Share

Pernikahan Kontrak Agen Rahasia
Pernikahan Kontrak Agen Rahasia
Author: Tari suhendri

1. Remuk Redam

Aku memandang nanar kedalam liang lahat. Menyaksikan peti mati itu perlahan tenggelam didalam sana. Rasanya aku sudah tidak bisa menangis lagi.

Adik kecilku terus meraung menangisi ibu kami yang telah terkubur bersama harapan kami. Josh kecil yang malang.

Adikku pengidap autisme, tapi dia sangat mencintai ibu. Aku tidak tau bagaimana aku merawatnya tanpa ibu. Meskipun sebelum ini, ibu sudah setengah gila karena kehilangan ayah.

Tanah makam ayah masih basah ketika ibu juga di makamkan disebelahnya. Karena belum dua bulan sejak kepergiannya.

Masih teringat jelas di mataku bagaimana kecelakaan yang kami alami hari itu menewaskan ayah. Entah bagaimana kejadian itu begitu mengerikan tapi kami bertiga selamat. Hanya ayah yang langsung tewas ditempat.

Ibu menjadi depresi. Satu minggu kami dirawat dirumah sakit dan sejak kejadian itu ibu sering diam dan melamun. Dia tidak pernah memikirkan bagaimana aku dan Josh melewati hari-hari menyedihkan itu.

Ayahku seorang pemimpin organisasi rahasia militer amerika. Dan aku merasa ibu sudah mempunyai firasat dan merasa bersalah karena dia yang mengajak kami untuk pergi berlibur.

Ibu benar-benar terpukul sampai dia ditemukan dalam keadaan kaku didalam kamarnya saat aku pulang sekolah. Adikku Josh yang menemukannya pertama kali.

Sejak kematian ayah, kami dirawat oleh paman. Moriarty Thompson juga anggota organisasi yang di pimpin oleh ayah. Tapi aku tidak tau dia di posisi apa.

Sekarang, yang ada dipikiranku hanya bagaimana kami akan melanjutkan hidup. Organisasi membiayai seluruh pengobatan dan kebutuhan kami sejak ayah meninggal hanya sebagai kompensasi.

Aku yakin selanjutnya aku harus berusaha menghidupi diri kami sendiri. Aku juga bingung dengan adikku. Jika dia seorang anak yang normal mungkin mudah di bawa ke penitipan anak selama aku bekerja.

Selama prosesi pemakaman hingga selesai yang dipikiranku hanya bagaimana melanjutkan hidup. Aku sangat menyayangi adikku. Dan akhir-akhir ini kesehatannya juga buruk.

Josh sering terbangun dimalam hari dan mengeluh kesakitan. Dia tidak mau mengatakan bagian mana yang sakit sehingga aku hanya bisa menggendongnya untuk membuatnya tenang dan tidur kembali.

Satu minggu setelah kematian ibu, Josh muntah darah. Aku begitu panik karena Josh menjadi lemas dan tidak sadarkan diri.

Aku terpaksa menghubungi paman Moriarty. Padahal sebelum ini, ibu selalu mengingatkan aku agar jangan pernah terlibat apapun dengannya.

Aku tau ibu pasti memiliki alasan tepat untuk menghindarinya. Tapi aku benar-benar tidak tau harus meminta tolong pada siapa lagi.

Paman langsung datang setelah aku menghubunginya. Tanpa basa-basi langsung menggendong Josh dan memasukkannya kedalam mobil.

Dia terus menenangkan ku sepanjang perjalanan. Keningnya berkerut dalam dan raut wajahnya sangat khawatir. Aku seperti melihat ayah saat mengkhawatirkan Josh.

"Semua akan baik-baik saja, nak," kata Paman memelukku dengan canggung. Aku membalas pelukannya pelan. Cukup merasa nyaman.

"Terima kasih paman," kataku lemah. Tenagaku sudah habis untuk menangisi nasib kami.

"Jangan berterima kasih seperti itu, aku pamanmu bukan orang lain," jawab paman tidak suka.

Kami duduk dengan kikuk di kursi tunggu. Menunggu kabar dari dokter yang tak kunjung keluar.

"Keluarga Josh?" tanya seorang perawat yang keluar dari ruangan Josh diperiksa.

Kami refleks langsung berdiri,

"Silahkan keruangan dokter untuk dijelaskan," Kata perawat itu meminta kami mengikutinya.

Tanganku gemetar saat memasuki ruangan dokter. Paman menggenggam tanganku begitu erat untuk menenangkanku. Lalu kami duduk berhadapan dengan seorang dokter wanita yang hidungnya begitu tinggi.

Dia tersenyum, "Josh sedang dalam keadaan koma. Otaknya bekerja terlalu keras menghadapi tekanan emosional dalam dirinya. Itu menurut pendapatku mengingat kejadian yang baru kalian alami, tapi untuk diagnosis lebih lanjut, kami harus melakukan beberapa pemeriksaan lagi,"

Aku terdiam, hatiku begitu sakit hingga rasanya seperti tertusuk jarum yang sangat banyak. Ayah dan ibu sudah pergi, tolong jangan Josh juga tuhan!. Aku ingin menjeritkan itu sekuat tenaga.

Tapi yang aku lakukan disini hanya membisu. Kepalaku terasa panas dan berasap sementara mataku mulai berkaca-kaca dan memerah.

Paman mengelus punggungku dengan perlahan. Dia tersenyum pada dokter dan membawaku keluar.

"Tenanglah Hannah, semua akan baik-baik saja. Josh mungkin hanya butuh istirahat untuk menangkan dirinya sendiri," ucap Paman dengan nada rendah dan sedih.

Aku menunduk dalam, lalu tubuhku merosot kelantai. Dengan menekuk kedua lutut, aku menenggelamkan wajahku disana. Menangisi nasib malang adikku yang baik dan periang.

"Josh, maafkan aku!" erangku menyesal.

Harusnya aku lebih bisa menjaganya. Hanya dia satu-satunya keluarga yang aku punya. Dan Josh sangat membutuhkan perhatianku.

Paman membiarkanku dalam keadaan seperti itu cukup lama. Hingga aku berdiri dan memutuskan untuk menemani Josh.

Hatiku perih melihat banyaknya kabel ditubuh dan kepalanya. Aku duduk di sebelahnya dan menggenggam tangannya yang dingin.

Entah berapa lama aku rupanya ketiduran disisi Josh. Aku terbangun saat tangan kekar memegang pundakku.

Saat aku membuka mata, Paman berdiri bersama seorang wanita paruh baya yang memiliki sorot mata yang tajam.

Kami duduk di sofa saling berhadapan. Aku lihat paman begitu tegang dan terus mengawasi ekspresiku. Entah apa yang akan mereka sampaikan.

"Hannah, dengan sangat menyesal kami harus memberitahumu bahwa kematian ayahmu bukanlah kecelakaan murni," kata wanita yang tidak memperkenalkan dirinya itu.

"Maksud anda?" tanyaku terkejut.

"Itu sebuah pembunuhan berencana, Hannah," paman menimpali dengan wajah tegang.

Aku berdiri dengan kemarahan meluap. Kami sedang berduka dan adikku sedang koma. Sekarang mereka memberikan kabar buruk pula. Sungguh, luka hatiku begitu dalam.

Air mata mengalir deras dipipiku, dan aku berkata dengan bibir bergetar hebat, "apa belum cukup kemalanganku? Apa kalian harus memberitahuku omong kosong ini?"

Paman dengan tenang memintaku duduk kembali, "kau harus mendengarkannya hingga selesai nak. Kau harus mengetahuinya,"

Aku duduk kembali, tapi enggan menatap wanita gila itu.

"Asal kau tau Hannah, pelakunya adalah ibumu," katanya tegas, dan penuh emosi.

Jika saja bukan didalam rumah sakit, aku sudah menggebrak meja. Tapi aku ingat kami sedang dimana. Dengan mata melotot aku menatap wanita itu dengan sorot mematikan.

"Ibuku depresi karena kematian ayahku hingga dia meninggal! Dan kalian menuduh ibuku pelaku nya? Kalian sudah gila!" aku berkata dengan geraman tertahan.gigiku terkatup rapat.

"Hannah, kami bukan menuduh, kami mempunyai buktinya," Paman memberikanku sebuah amplop besar yang berisi foto dan beberapa berkas.

"Aku tidak mengerti semua ini," keluhku kesal.

"Ini sebuah rekaman," Paman memutarnya

"Tentu saja aku memilih negaraku! Dan aku tidak melupakan tugasku disini!"

Aku mendengar suara ibuku yang sedang marah.

"Bagus. Lakukan besok atau tidak sama sekali. Hanya kau yang bisa membunuhnya," Kata seorang pria diseberang telepon.

Hanya sebatas itu isi rekaman itu. Lalu paman menunjukkan video rekaman yang diambil saat ibu sedang melakukan sesuatu dengan mobil ayah, tapi tidak jadi dia lakukan.

Beberapa foto ibu bertemu dengan orang-orang yang tidak aku kenali. Masalahnya, foto itu memang sangat mencurigakan.

"Ini tidak membuktikan apapun!" emosiku memuncak dan aku menyangkal tuduhan mereka.

"Nak, dengarkan paman sekali saja. Ayahmu sudah tau jika ibumu seorang mata-mata Rusia. Tapi dia sangat mencintai ibumu dan berpura-pura tidak mengetahuinya," Paman berusaha menjelaskan.

"Tidak mungkin," gumamku tidak percaya.

Tapi jika aku ingat-ingat lagi ibu memang memiliki banyak rahasia. Aku bahkan tidak boleh sembarang menyentuh barang-barangnya baik dikamar maupun didapur.

"Aku yakin kau pasti memiliki kecurigaan," Wanita itu menimpali dengan serius. Dia memberikanku beberapa foto lain.

Foto ibu yang bergabung dalam militer. Ibuku memang bertubuh bongsor dan kekar. Dia rajin berolah raga dan itu menurun padaku.

Tapi ibu juga memiliki wajah yang sangat cantik dan menawan. Berambut cokelat dengan bibir tipis dan senyuman indah. Dia memiliki mata biru yang cerah. Warna favoritku sejak kecil.

"Nama asli ibumu adalah Anna Zakharov, dan seorang warga negara rusia yang taat. Ayahmu tau dia mendapat pelatihan khusus sebagai mata-mata di sebuah organisasi rahasia milik rusia. Ayahmu tau hal itu saat kau sudah berusia remaja,"

"Mereka saling mencintai, Hannah. Ayahmu melindunginya sekuat dan semampu yang dia bisa. Tapi aku yakin pihak Rusia juga melakukan hal yang sama terhadapnya. Konflik di belahan dunia semakin kuat dan keadaan semakin tak terkendali. Sekarang saat yang tepat untuk memulai,"

"Memulai apa?"

"Sebenarnya, perang itu tidak pernah usai. Hanya saja, kita melakukan hal-hal bersifat rahasia untuk mencegah hal-hal tidak diinginkan terjadi di negara kita,"

Aku terdiam memikirkan fakta yang paman sampaikan. Aku tidak tahu harus percaya ibu atau dia?. Paman memang tidak sering berkunjung karena ibu selalu terang-terangan tidak mau menerimanya.

Tapi ayah sangat bangga terhadap adiknya itu. Paman selalu mengirimi kami hadiah secara diam-diam. Hal itu yang membuatku cukup mengenal bagaimana paman bersikap hangat dan menganggapku seperti putrinya sendiri.

"Jadi paman, untuk apa aku harus mengetahui hal ini? Aku tidak dapat melakukan apapun. Dan bagaimana pun buruknya ibu, dia tetap ibuku," ucapku lemah dan tak berdaya.

Benar bukan? Aku tidak bisa melakukan apapun lagi. Selain melanjutkan hidup dan merawat Josh. Memikirkan kematian ayah dan ibu yang secara tidak wajar itu, membuat luka hatiku semakin dalam.

Paman memegang tanganku yang dingin. Sorot matanya sendu dan dia bersimpati terhadapku.

"Hannah, ibumu meninggal karena bunuh diri. Dia sempat meneleponku sebelum menenggak obat itu dan menitipkan kalian padaku,"

Paman lalu mengeluarkan ponselnya dan memutar sebuah rekaman telepon.

"Moriarty! Tolong jaga anak-anak kami. Maafkan aku dan tolong, jangan biarkan mereka sendiri. Hanya dengan mati mereka akan aman. Aku tidak dapat menanggung beban ini lagi. Aku mohon,"

Aku tau itu suara ibu. Tidak terasa air mataku menetes lagi.

"Kate, lupakan semua masalalu. Bertahanlah aku akan datang menyelamatkan kalian. Kau harus hidup demi anak-anakmu. Kasihan mereka Kate!" jawab paman gusar.

Tapi sambungan itu sudah terputus. Aku menangis tersedu sambil memeluk diriku sendiri. Apakah belum cukup semua penderitaan ini?

"Apa yang bisa aku lakukan paman? Aku bisa apa!" suaraku serak dan bergetar.

"Jika kau mau membantu kami dalam sebuah operasi rahasia, aku yakin kita akan menemukan jawabannya Hannah," jawab paman lembut dan tenang.

Aku menatapnya tak percaya, "operasi rahasia?"

Paman mengangguk serius tapi bibirnya tersenyum hangat. Seolah menyiratkan ada harapan baru dalam hidupku yang sudah hancur ini.

Aku melihat Josh yang terbaring koma diranjangnya, memikirkan jalan yang ada didepan mataku. Apakah aku harus mengikuti jalan ini? Atau berlari ke arah lain?

"Semua tergantung padamu nak, jika kau memutuskan untuk bergabung, kita akan mengetahuinya. Jika kau tidak mau, maka paman siap merawat kalian dan kita anggap ini tidak pernah terjadi dan semuanya hanya hal yang wajar,"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status