Ayrin menatap gaun tidur seksi yang Reygan berikan kepadanya dengan ekspresi tidak terlalu senang. Gaun itu terlihat begitu mungil dan terbuka, jauh dari kesan sopan dan nyaman yang biasa dia kenakan.
"Kenapa kamu selalu beli gaun kayak gini sih, Mas?" tanyanya sambil mengangkat satu alis, menunjukkan gaun tersebut di hadapan suaminya.
Reygan tersenyum lebar, melihat ekspresi Ayrin yang kikuk. "Memang kenapa? Kamu nggak suka modelnya?" godanya dengan suara penuh kekaguman.
Ayrin mendengus kesal. "Aku nggak tahu mau pakai ini di mana. Dan rasanya sudah nggak pantas juga aku memakainya," keluhnya, sambil menunjuk ke seluruh bagian tubuhnya yang menurutnya sudah tidak seindah dulu.
Reygan mendekati Ayrin dengan langkah perlahan, matanya tidak bisa berpaling dari pesona istr
"Ma, Pa, nanti waktu libur sekolah kita liburannya ke Disneyland, ya," pinta Rania dengan antusias, suaranya penuh semangat.Reygan dan Ayrin tersenyum sambil menatap putri cantiknya yang kini sudah berusia sembilan tahun. Dalam usianya sekarang, Rania tumbuh menjadi anak yang cantik, riang dan pintar."Masa ke Disneyland lagi, Nia," protes Rian sambil mengunyah ayam gorengnya dengan lahap. "Liburan kemarin kan sudah pergi ke sana.""Tapi kan beda, Mas. Kemarin di Hongkong. Nanti di Jepang," balas Rania dengan penuh semangat.Rian mengerutkan keningnya, mencoba memahami perbedaan itu. "Memangnya apa bedanya, sih?""Ya beda tempat lah, Mas. Masa begitu saja harus dijelasin. Payah ni
Liburan ke Jepang itu benar-benar menjadi momen berharga bagi keluarga kecil mereka. Ketika akhirnya sampai di Disneyland Tokyo, senyum lebar Rania yang cerah menghapus segala lelah yang dirasakan Reygan dan Ayrin. Mereka sudah melalui perjalanan panjang, tetapi melihat kebahagiaan di wajah anak-anak mereka adalah semua yang mereka butuhkan."Pokoknya liburan selanjutnya kita harus pergi ke Paris ya, Ma, Pa," pinta Rania dengan antusias ketika mereka sedang beristirahat di salah satu kafe di dalam Disneyland."Mau lihat Menara Eiffel?" tanya Reygan sambil tersenyum melihat semangat putrinya.Rania menggeleng. "Ke Disneyland lah, Pa," balasnya dengan semangat membara."Sekarang kan kita sudah di Disneyland, Nia," timpal Rian sambil menatap adiknya dengan sedikit bingung.
Setelah beberapa hari menghabiskan waktu liburan di Jepang, Reygan langsung membawa istri dan anak-anaknya pergi ke Swiss.Selain untuk menyenangkan anak-anaknya, Reygan juga ingin menghabiskan waktu bersama dengan istri tercintanya di sana.Pemandangan pegunungan yang megah dan udara segar yang mereka hirup memberikan suasana baru yang menenangkan bagi keluarga mereka."Kenapa Swiss? Kenapa nggak ke Paris biar lebih romantis?" tanya Ayrin saat mereka sampai di salah satu hotel di Swiss, dengan pemandangan Alpen yang memukau dari jendela kamar mereka."Dan kita akan menghabiskan waktu di Disneyland lagi?" sahut Reygan sambil tersenyum.Senyum merekah di wajah Ayrin saat dia mendengar kata-kata Reygan, mengingat betapa antusiasnya Rania tentang tempat liburan favoritnya itu."Memang kenapa? Ini kan waktu liburan untuk anak-anak. Bukan orang tua seperti kita," ujar Ayrin kemudian.Reygan mendekatkan dirinya pada Ayrin, tanga
“Jagalah keluarga ini, Tuhan! Jangan biarkan pengkhianatan itu terulang lagi!” Ayrin berdoa dalam hatinya dengan sungguh-sungguh.Perasaan yang berkecamuk dalam hatinya terasa seperti badai yang tak terkendali, menghantam setiap sudut hatinya. Sebagai seorang istri yang pernah merasakan pahitnya dikhianati suaminya, setiap kecurigaan mengguncang fondasi kepercayaan yang telah Ayrin bangun selama ini.Begitu Reygan mulai lebih sering melakukan perjalanan bisnis setelah liburan mereka, Ayrin merasakan sebuah kekosongan tumbuh di hatinya. Meskipun dia berusaha mempercayai suaminya sepenuhnya, namun kecurigaan itu semakin mengintai. Terutama ketika perjalanan bisnis Reygan menjadi semakin sering, meninggalkan Ayrin dalam kegelapan pikiran yang tak tertebakAyrin akhirnya memutuskan untuk menghubungi kantor suaminya. Dengan suara gemetar, dia menanyakan keberadaan Reygan kepada Rani, sekretaris suaminya. Jawaban yang didapatnya mengejutkan sekaligus menam
Reygan memeluk tubuh Ayrin yang sudah terlelap di sisinya dengan berbagai perasaan yang berkecamuk dalam hatinya. Dia kembali memikirkan pertemuannya dengan Veranda di kantornya beberapa waktu lalu.Saat itu, Reygan sedang duduk di meja kerjanya, tenggelam dalam tumpukan berkas yang menumpuk di depannya. Matanya lelah setelah hari yang panjang, namun tiba-tiba, suara yang sangat dikenalnya memecah keheningan ruangan."Vera...!" seru Reygan, matanya melebar saat melihat sosok wanita itu berdiri di ambang pintu. Nama itu terlontar dari bibirnya tanpa sadar, disertai dengan rasa tak percaya yang menyelimuti pikirannya.Dia hampir tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Veranda yang dulu selalu tampil percaya diri dan menantang itu terlihat sangat berbeda dengan yang ada dalam ingatannya.Kini wanita itu tegak dengan kepala tertunduk di hadapannya, wajahnya pucat dan sendu. Kecantikannya yang dulu masih terlihat, namun wajah itu tampak terkikis oleh waktu d
"Riska butuh sumsum tulangmu, Rey. Dia menderita Leukimia."Reygan tersentak mendengar kata-kata Veranda, tubuhnya tiba-tiba terasa dingin dan kaku. Jantungnya berdegup kencang, seolah ingin melompat keluar dari dadanya. "Leukimia?" gumamnya dengan suara bergetar, nyaris tidak percaya dengan apa yang didengarnya.Veranda mengangguk lemah, matanya memancarkan campuran kesedihan, keputusasaan, dan harapan. "Aku tidak mau kehilangan dia, Rey... Aku tidak mau...." Air mata mengalir deras di pipinya, menggambarkan betapa berat beban yang ditanggungnya.Reygan menggeleng-gelengkan kepalanya, tak mampu menemukan kata-kata yang tepat untuk diucapkan. "Aku... Aku...." bisiknya dengan gemetar, terdiam dalam kebingungannya yang tak terkira.Veranda memotong ucapan Reygan dengan cep
"Aku tidak bisa pergi ke sana untuk sementara waktu, Ra," kata Reygan melalui sambungan telepon, suaranya terdengar lelah dan tertekan."Ada apa, Rey?" tuntut Veranda dengan suara gemetar, kegelisahan terpancar jelas dari intonasi suaranya.Reygan menghela napas berat. "Masih ada beberapa pekerjaan yang harus aku selesaikan, Ra" jawabnya dengan lelah."Pekerjaan apa yang lebih penting dari menyelamatkan nyawa anakmu sendiri, Rey?" desah Veranda dengan penuh emosi, suaranya menggema dalam telinga Reygan, mengiris hatinya."Aku akan berusaha menyelesaikannya secepat mungkin, Ra. Tolong beri aku waktu sebentar lagi!" pinta Reygan dengan lirih, berusaha meredam amarah Veranda."Tidak cukupkah waktu yang aku berikan selama ini, Re
“Hubungan kalian baik-baik saja, kan?”Pertanyaan Rayden menghantam Ayrin seperti sebuah pukulan tak terduga. Keresahan yang terpendam seolah meletup-letup dalam dadanya, memenuhi ruangan dengan keheningan yang tegang. Matanya menatap tajam ke arah kakak iparnya, mencari petunjuk dalam ekspresi wajahnya yang tenang.Rayden melanjutkan ucapannya saat melihat betapa tegangnya tubuh Ayrin. "Ah, saya tidak bermaksud apa-apa, Rin," katanya dengan tenang, mencoba menghilangkan kekhawatiran di wajah wanita ituAyrin mencoba menenangkan dirinya. "Iya, Mas. Hubungan kami sudah lebih baik sekarang," balasnya sambil menyembunyikan getar dalam suaranya. Matanya menghindar, mencari-cari sesuatu di sekeliling ruangan untuk menenangkan hatinya.Rayden terdiam cukup lama, se