Berdamai dengan keadaan. Menundukkan dirinya dari segala permasalahan pelik dalam hidupnya. Menyerahkan segalanya atas nama takdir. Sebagai manusia Bulan hanya mampu berserah, memohon dan menjalani. Bagaimana akhirnya takdir membawanya, semua itu menjadi rahasia dan ia sudah mengikhlaskan semua yang akan terjadi. Entah sekarang atau suatu hari nanti akan seperti apa, dirinya sudah berpasrah pada takdir yang telah digarikan untuknya.
Semakin hari Bulan semakin memperbaiki diri dan perubahannya begitu kentara. Bahkan Alfan, kedua orang tuanya dan mertuanya sedikit heran dengan perubahan yang tiba-tiba, namun juga mereka senang dengan perubahan positif tersebut.
Malam hari sekitar pukul sebelas malam. Bulan masih duduk di ruang tamu bersama dengan kedua orang tuanya. Sementara Rayan sudah tidur di kamar ditemani oleh pengasuhnya.
Tiba-tiba Bulan bersimpuh di kaki ibunya dan meletakkan kepalanya di paha sang ibu sebagai sandaran. Isak tangisnya terdengar pelan dan p
Alfan berlari menyusuri koridor rumah sakit sesaat setelah mendengar kabar dari asiten rumah tangga bahwa istrinya dilarikan ke rumah sakit karena tidak sadarkan diri.Jantung Alfan berpacu dengan begitu cepat. Ia yang saat itu sedang berada di ruang rapat segera pergi tanpa pamit bahkan lupa untuk memberitahukan informasi tersebut kepada ayahnya yang saat itu juga berada di sana.Belum sampai Alfan menanyakan apa-apa, Papi Jacob yang melihat kedatangannya langsung mencengkeram kemejanya dan memberikan tatapan tajam yang menghunus tepat di jantungnya.“Kenapa tidak kamu katakan jika Bulan sedang sakit. Kenapa kamu menyembunyikannya, Alfan?!”Kebingungan jelas tergambar dari wajah Alfan yang memang tidak tahu apa-apa.“Bulan sakit apa?” tanya itu terlontar begitu saja.“Kamu tidak tahu Bulan menyembunyikan penyakitnya? Suami macam apa kamu! Istrimu sakit dan hampir mati tapi kamu tidak mengetahuinya,” kata
Kedua orang tuanya juga mertuanya sedang berada di sebuah rumah sakit khusus kanker. Mereka sedang mencari pengobatan apa pun yang bisa membuat anak, menantu mereka bisa bertahan. Sementara di tempat Bulan dirawat, hanya ada Alfan bersama anaknya beserta pengasuhnya. Balita berusia satu setengah tahun tersebut menatap ibunya dan merengek pelan sambil memainkan tangan ibunya. “Mi—mi,” ucap balita tersebut terbata. Alfan menatapnya dengan berbinar. “Katakan sekali lagi, Nak. Itu mimi. Mimi cepat bangun ya, adek Rayan nungguin lho.” “Mi—mi, Mi—mi—mi.” Balita tersebut berulang kali menyebut ibunya. Walaupun terdengar tidak terlalu jelas dan terbata, namun Bulan pasti merasakannya. “Mimi cepat bangun ya. Adek sama pipi nungguin mimi.” Alfan mendekatkan Rayan ke arah wajah Bulan, tanpa diminta balita tersebut seolah mengerti dan langsung menempelkan bibirnya ke arah wajah pucat tersebut. “Semoga mimi cepat sehat,” lanjutnya lagi diiringi air mata yang ikut
Aku mencoba ikhlas dari suatu kehilangan dan tersenyum dari suatu kesakitan.—Queena Bulan Latief—Siang itu seluruh keluarga berkumpul, termasuk Om Pram, istri dan anaknya. Mereka begitu terkejut saat mengetahui kabar bahwa menantu mereka ada di rumah sakit dan sedang berjuang melawan kematian.Siapa yang akan mengira bahwa perempuan seperti Bulan ternyata selama ini merahasiakan penyakitnya dari semua orang.Semenjak pagi, Rayan terus menangis tanpa sebab. Balita tersebut menolak diberikan apa pun dan hanya merengek manja pada para orang tua, mereka menggendong balita tampan tersebut bergantian.Papa Andre, Papi Jacob telah mendatangi berbagai rumah sakit khusus kanker untuk mengetahui pengobatan apa yang bisa dilakukan. Tapi sayang, semuanya nihil dan tidak ada solusi. Ada salah satu dokter yang menyarankan untuk melakukan operasi, namun dilihat lagi
Sementara di rumah sakit, ruangan inap terlihat ramai dengan ucapan syukur karena akhirnya Bulan membuka mata dan sadar setelah tidur panjangnya. Saat matanya terbuka, pertama kali yang ditanyakan adalah anak dan suaminya. Kebetulan Rayan masih ada di sana waktu ibunya sadar sehingga Bulan mencurahkan banyak kerinduan untuk anaknya. “Mi—mi.” “Iya, ini mimi. Dede Rayan sudah bisa panggil mimi, anak mimi pintar ya.” Walaupun lemah, Bulan memaksakan diri untuk duduk dan menghujani putranya dengan pelukan juga kecupan kerinduan. Bulan menghabiskan sepanjang sore ditemani sang anak. Kemudian perempuan itu meminta pengasuh membawa Rayan pulang ke rumah. Kedua orang tua Bulan dan Alfan ada di sana masih menunggu dan menceritakan banyak waktu-waktu yang telah dilewatkan. Ia mendengarkan seraya memejamkan mata seperti mendengarkan dongeng pengantar tidur yang dibawakan oleh empat orang sekaligus.
Penyesalan tidak dapat mengubah masa lalu, begitu pula kekhawatiran tidak dapat mengubah masa depan. Setiap rangkaian cerita meninggalkan makna arti sebuah kehidupan. —Alfan Fatih Herlambang— Luka-luka di tubuhnya sama sekali tidak terasa sakit. Tubuhnya menjadi pelampiasan dari ayahnya dan ayah mertuanya yang baru datang setelah jenazah hampir dibawa pulang. Belum sempat mereka meratapi duka kehilangan Bulan, kabar tentang kecelakaan yang merenggut nyawa balita tampan kembali mengguncang mereka. Ibu dan anak tersebut meninggal tanpa membawa beban, mereka akan hidup bersama. Sementara Alfan harus meratapi penyesalannya sendirian. Luka-luka di tubuh Alfan yang membiru dan meninggalkan lebam di seluruh tubuhnya tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan duka kehilangan anak dan istrinya. Alfan bahkan turut turun untuk menguburkan jenazah anak dan istrinya yang ditempatkan bersebelahan. Alfan juga meminta satu space kosong di samping
“Aku merindukanmu. Maafkan aku, maafkan aku yang terlambat menyadari semuanya.” Alfan bersimpuh di depan makam yang bertuliskan nama Queena Bulan Latief—istrinya. Air mata tak lagi keluar dari manik matanya, tetapi kepedihan yang dirasakan selama setahun hidup sendiri begitu menyakitkan. Dia hidup sendiri tanpa istri dan anaknya, sementara kedua orang tuanya sendiri masih belum bisa memaafkan. Waktu setahun tak bisa melembutkan hati kedua orang tuanya. Dia paham, ini memang kesalahannya dan dia benar-benar telah menyadari semua itu. Namun sayang penyesalannya benar-benar telah terlambat. Sesaat setelah itu dia menoleh ke makam yang ada di sampingnya, Rayan As Samad Herlambang—putra kecilnya. Dia hanya bisa menciumi nisan tersebut kala rasa rindu menyerbu dadanya. Kepergian anak istrinya bukan hanya meninggalkan duka, tetapi juga sengsara. Dia harus menghadapi semuanya sendirian, tentang mimpi
Kehidupan kadang tak semanis harapan. Semua bisa dibolak-balik dalam waktu singkat dan orang menyebutnya takdir. Setelah melakukan pertemuan dengan klien, mobil yang dikendarai tak langsung pulang. Dia menuju ke suatu tempat. Setelah menunggu beberapa saat, tak lama pintu ruangan berukuran 3x4 itu terbuka dan muncul sosok wanita yang tersenyum ke arahnya. “Apa kabar Mas Alfan?” tanya wanita yang mengenakan seragam orange tersebut. “Tidak lebih baik daripada dirimu, Zahra,” sahut Alfan datar, tatapan matanya begitu tajam. Tak lagi ada keramahan, belas kasih ataupun sentuhan fisik. Dia menghindar saat wanita itu ingin menyentuh tangannya. “Kita sama, Mas. Impas, kan?” ucapnya tanpa rasa bersalah. “Dasar iblis! Wanita macam apa yang tega menyakiti balita yang tak bersalah.” Zahra justru terkekeh. “Jangan katakan itu terdengar m
“Jadi, sang raja ditinggalkan seorang diri?” tanya bocah kecil berusia tujuh tahun, menatap wajah wanita dengan senyum hangat yang baru saja menceritakan sebuah cerita tentang raja dan ratu baik hati. Wanita itu mengangguk. “Ya. Raja harus menerima hukuman karena telah menyakiti banyak orang.” “Tapi bukankah raja itu sudah menyesal, Mom? Bukankah kita harus saling memaafkan dan berbaikan lagi,” sahutnya tak mau kalah. “Memberikan maaf memang perlu, tapi tak semuanya bisa berbaikan lagi seperti sedia kala.” “Why?” “Itu konsekuensi. Ada sebab ada akibat. Jika kamu nakal, pasti dihukum kan? Maka jika tak mau dihukum, kamu harus jadi anak baik.” Kepala bocah kecil itu mengangguk seolah mengerti dengan ucapannya. “Aku anak baik, Mom,” protesnya dengan kesal membuat wanita itu tertawa. “Oh, ya? Coba katakan siapa yang mengerjai Ne