Selamat membaca!Viola terlihat masih menatap cermin. Memantaskan diri dengan sebuah dress selutut berlengan yang dikenakannya. Tak biasanya, ia berpakaian seperti itu di rumah. Biasanya Viola hanya mengenakan pakaian santai dengan kaos longgar dan celana pendek. Namun, Viola merasa saat ini berbeda, keberadaan Renata mengharuskannya tetap berpenampilan cantik karena tak ingin kalah dengan wanita itu."Ih, sebel banget deh. Walaupun gue udah dandan secantik ini, kenapa juga cewe itu harus lebih cantik sih dari gue?" gerutu Viola. Masih menatap cermin di hadapannya dengan raut kesal.Tak ingin berlama-lama karena takut membuat Devan menunggu, Viola pun keluar dari kamar setelah menyematkan sebuah bando yang menyingkap rambut hitamnya. Tak lupa gadis itu mengambil benda pipih miliknya yang tergeletak di atas meja. Namun, saat ia baru akan membuka pintu, tiba-tiba ponsel miliknya berbunyi. Viola hafal betul jika suara itu adalah notifikasi pesan yang masuk. Sejenak ia menghentikan langkah
Selamat membaca!Begitu Tari keluar rumah, Dian tampak terkejut. Ia tidak menyangka jika ternyata putrinya masih ada di rumah, padahal saat di telepon sewaktu pamit dengannya, Tari mengatakan sudah pergi ke rumah Viola."Kenapa, Bu? Ibu kaget aku masih ada di rumah."Bukan hanya Dian, William yang melihat Tari pun seolah membeku. Pria itu hanya termangu menatap Tari serba salah."Dan, lo Will, lo tuh ngapain sih deket-deket sama Ibu gue? Terus ngapain juga lo sampai harus bohong dan berlaga jadi cowok culun di kampus?" Tari tampak begitu kesal. Menatap tajam William yang terlihat ragu menjawab."Ini tidak seperti yang kamu pikirkan, Tar! Biar Ibu jelas–""Jelasin apa lagi, Bu! Semua udah jelas sekarang! Kalau kalian nggak ada hubungan apa-apa, ngapain juga William sampai nganter Ibu segala malam-malam gini?""Tari, kamu tenang dulu! Kita masuk aja yuk! Nggak enak kalau sampai ada tetangga yang lihat kita ribut di depan rumah." William hendak mendekat. Bermaksud menenangkan sebelum Tar
Selamat membaca!"Tar, harusnya lo dengerin dulu apa yang mau William omongin! Menurut gue sih, nggak mungkin kalau Ibu lo sama William itu pacaran. Mereka itu lebih cocok jadi ibu sama anak tahu."Tari berdecih kesal. Merasa Viola seolah tidak mengerti apa yang ia ceritakan sejak tadi. "Gimana gue mau dengerin dia ngomong? Ngelihat mukanya aja gue jijik, Vi." "Berarti sekarang lo nggak mau pulang? Terus lo mau tinggal di mana?""Tadinya gue mau numpang tinggal sama lo, eh nggak tahunya lo juga lagi ada masalah sama Pak Devan. Sekarang gue bingung deh mau ke mana." Tari menghela napas kasar. Masih menatap lalu-lalang kendaraan yang keluar masuk perumahan Devan.Tiba-tiba di saat mereka baru saja akan melewati portal perumahan, dua penjaga keamanan menghadang dengan berdiri di depan Tari dan Viola, seolah tak mengizinkan keduanya untuk pergi. "Mbak Viola, maaf, Mbak. Pesan dari Pak Devan, Mbak Viola nggak boleh keluar.""Maksudnya, Pak?"Seorang petugas keamanan tersenyum. Coba member
Selamat membaca!Viola membuka surat itu. Mulai membaca barisan kata dari yang paling atas. Membuatnya tahu bahwa surat yang saat ini ia baca adalah surat dari sang ayah."Kenapa Ayah menulis surat untukku? Apa yang sebenarnya ingin dia sampaikan?" Viola semakin penasaran. Melihat surat itu kembali, lalu mulai membacanya lagi.Setelah terus membaca, raut wajah Viola berubah sendu. Kedua netranya kini mulai digenangi air mata. Bulir itu pun perlahan jatuh menetes. Membasahi kedua pipinya. Menggambarkan rasa sakit yang kian terasa di hati."Jadi, Ayah meninggal bukan karena aku ... tapi karena ...." Kalimat itu terucap getir. Lidahnya hampir terasa kelu hingga tak dapat menyelesaikannya. Ia tak bisa membayangkan jika ternyata kenyataan bisa sebegitu menyesakkan untuknya. Viola benar-benar tidak menyangka. Masih sulit menerima semuanya, meski sudah tertulis jelas pada secarik kertas yang masih ada di tangannya."Vi, kenapa lo baca suratnya?" Tiba-tiba suara itu terdengar dari belakang. V
Selamat membaca!Sepanjang proses pemindahan sampai ke ruang rawat, Viola hanya diam tanpa bicara sepatah kata pun pada ibunya. Terlebih kehadiran Irfan–pamannya–adik kandung dari sang ayah semakin membuatnya sulit menahan amarah yang sejak tadi sudah menggebu dalam diri. Siapa yang tak kecewa jika mendapati sang ibu ternyata menjalin kasih dengan pria lain. Lebih mencengangkan lagi, itu dilakukan dengan adik ipar sendiri."Viola, sepertinya kamu sudah tahu apa yang akan Ibu bicara–""Kenapa Ibu tega melakukan itu?" Viola memotong. Sejak tadi pandangannya masih sama. Menatap dengan penuh kebencian pada Dina dan seorang pria yang ada tepat di sebelahnya. Pria yang biasa ia panggil "Om Irfan"."Ibu kamu nggak salah, Vi. Jadi, kamu jangan benci dia! Benci sama Om aja, mau bagaimanapun Om yang salah.""Kalian berdua itu sama-sama kotor! Sama-sama pantas dibenci." Akhirnya Viola meluapkan amarahnya setelah tak ada lagi suster maupun dokter di ruangan itu. Gadis itu semakin tajam menatap ib
Selamat membaca!Keesokan paginya, Viola terbangun dengan rasa kecewa. Sudah sejak semalam ia menunggu Devan. Namun, pria itu tak kunjung datang hingga mau tak mau ia memperbolehkan ibunya untuk menemani di ruang rawat. Meski begitu, Viola tak sekalipun mengajak Dina bicara, bahkan hingga pagi saat wanita paruh baya itu menyapa, Viola masih saja mengacuhkannya."Vi, mau sampai kapan kamu marah sama Ibu? Ibu kan udah minta maaf. Apa kamu nggak mau maafin Ibu?" Dina duduk di sebuah kursi yang berada tepat di samping ranjang. Tempat di mana semalam ia menjaga Viola yang baru terlelap pukul satu malam."Aku lagi nggak mau ngebahas itu, Bu. Tolong jangan nambahin pikiran aku! Lagi pula semalam aku juga nggak nyuruh Ibu ada di sini! Ibu yang maksa masuk, padahal aku udah nyuruh Ibu pulang!"Tanpa mengatakannya, Dina tahu betul jika putrinya pasti sedang punya masalah, terlebih ketidakhadiran Devan di rumah sakit, semakin memperkuat dugaannya itu."Ibu minta maaf, bukan Ibu mau nambahin masa
Selamat membaca!Dina membuka pintu dengan kasar. Pandangannya langsung tertuju pada Devan yang tampak terengah-engah karena berlari dari parkiran mobil."Buat apa kamu ke sini?" Dina tak kuasa menahan amarah. Kedua matanya menatap tajam hingga membuat Devan heran."Saya mau ketemu Viola, Bu. Kata Bi Retno, Viola sakit. Sakit apa ya, Bu?" Devan yang memang belum mengetahui soal postingan Renata pun menjawab seperti biasa. Pria itu tersenyum, bersikap ramah pada mertuanya. Namun, ia merasa aneh karena sikap Dina tak seperti saat terakhir mereka bertemu di pemakaman Bimo."Kamu harus ceraikan Viola dan nggak usah temui dia lagi!"Mendapat jawaban seperti itu, tentu saja Devan sangat terkejut. Ia merasa bingung, kenapa tiba-tiba ibu mertuanya sampai berkata demikian, padahal ia selalu memegang janjinya untuk menjaga rahasia perselingkuhan Dina dari Viola sesuai permintaan sang mertua."Bu, kenapa Ibu marah sama saya? Saya nggak ngasih tahu Viola kok soal rahasia Ibu."Dina sedikit terkej
Selamat membaca!Suasana di ruang rawat tak lagi tegang. Lewat kata-katanya Devan mampu meyakinkan Viola untuk percaya, meski gadis itu tetap dengan pendiriannya bahwa mau bagaimanapun harus ada bukti yang ditunjukkan Devan. Bukti di mana pria itu tidak mengkhianati pernikahan yang sebenarnya baru akan mereka mulai ke jenjang yang lebih serius. Bukan hanya karena perkataan Devan saja. Namun, Viola juga mempertimbangkan sosok Renata yang pernah memanipulasi seolah dirinya menyakiti wanita itu di depan Audrey hingga membuat Devan pun terperdaya saat itu. Dari kejadian itu, Viola bisa berasumsi jika apa yang dilakukan Renata pasti bertujuan untuk menghancurkan rumah tangganya dengan Devan."Terus kapan Pak Devan mau nemuin Renata lagi?" Viola mengunyah makanan setelah Devan menyuapinya makan. Ya, meski ibunya meminta Viola untuk mengusir Devan pergi, tetapi gadis itu tak menggubrisnya. Viola tetap mengizinkan Devan ada di dekatnya, walau terkadang bayangan foto mesra Devan dan Renata seri