lima belas tahun, belum waktunya pakai motor!" tegas laki-laki dewasa itu.

"Cuma buat main bentar."

"Mau bentar apa lama, tetap saja kamu belum boleh pakai itu. Bagaimana kalau terjadi sesuatu di jalan?"

"Selama seminggu ini aku baik-baik saja pake motor itu. Lagian sejak kapan papa peduli padaku."

Wajah Abi memerah mendengar nada sinis dari mulut anaknya. "Kamu bisa tidak kalau dikasih tau bilang iya saja. Jangan membantah terus, yang sopan sama orang tua!" bentak Abi, membuat Tari terkesiap.

Wanita itu menoleh ke sampingnya, seketika hatinya terasa nyeri melihat gadis tujuh tahun itu menunduk ketakutan. Bahkan genggaman sendok di tangan Ica begitu kuat.

"Selama ini gak ada orang tua yang ngajari aku sopan santun. Jadi jangan meminta aku menjadi seperti itu," jawab Arkan cuek.

Mendengar jawaban dari sang anak, emosi Abi memuncak. Dia letakkan sendok dan garpunya dengan keras. "Kamu—"

"Hentikan!" perintah Tari.

Nada tegas tersebut membuat dua lelaki yang sedang bersitegang, menoleh secara bersamaan.

"Ini tempat makan, kalau kalian mau berdebat silakan cari tempat lain. Lagipula apa kalian tidak tahu, Ica ketakutan," ucap Tari sambil tersenyum, tapi tanpa menghilangkan nada tegasnya.

Ayah dan anak yang akan membantah seketika membatalkannya, melihat gadis kecil kesayangan mereka menunduk ketakutan. Dengan tangan mungilnya kini mencekram erat tangan sang ibu tiri.

Akhirnya Tari bisa bernapas lega. Setelah kondisi di ruang makan dengan delapan kursi itu menjadi tenang. Mereka sibuk menghabiskan makanan masing-masing.

Namun, baru saja beberapa menit suasana tenang terjadi. Sebuah suara membuat Abi mengumpat lirih, sedangkan Arkan memejamkan matanya.

"Hai, kapan Mas Abi dan Ica pulang? Kok aku gak tau?" tanya perempuan dengan shift drees warna putih yang baru saja memasuki tempat makan. Beberapa saat kemudian mata perempuan itu menyipit, menyadari kehadiran orang lain yang terasa asing di matanya.

Sedangkan Tari bertanya-tanya, siapa wanita yang memiliki wajah hampir sama dengan Ica tersebut. Namun, sebagai tuan rumah yang baik akhirnya Tari memberikan senyum tipis pada perempuan itu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status