Di tempat lain, ada Aaron yang baru saja selesai mandi. Dari kejauhan ia melihat layar ponselnya menyala. Pria itu lekas menghampiri di mana ponselnya ia simpan. Aaron tersenyum melihat foto yang dikirim oleh John. Ia senang bisa melihat Bella dan Alessandro. "Aku berjanji kalau kita akan kembali bersama, Sayang," gumam Aaron, sembari mengusap layar ponsel tepat di bagian pipi Bella. Aaron menyimpan kembali ponselnya, karena ia harus bersiap ke kantor. Setelah pakaiannya terlihat rapi, Aaron segera meninggalkan kamar menuju ruang makan untuk sarapan. Di sana, sudah ada Mitha. "Gimana keadaanmu?" tanya Mitha. "Berusaha untuk baik, Mi.""Kamu yang tabah dan tetap jaga emosi. Ikuti saja alur dari ayah mertuamu dulu.""Jadi, kalau surat cerai itu ada, aku harus menandatanganinya, begitu?""Ck! Ya tidak juga! Anggap saja kalian LDR-an. Yang terpenting, cinta kalian tetap ada. Malah, seharusnya tambah besar. Lagipula, kalau Julio tetap memaksamu untuk tanda tangan, di persidangan na
Bella menoleh, lalu mendengkus. "Ih, aku pikir ayah!""Hahaha, kaget, ya?!"Bella mendelik. Suara John memang sangat mirip dengan Julio. Tak hanya suara, wajahnya saja sama persis Julio semasa muda. "Cieee ... yang lagi kangen-kangenan," ledek John. Bella menggoyang lengan John. "Jangan bilang ayah atau ibu, ya? Please?!"John tersenyum. "Iya. Kakak tenang saja."Bella tersenyum sembari menepuk-nepuk lengan John. "Terima kasih."John hanya mengangguk saja, lalu mengajak Bella dan Alessandro pulang. Bahkan ponsel juga kunci salah satu kamar apartemen Bella dititipkan kepada John. "Kalau bisa, ayah jangan sampai melihat Tuan Kevin," ujar John. Kevin mengangguk. "Biasa diatur!"Bella dan John berpamitan. Dengan menunggangi kuda besi milik John, mereka pergi meninggalkan area pantai. Ya, kini, tak ada lagi mobil apalagi pengawal setelah pengakuan Aaron waktu lalu. Tak hanya itu, semua uang bulanan yang Aaron beri selama ini, Julio sudah kembalikan. Julio benar-benar menghapus jejak A
Ponsel Aaron berdering, tetapi pria itu tak kunjung mengangkatnya. "Angkat saja! Berisik!" ketus Julio. Masih dalam keadaan bertekuk lutut, Aaron menerima panggilan yang ternyata dari Damian yang memberi kabar bahwasanya investor baru ingin bertemu langsung dengan Aaron, karena jikalau tidak maka perusahaan itu tidak akan berinvestasi di SAP Company. "Ada hal yang lebih penting dari investor itu. Katakan saja, tidak masalah jika perusahaannya tidak berinvestasi di perusahaan!" Aaron menyaksikan Julio pergi. Sang ayah mertuanya itu masuk dan menutup pintu cukup kencang. Aaron memutus sambungan telepon, lalu bergegaslah berdiri dan mengetuk pintu. "Ayah?! Kita belum selesai bicara, Yah! Yah?"Nihil, Julio tak kunjung ke luar. Malah, terdengar pintu itu di kunci dari dalam. Aaron hanya pasrah dan duduk di teras. Ia menghubungi John. "Aku di teras!" ucapnya, lalu mematikan lagi teleponnya. Tidak berselang lama John ke luar. Pemuda itu turut duduk di teras tepat di samping Aaron. B
Hari berganti pagi. Aaron masih bermalas-malasan di atas ranjang. Maklum, semalam ia tidak bisa tidur menjadikan kepalanya terasa berat. Matanya terpejam sekitar jam empat pagi. Ting tung!Bunyi bel terdengar nyaring di telinga Aaron tepat jam enam pagi itu. "Ck! Rajin sekali mengantar sarapan sepagi ini!" keluh Aaron, walaupun akhirnya ia membuka pintu juga. "Loh, Sayang?!" Aaron merasa kaget sekaligus senang melihat siapa yang datang. Ya, ternyata Bella yang datang dan langsung menghambur memeluk Aaron. Aaron membalas pelukan Bella. "Kenapa menangis, hem?" tanya Aaron sembari menarik kereta bayi masuk dimana di dalamnya ada Alessandro. "Kenapa melakukan itu?""Melakukan apa maksudnya?"Bella melerai pelukan. "Semalam, aku melihat berita di televisi."Aaron tersenyum. "Lalu, itu yang kau tangisi?"Puk! Bella memukul dada Aaron."Tentu saja! Kenapa memilih datang ke sini? Kenapa kau melepas kesempatan itu?"Aaron membingkai wajah Bella. "Biarkan kesempatan yang itu hilang. Ya
Setelah menikmati sarapan yang ternyata lebih cocok disebut makan siang, Aaron menemui orang-orang yang mencarinya. Betapa terkejutnya ia ternyata orang-orang itu adalah para wartawan. Sang resepsionis mau tidak mau tidak menyebutkan siapa mereka saat menelepon Aaron tadi, karena pasalnya mereka mengancam akan merusak fasilitas di sana. Aaron yang sudah terlanjur berada di loby terpaksa harus menerima ragam pertanyaan dari para wartawan. "Tuan Aaron? Selama SAP Company berdiri, hari kemarin adalah hari terburuk dalam sejarah. Anda sama saja dengan menghancurkan perusahaan yang dengan susah payah sudah Tuan Addison bangun. Apa Anda menyesal?"Aaron tersenyum samar bahkan menatap sinis wartawan itu. "Segala keputusan yang aku ambil tidak akan membuahkan penyesalan dalam hidupku! Karena aku yakin, SAP akan tetap berdiri walau tanpa ikut campur investor itu!""Tapi, dengan begitu Anda sama saja tidak menghargai para dewan yang sudah bekerja keras? Padahal, mereka sangat menunggu momen
Aaron dan Bella memilih pergi ke taman bermain. Di sana keduanya tengah mengawasi Alessandro yang sedang asyik dengan dunianya. "Sayang? Terima kasih atas semua pernyataan tadi. Aku bahagia sekali mendengarnya," kata Aaron. Bella tersenyum, lalu menunjuk pipinya. Aaron yang mengerti dengan isyarat itu langsung mencium pipi Bella. Tak hanya itu, Aaron memberinya bonus dengan mengecup bibir ranum Bella. Bella terkekeh-kekeh. "Terima kasih. Eh, eh, aku lupa kalau ini tempat umum. Aduuuuh, malunya aku! Orang-orang pada liatin kita, tuh!"Aaron mengedarkan pandangan. "Kan, kita artis, Yang. Baru saja masuk televisi."Bella tersenyum kecut. "Jadi berita utama, kah?""Sepertinya begitu. Tapi, sebentar aku cek dulu." Aaron mengeluarkan ponsel dari saku, lalu membuka salah satu laman internet. "Lihat!" Aaron menghadapkan ponselnya kepada Bella. Bella membulatkan matanya. "What? Hot news?!"Aaron tersenyum, lalu memasukan ponselnya kembali ke dalam saku. "Begini ternyata rasanya menjadi
"Buka dan sobek saja surat itu!" titah Julio. Pria usia lanjut itu duduk santai sembari menyandarkan punggungnya. Bella dan Aaron saling memandang, lalu memandang Julio. "Maksudnya?" tanya Bella sembari mengerutkan dahi. Bella tersenyum lebar saat menyadari apa yang dikatakan Julio. Ia menyambar amplop itu, lalu mengeluarkan isinya. Dengan semangat wanita itu menyobek kertas itu menjadi lembaran kecil-kecil. Bella terharu sampai menangis, bahkan menghambur memeluk Julio. "Terima kasih, Yah, terima kasih. Maaf, sudah bikin Ayah kecewa dan marah."Julio membalas pelukan putrinya itu. "Tidak usah berterima kasih dan sekarang Ayah yang seharusnya minta maaf. Maaf, karena Ayah terlalu egois tidak memikirkan perasaanmu, perasaan kalian." Julio menatap Aaron dengan membuka sebelah tangannya lebar-lebar. Aaron yang mengerti langsung menghamhur ke dalam pelukan Julio. Melihat itu membuat Belinda menangis bahagia. Pun dengan John. Pemuda itu memeluk Belinda erat. "Sudah, sudah! Tidak usa
Ponsel Mitha berdering. Ia meminta izin kepada semua untuk menerima panggilan itu. Rupanya dari Robert, yang melakukan panggilan vidio. Mitha menjauhkan ponselnya agar Robert bisa melihat semuanya. "Halo, Pa? Apa kabar?" sapa Bella sembari melambaikan tangan. "Kabar baik, Nak. Kamu apa kabar?""Sangat baik, Pa." Bella menjawabnya diiringi seulas senyum. Semua menyapa Robert, tetapi tidak dengan Aaron. Ia hanya tersenyum itupun samar. Bella yang memerhatikan sangat mengerti dengan reaksi Aaron. "Bukankah dulu yang kasih alamat di Bali itu Papa Robert, ya? Tapi, kenapa sikapnya seperti itu kepada Papanya?" Batin Bella. Perhatian Bella kembali kepada Robert. Mengenai sikap Aaron, dirinya akan tanyakan nanti. Setelah saling menyapa, Robert bicara, "Sayang sekali aku tidak ada di sana. Mitha mengajakku tadi, tapi maaf ... aku sedang ada pekerjaan.""Semoga ada kesempatan lagi untuk kita bertemu, Tuan," ucap Julio. "Ah, jangan panggil aku Tuan, bukankah kita besan?" tutur Robert. "T