Selamat membaca!
"Kenapa malah bangun, Pak? Saya udah tanggung banget nih!" Seorang gadis cantik bernama Viola tampak protes. Sudah setengah jam lamanya, gadis itu dibuai oleh foreplay yang dilakukan oleh Aldrich Devan–seorang dosen di kampusnya. Tentu saja ia tidak mungkin membiarkan Devan pergi dan meninggalkannya dalam keadaan seperti saat ini. Keadaan di mana ia butuh pelampiasan untuk melepas segala hasrat yang sejak tadi begitu menggila dalam dirinya."Maaf saya enggak bisa ngelakuin lebih dari ini.""Maksudnya, Pak?" Viola masih menatap Devan yang sudah berdiri di tepi ranjang dengan heran."Ya, saya enggak bisa jika sampai berhubungan intim.""Apa alasannya? Terus saya gimana, Pak?" Viola semakin tidak mengerti. Bagaimana mungkin, Devan bisa menghentikan permainannya di saat ia sudah terbuai dalam hasrat yang dibuat oleh pria itu sejak tadi."Saya enggak peduli." Pria itu tampak dingin. Padahal dari awal keduanya sudah dipengaruhi minuman keras hingga sepakat mencari hotel yang ada dekat dari cafe tempat mereka tengah mengadakan acara pesta kampus.Devan melepas paksa genggaman Viola. Dengan terburu-buru, pria itu memakai kembali kemeja yang teronggok di lantai dan mengambil dasi miliknya juga tanpa memakainya."Pak, jangan pergi!" Viola dengan tegas meminta. Suaranya terdengar keras. Namun, Devan tetap mengabaikannya dan keluar begitu saja dari kamar hotel."Sial, kenapa Pak Devan malah pergi sih? Mana gue kentang banget lagi." Viola hanya bisa menatap kepergian Devan tanpa bisa menahannya lagi. Baginya, bersama pria itu adalah hal yang membuatnya sangat bahagia karena sejak pertama kali masuk kampus, Viola memang sudah mengagumi Devan. Bahkan ia pernah sesumbar pada teman-temannya jika ia akan menyerahkan keperawanannya pada Devan. Dosen pembimbing yang terkenal super dingin di kampus. Namun, sikapnya itu justru mampu membuat detak jantungnya jadi tak beraturan, walau pria itu hanya berada di dekatnya.Viola pun bangkit. Menatap ranjang yang sudah sangat berantakan saat ini. "Ya ampun, aneh banget deh, kenapa Pak Devan pergi gitu aja sih? Apa dia enggak ngerasa kentang juga kaya gue?"Di saat Viola mengambil selimut yang berantakan di atas ranjang, kedua matanya tampak membulat sempurna saat melihat bercak darah menodai sprei putih hingga membuatnya langsung berteriak histeris seperti melihat hantu."Apa ... darah? Jangan-jangan tadi Pak Devan ngambil kesucian gue cuma pake ... ya ampun, gimana ini? Masa keperawanan yang udah gue jaga selama ini hilang gitu aja. Arghhhh ...." Viola hanya bisa merutuki kebodohannya. Mengacak rambut yang memang sudah berantakan sambil berguling-guling di atas ranjang setelah melepas tubuhnya tanpa mengenai bercak darah keperawanannya.Kenangan itu selalu singgah ke dalam mimpi, walau ia enggan mengingatnya. Kenangan yang membuat Viola sampai jatuh dari atas ranjang tidurnya."Aduh, sakit." Sambil mengusap bagian bokongnya, Viola mulai bangkit dari posisinya terjatuh. "Kenapa sih udah dua tahun, tapi gue masih aja mimpiin Pak Devan?" Pikiran Viola kembali tertarik ke belakang. Tepat di saat Devan tiba-tiba menghilang dan tak lagi terlihat mengajar di kampus, bahkan nomor telepon pria itu juga sudah tak bisa lagi dihubungi."Viola, kamu sudah bangun, kan?" Tiba-tiba suara panggilan itu terdengar semakin dekat."Sudah, Bu. Kenapa?""Ayo cepat mandi, terus sarapan di bawah! Bukannya ini hari pertama kamu masuk kuliah."Viola menepuk dahinya. Menatap sang ibu yang masih berdiri di ambang pintu setelah membukanya."Oh iya, aku lupa." Viola pun bergegas bangkit, lalu duduk di tepi ranjang sambil melipat selimut yang jatuh teronggok di lantai."Ya udah, jangan lama ya! Jangan nyanyi-nyanyi dulu di kamar mandi, nanti ayah enggak mau nganterin ke kampus baru kamu.""Nasib-nasib, jadi anak ayah. Selalu pindah-pindah. Makanya, aku sampai enggak punya temen. Please, Bu, kota ini terakhir ya!""Ya, Ibu juga maunya gitu, La. Tapi, tergantung dari kantor ayah kamu."Begitulah kehidupan Viola. Gadis itu terpaksa harus pindah kuliah dari kota satu ke kota lain mengikuti ayahnya yang masih sering dipindahtugaskan oleh kantornya."Ya, semoga aja ayah enggak dipindahkan lagi." Viola menghela napasnya dengan kasar, lalu bangkit dan mulai melangkah menuju kamar mandi yang ada di sudut kamarnya. Kamar baru yang ukurannya tidak terlalu besar, tetapi cukup nyaman untuk Viola tempati. Sebuah rumah yang didapat ayahnya sebagai fasilitas kantor untuk mereka tempati selama bertugas di Jakarta.***"Kamu hati-hati ya, Vi. Pokoknya harus bisa pilih-pilih teman, terutama laki-laki."Begitulah nasihat dari ayah Viola yang bernama Bimo setibanya di depan kampus. Pria paruh baya yang usianya sudah memasuki 42 tahun."Iya, Yah. Lagi pula aku juga enggak pintar bergaul, apalagi yang aku tahu anak-anak di kota ini kalau berteman suka ngelihat status keluarganya.""Enggak semuanya kok. Nanti pasti kamu bisa dapat temen yang baik di sini, tapi saran Ayah sih kamu lebih baik fokus aja belajar. Kejar nilai kamu biar kamu dapat IP yang tinggi, apalagi kamu pindah sebenarnya tanggung banget karena kamu udah semester akhir.""Iya, Ayah, aku paham kok. Pokoknya Ayah nggak usah khawatir ya! Viola janji, Viola nggak akan ngecewain Ayah. Ya udah, aku masuk dulu ya, Yah." Viola meraih dan mencium punggung tangan Bimo sebelum berlalu pergi meninggalkan sang ayah yang kembali masuk ke mobil, lalu pergi meninggalkan pelataran kampus.Setelah melepas kepergian ayahnya, Viola pun masuk ke lobi. Langkahnya langsung tertuju pada sebuah lift di mana ia harus sudah tiba di lantai dua dengan cepat karena kelas pertamanya akan segera dimulai dalam beberapa menit. Beruntung ayahnya sudah mengurus semua administrasi dan keperluan Viola untuk bisa kuliah di kampus barunya kemarin. Jadi hari ini, Viola bisa langsung mengikuti kelas pertamanya tanpa harus direpotkan dengan masalah administrasi dan hal lain yang memang paling enggan dilakukannya.Setibanya di dalam ruang kelas, Viola mendapatkan kursi paling belakang di barisan tengah. Pandangannya langsung tertuju pada mahasiswa dan mahasiswi yang ada di kiri juga kanannya."Hai, lo mahasiswi pindahan ya, soalnya gue baru ngelihat lo hari ini?" Seorang wanita yang kelihatan cantik dengan rambut pendek sebahu tampak menegurnya. Wanita itu terlihat baik dengan senyum ramah menyapa Viola."Iya, ini hari pertama gue masuk. Kenalin, nama gue, Viola. Lo siapa?"Wanita yang duduk tepat di sampingnya itu mulai mengulurkan tangan, lalu keduanya pun saling berjabat tangan."Salam kenal juga ya, gue Karen Oktavia, panggil aja gue, Tari.""Tari? Kok bisa dipanggil Tari." Viola tampak heran. Raut wajahnya tampak penuh tanda tanya saat menatap wanita yang baru mengurai jabatan tangannya."Iya, jadi Tari itu nama kecil gue.""Oh gitu … berarti semua teman-teman di sini manggil lo, Tari ya?"Wanita itu diam sejenak. Lalu, tersenyum lebar sambil menggaruk kepalanya. "Ya enggak juga sih, mereka malah tahunya Karen.""Terus kenapa gue harus manggil lo, Tari?""Ya, biar akrab aja." Wanita yang ingin dipanggil Tari itu pun terkekeh singkat sebelum akhirnya ia kembali mengunci bibirnya untuk diam saat pintu ruangan terdengar dibuka."Ingat, ya! Kelas hari ini gurunya killer banget. Jangan sampai lo enggak dengerin dia ngomong, nanti lo bakal kena masalah. Pokoknya mata lo tuh harus terus ke arah dia, enggak boleh berpaling sedikit pun.""Apa semenakutkan itu?" Penasaran dengan sosok dosen yang baru saja masuk ke ruangan itu, akhirnya Viola mulai mengarahkan pandangan matanya ke arah depan."Pak Devan …." Sulit rasanya mengucapkan nama itu di tengah keterkejutannya saat ini. Kedua matanya tampak berkedip berulang kali sambil terus mengusap dengan jemarinya. Tentu saja Viola harus memastikan apa pria yang dilihatnya saat ini adalah pria sama yang waktu itu meninggalkannya begitu saja dalam keadaan tak berdaya karena tak bisa melampiaskan hasratnya."Ternyata benar, dia Pak Devan. Ya Tuhan, akhirnya gue bisa ketemu lagi sama dia. Apa ini memang sudah takdir? Takdir jika gue harus minta pertanggungjawabannya karena dulu dia telah merenggut keperawanan gue."Viola terus memperhatikan Devan yang masih tampak sama dengan yang terakhir kali dilihatnya. Sosok yang dingin dan juga tampan. Wajahnya memancarkan karisma yang bisa membuat wanita mana pun akan jatuh hati saat melihatnya.Bersambung ✍️Selamat membaca!Sepanjang mengajar di kelas, Devan masih tak menyadari keberadaan Viola. Pria itu sangat fokus dengan materi yang dibawakannya dan itu sudah menjadi hal biasa bagi gadis yang sampai detik ini masih terus memandangi Devan tanpa teralihkan. Wajah itu sejujurnya sangat ia rindukan. Sering datang ke dalam mimpinya dan masih begitu jelas terlihat di sana."Vi, lo kenapa ngelihatin Pak Devan terus? Jangan bilang lo naksir ya sama dia," celetuk Tari sambil menyenggol siku Viola hingga gadis itu langsung menoleh ke arahnya."Gue emang udah naksir dia dari dulu.""Maksudnya?" Raut wajah Tari terlihat bingung. Masih dengan berbisik, ia bertanya pada Viola yang saat ini juga melihatnya."Jadi, gue itu udah kenal Pak Devan sejak empat tahun yang lalu.""Oh, jadi empat tahun lalu, dia ngajar di kampus lo ya?""Iya, terus ... entah kenapa dua tahun lalu dia itu menghilang gitu aja dari kampus dan sejak itu juga gue udah enggak pernah lagi ngelihat dia.""Oh, begitu ceritanya.""Beg
Selamat membaca!"Vi, lo punya cerita apa soal Pak Devan?" Setelah jauh melangkah, akhirnya Tari menanyakan itu."Kayanya enggak ada salahnya deh gue cerita sama Tari," batin Viola sejenak berpikir sebelum mulai bercerita."Vi, kok malah diem sih. Lo bikin gue penasaran aja tahu. Sebenarnya ada apa sih antara lo sama Pak Devan dulu?"Baru saja Viola ingin menjawab pertanyaan Tari, tiba-tiba suara Devan terdengar lantang dari arah belakang. "Viola, kamu ikut ke ruangan saya!"Viola memutar tubuhnya, melihat Devan yang ternyata sudah beberapa langkah di belakangnya."Ish, Bapak kenapa sih kok ngikutin kita?" Spontan Tari menanyakan itu. Ia merasa aneh karena tidak biasanya sang dosen meninggalkan kelas, padahal waktu mengajarnya belum berakhir."Saya enggak ngikutin kalian, saya hanya ingin Viola mendapatkan hukuman lebih karena tadi dia tidak menyimak materi saya waktu di kelas dan malah ngobrol sama kamu sampai membuat aktivitas mengajar jadi terganggu."Tari diam beberapa saat. Semak
Selamat membaca!Setelah sang rektor pergi, barulah Viola keluar dari tempat persembunyiannya. Gadis itu pun langsung menagih janji pada Devan sesuai dengan apa yang dikatakan sebelum ia bersembunyi."Pak, jangan lupa sama janji Bapak ya!" Viola tersenyum sambil mengangkat kedua alisnya. Menatap Devan yang baru saja menutup pintu ruangan setelah Gunawan keluar."Sebelum saya menepati janji saya, kamu harus tahu dulu sesuatu tentang saya.""Tentang, Bapak? Maksudnya?""Ya, kamu harus tahu alasan kenapa saya ninggalin kamu dua tahun lalu?""Apa itu, Pak?" Viola menautkan kedua alisnya. Menatap tajam wajah Devan seolah menuntut agar pria itu segera menjawab pertanyaannya.Devan menghela napas kasar. Raut wajahnya berubah ragu, seperti tidak yakin untuk bicara. "Saya itu impoten.""Apa, Pak?" Sambil mendekatkan telinganya pada Devan, Viola bertanya. Meminta pria itu mengulangi apa yang baru saja ia katakan."Saya menderita disfungsi ereksi sejak tiga tahun lalu. Makanya, malam itu saya bi
Selamat membaca!Merasa tidak nyaman karena sejak tadi mengenakan kebaya yang tidak pernah sekalipun dikenakannya, Viola bergegas menuju kamar mandi yang ada di sudut kamar itu untuk mandi. Ya, walau setiap ruangan di rumah Devan mengenakan AC, tetap saja Viola masih berkeringat saat akad nikah tadi. Entah karena merasa gugup akan menjadi istri Devan atau karena tidak terbiasa mengenakan kebaya dan itu membuatnya merasa gerah hingga berkeringat. Sambil melangkah, Viola masih terus mengingat momen mendebarkan saat tangannya menggenggam pusaka milik Devan. Sejenak bayangan nakal pun terbesit di benaknya. "Ih, kenapa pikiran gue jadi kotor begini sih? Kenapa juga gue malah bayangin punyanya Pak Devan kalau lagi bangun? Fokus, Vi, fokus ... sekarang itu yang paling penting gue tahu kalau penyakit impoten Pak Devan ternyata masih bisa disembuhkan, buktinya tadi gue ngerasa punya Pak Devan mulai bangun pas gue pegang. Ya, walau mungkin kaya telat respon gitu sih." Viola tampak berpikir. La
Selamat membaca!Setelah selesai berpakaian, Viola melangkah keluar dari kamar dengan perasaan kesal. Sejak tadi ia masih tidak terima karena rasa sakit akibat dijatuhkan oleh Devan masih terasa dari pinggang hingga kakinya."Seenaknya aja Pak Devan jatuhin gue. Dasar dosen killer, kalau gue nggak cinta ama dia, nggak akan mau gue minta dinikahin." Sambil menghentakkan kedua kakinya dengan penuh penekanan, Viola terus melangkah hingga di sisi lorong lainnya."Kenapa lama banget ganti baju aja?" Suara itu seketika membuat Viola menoleh. Tentu saja raut kesal benar-benar ditunjukkan oleh gadis cantik itu, terlebih ia hafal betul dengan siapa pemilik suara yang saat ini memanggilnya."Apa Bapak enggak tahu karena Bapak tadi jatuhin saya, pinggang saya tuh jadi sakit sampai ke kaki?""Saya nggak peduli. Lagian suruh siapa kamu pake pura-pura pingsan.""Dasar nggak punya hati!" Viola merasa sangat geram. Namun, rasa kesal itu hanya bisa ia luapkan di dalam hatinya."Kenapa kamu lama? Saya
Selamat membaca!Setelah makan bersama, semuanya kini berkumpul di ruang keluarga. Di sana, Nilam dan Dina terlihat begitu akrab seperti sudah saling mengenal lama. Sementara Viola, selesai bercengkrama dengan mereka, gadis cantik itu pun kini tengah bersama sang ayah. Ya, Bimo sejak kecil memang sangat memanjakan putri semata wayangnya. Maka itulah, agak berat baginya untuk melepas Viola di usianya yang masih sangat muda. Namun, Bimo punya alasan kenapa ia sampai mengizinkan putrinya menikah muda."Vi, pokoknya kalau suami kamu sampai nyakitin kamu, kamu harus ngomong sama Ayah!"Viola yang tengah menyeruput segelas lemon tea pun dibuat tersedak karena perkataan itu."Ayah tenang aja, ya! Mas Devan nggak akan nyakitin aku kok." Setelah sempat kesulitan bicara karena masih tak percaya dengan apa yang didengarnya, Viola pun coba meyakinkan sang ayah."Ya, pokoknya Ayah nggak mau kalau putri Ayah sampai disakiti sama orang. Kalau itu terjadi, nanti biar Ayah tegur si Devan itu.""Iya, Y
Selamat membaca!"Bangun!" Suara teriakan itu membuat Viola terperanjat. Gadis itu pun seketika duduk. Melihat sosok Devan yang sudah rapi dengan mengenakan pakaian formal. Dan, hanya melihat penampilannya saja Viola sudah tahu jika saat ini ia kesiangan untuk pergi ke kampus."Ya Tuhan, jam berapa ini, Pak?" Sambil mengusap kedua mata, pandangan Viola langsung tertuju pada jam dinding yang ada di sisi kirinya. "Jam 8?" Tanpa berkata apa-apa lagi, Viola bangkit dari posisi duduknya. Bergegas menuju kamar mandi meninggalkan Devan yang hanya melihatnya dengan sinis."10 menit ya! Kalau lebih dari itu, saya akan ninggalin kamu."Tanpa menjawab, Viola pun melengos masuk ke dalam kamar mandi sambil menggerutu kesal, "10 menit, emang mandiin bebek apa ya? Ish, Viola, Viola, kenapa sih kebiasaan banget suka kesiangan?" keluh gadis itu merutuki kebiasannya."Ayo, cepat! Jalanan nanti macet! Seandainya aja nggak ada orang tua kita, saya pasti udah ninggalin kamu." Terdengar suara Devan dari lu
Selamat membaca!Viola yang tahu bahwa ia datang terlambat pun akhirnya tiba di depan kelas. Setidaknya ia masih yakin jika Devan akan mengizinkannya masuk karena mau bagaimanapun mereka berdua sama-sama datang terlambat."Ya ampun, capek banget deh. Betis gue sampe lemes gini." Dengan napas terengah-engah, Viola membuka pintu. "Permisi, Pak!" Pandangannya langsung tertuju pada Devan yang sudah berada di kursinya."Buat apa kamu masuk?" tanya Devan yang baru 5 menit lalu ada di dalam kelas. Pertanyaan itu sangat jauh berbeda dengan apa yang ada di pikirannya. "Emang nggak boleh, Pak?" Viola balik bertanya dengan raut wajahnya yang polos.Sementara itu, Tari yang melihat Viola dalam masalah pun tak bisa berbuat apa-apa. "Kasihan Viola. Lagi-lagi dia bikin Pak Devan marah.""Saya tidak izinkan kamu masuk. Sekarang kamu boleh pergi! Lain kali, kalau mau ikut kelas saya, kamu harus datang tepat waktu.""Tapi, Pak—""Tidak ada tapi-tapian, sekarang kamu keluar karena saya akan segera mula