"Aku sudah mengajukan pada rektor agar kau diberi waktu dan itu hanya satu minggu, tapi kau bahkan tak bisa melunasinya."
"Tapi, Mr Mark, jika aku melewatkan ujian ini, aku harus mengulangnya kembali. Tolonglah... aku akan melunasinya minggu depan." Dia memohon dengan sungguh-sungguh.
Hanya menunggu satu minggu lagi. Jika dirinya dinyatakan hamil, Jovanka akan mendapat bagian dari kepala yayasan sebanyak yang dijanjikan di dalam kontrak. Itu uang yang sangat banyak meski klien hanya membayarnya dengan uang muka saja. Dan andai pun dia dinyatakan tidak hamil, Jovanka masih akan mendapatkan uang dari tindakan yang dilakukan padanya. Meski itu tidak terlalu banyak, Jovanka masih bisa melunasi biaya semester dan untuk uang sakunya.
"Mr Mark, Anda mendengarku? tolonglah kali ini," pinta Jovanka sekali lagi, melihat lawan bicaranya yang hanya diam.
"Itu di luar wewenangku, maaf, Nona Jovanka. Jika kau ingin mengikuti ujian ini, maka kau harus segera melunasinya sebelum ujian dimulai."
Tak ada kesempatan Jovanka kali ini, keputusan rektor sudah tak bisa diganggung gugat meski dia terus memohon. Pengaruh ayahnya yang digunakan Queena benar-benar membuat Jovanka tak bisa melakukan apa pun juga. Dia hanya bisa keluar dari ruangan itu dengan pandangan lesu menatap lantai.
Ujian akan dilakukan esok hari dan Jovanka sudah tak memiliki waktu lagi. Bagaimana pun caranya, dia harus mendapatkan uang itu segera meski harus menahan malu meminjam lagi pada Sarah. Dia mencari ponselnya di dalam tas untuk menghubungi sahabatnya, tetapi kemudian gadis itu hanya bisa mengembuskan napas berat.
"Ponselku... di mana itu?" katanya sebelum kemudian mengingat sesuatu.
Jovanka mengusap wajahnya dengan kedua tangan saat mengingat kembali kejadian siang kemarin di depan toko kue. Ya, dia ingat betul saat akan menghubungi ketua yayasan, ponselnya terjatuh dari tangan. Jovanka tidak sempat memikirkan ponsel itu karena perutnya yang sangat sakit.
Tak lantas kehilangan harapan, Jovanka berlari ke kelas untuk mencari Sarah dan berharap gadis itu pasti bisa membantunya. Toh, minggu depan dia akan mendapatkan uang dan bisa membayarkan pinjamannya. Tapi sekali lagi, Jovanka harus menelan kenyataan pahit bahwa Sarah Spencer tidak masuk hari ini.
"Kenapa semuanya menjadi rumit?" Dia hanya bisa menyesali penolakannya saat Sarah menawarkan pinjaman tempo hari.
Andaikan Jovanka menerima tawaran itu, bukankah semuanya tidak akan begini? Setidaknya tunggakan akan terselamatkan, dia bisa ikut ujian dan membayar uang Sarah saat sudah mendapatkan miliknya.
"Kau masih tak tahu malu datang ke kampus ini? Astaga... kenapa kau tak juga sadar diri?"
Queena datang dari arah belakang bersama Adriana. Dua wanita itu tersenyum miring melihat Jovanka yang terduduk dengan wajah senduh.
"Ibu, tolong beri aku pinjaman, kumohon."
Refleks Jovanka berdiri saat melihat ibu tiri dan adiknya. Hanya ini harapan satu-satunya yang bisa Jovanka lakukan, agar bisa mengikuti ujian semester esok pagi. Dia memohon pada ibu tirinya meski tahu hal itu hanya harapan yang sia-sia. Dia pegang tangan Adriana dan menatapnya dengan wajah yang sangat menyedihkan. Tapi kemudian, wanita akhir empat puluhan itu menepis tangan Jovanka dengan kasar.
"Jangan menyentuhku! Menjauh! Kau tak sadar di mana ini? Jika ayahmu tahu apa yang kau lakukan, kau akan mendapat masalah!"
Jovanka segera menjauh mendengar ancaman ibu tirinya dan menggabungkan kedua tangan dengan posisi memohon.
"Ma-maaf. Tapi, Ibu, aku-"
"Jangan memanggilku seperti itu, harus berapa kali kuingatkan?" bentak Adriana tidak senang.
Sekali lagi Jovanka menelan bentakan ibu tirinya, tak peduli dengan tatapan mereka yang penuh rasa jijik memandangnya.
"Bi-bibi," panggil Jovanka, kali ini matanya mulai berkaca-kaca oleh dorongan kesedihan di dalam dada. "Aku... tolong bantu aku kali ini. Aku hanya meminjamnya dan akan kukembalikan begitu aku memiliki uang," ucapnya terbata-bata, menjaga tangisan itu tidak pecah seketika.
Sungguh ini adalah hal yang sangat tak ingin Jovanka lakukan. Dia ingat betul saat masih remaja pernah dipukul habis-habisan oleh Adriana. Saat itu Jovanka memohon agar ibu tirinya berhenti, tapi hanya tawa besar serta pukulan yang lebih banyak lagi yang dia dapatkan. Sejak saat itu, Jovanka bersumpah dirinya dirinya tidak akan pernah memohon pada wanita ini lagi.
Namun, hari ini Jovanka harus melupakan sumpahnya dan berlutut di depan ibu tiri dan adiknya.
"Aku harus mengikuti ujianku, kumohon, Bi, tolong berikan aku pinjaman."
"Pinjaman?" Adriana tertawa merendahkan. "Akan kau bayar dengan apa jika aku memberimu uang sekarang?" katanya memberi tantangan.
Jovanka terdiam sejenak. Dia tak mungkin mengatakan dirinya akan mendapatkan uang minggu depan dan bisa mengembalikan kembali pada ibu tirinya. Itu akan menaruh curiga dan membuat masalah baru yang lebih besar.
"Aku akan melakukan apa pun yang Bibi katakan, jika aku tak mampu mengembalikannya."
"Apa pun katanya?" Adriana melihap Queena dan kembali berkata, "Memangnya, apa yang bisa dia lakukan untuk membayar utang pada kita, Queen?"
"Jangan bermimpi! Bahkan jika kau memberinya nyawamu sebagai imbalannya, kami tidak membutuhkan itu sebab kau memang tidak berguna!" Queena berbicara tepat di depan wajah Jovanka, lantas mendorong gadis itu sehingga terjungkal ke belakang.
"Bagus, Sayang, kau memang pintar. Ayo, kita tak boleh berlama-lama berbicara dengan anak pembawa sial seperti dia."
Ketika kedua orang itu pergi, Jovanka hanya bisa menangisi nasibnya yang sangat buruk. Gadis itu bangun dari lantai dan berlutut di kedua kakinya. Dia hanya bisa melihat kepergian ibu tiri juga adiknya yang sudah semakin jauh. Hatinya dadanya sangat sesak melihat kedua orang itu dengan pakaian mewah sedangkan dirinya untuk membayar biaya kuliah pun harus memohon seperti pengemis.
"Jovanka."
Seseorang memanggilnya dari belakang. Jovanka mengusap air matanya sebelum berbalik melihat pemilik suara. Rasa sesak di dadanya kini bercampur aduk dengan rasa malu saat menyadari pria itu adalah Rich, orang yang menjadi kliennya.
Kenapa Rich selalu muncul di saat Jovanka dalam keadaan yang menyedihkan? Dia sangat malu memikirkan pria itu mungkin menyaksikan dirinya diperlakukan buruk oleh ibu tirinya.
Pria itu melangkah semakin mendekat dan berhenti tepat di depan Jovanka. Tangan kanannya terulur ke depan wajah Jovanka sembari berkata, "Berdiri. Kau tak pantas berlutut meski mereka lebih tinggi derajatnya darimu."
Bersambung.
Halo, kakak pembaca semuanya, terima kasih sudah mengikuti sampai di sini. Semoga kalian semua menyukai tulisanku kali ini.
Rich membawa Jovanka menuju mobil dan menyuruh supir mengantarkannya ke hotel. Sementara Rich dia ingin tahu apa yang dialami gadis itu sampai memohon pada dua wanita tadi."Jangan berani pergi dari hotel tanpa seijinku, kau paham?" perintahnya sebelum mobil itu melaju. Jovanka hanya diam menutup wajahnya dengan kedua tangan, tampaknya dia sangat malu dilihat oleh Rich.Setelah kepergian Jovanka, pria itu menemui biro administrasi kampus untuk mencari tahu tentang Jovanka dan betapa terkejut dia saat mendengar gadis itu tidak diijinkan ikut ujian karena belum membayar tunggakan uang semesternya."Bukankah kalian menerima sumbangan yang sangat besar? Seharusnya itu bisa membantu mahasiswa yang sedang kesulitan, kenapa membuatnya semakin tertekan?" kata Rich geram.Dia adalah penyumbang yang paling tinggi di kampus ini. Laporan yang dia dapatkan mengatakan sumbangan itu digunakan untuk beberapa mahasiswa yang kurang mampu, mendapatkan bantuan keringanan potongan uang semester dan pemban
Pagi itu Jovanka bangun sangat bersemangat dari ranjangnya. Bukan karena ranjang itu sangat empuk dan tak sama dengan kasur tipis yang dia miliki di rumah. Tetapi dia bersemangat karena pagi ini akan mengikuti ujian di kampus.Keberuntungan ternyata tidak meninggalkannya begitu saja, meski Jovanka mengalami kesulitan beberapa hari terakhir. Ponsel yang dia pikir menghilang ternyata ada pada Rich dan pria itu menyerahkannya kemarin, sebelum pergi dari hotel. Tak lama setelah Jovanka mengisi daya, ponselnya berdering dan dia mendapat kabar dirinya diperbolehkan ujian, bahkan dikatakan mendapat beasiswa. Jovanka sangat senang sampai menelepon Sarah di pagi-pagi sekali."Hei, Nona, apa yang terjadi sampai kau bersemangat begini?" Sarah bertanya, ikut tersenyum melihat wajah sahabatnya yang sangat cerah di layar ponsel."Sarah, aku tak tahu bagaimana mengatakannya." Jovanka mengambil jeda beberapa saat sebelum mulai bercerita tentang keberuntungan yang tiba-tiba dia dapatkan. "Ini di luar
Jovanka masih tertegun di dekat pintu kamar hotel, menatap pria yang berdiri di dekat sofa. Pria itu mengeluarkan sebuah benda dari dalam kotaknya, tampaknya itu baru saja dia beli. "Kenapa kau masih di situ? Tutup pintunya, atau seseorang akan membuat masalah."Dia terperanjat setelah mendengar ucapan si pria, lalu menutup pintu segera."Ini. Kau bisa memakainya untuk berkuliah.""Maksudnya... Anda membelikanku laptop itu?"Serius? Dia memberi Jovanka sebuah laptop baru untuk dipakai berkuliah? Jovanka tidak mengerti dengan pikiran pria bernama Rich itu. "Maaf, tapi aku memilikinya di rumah. Kenapa Anda repot-repot membelikannya?""Aku melakukannya untuk keselamatan embrio yang ada di perutmu, jangan banyak bertanya," sahut Rich sebelum gadis itu bertanya kembali."Selesaikan ujianmu segera dan jangan stress. Kau ingat kata dokter? Kesehatanmu juga penting untuk keberhasilan transfer embrio itu." Dia kemudian pergi tanpa melihat ke belakang.Oke. Jovanka tahu dirinya sedang membaw
Sepuluh hari sudah berlalu sejak Jovanka menerima embrio transfer milik pasangan suami istri itu. Setelah mengantarkan jawaban ujiannya ke kampus, dia bergegas menuju Rumah Sakit di mana tindakan itu dilakukan padanya. Hari ini adalah jadwal melakukan pemeriksaan untuk melihat apakah hasilnya sesuai dengan yang diharapkan.Ketua yayasan sudah menghubunginya sejak tadi. Ketika tiba di depan ruang pemeriksaan, dia melihat Rich dan istrinya juga ada di sana. Dia menjadi kikuk kala mendengar perkataan Cataline yang langsung menyemprotnya.“Apa kau tidak bisa lebih konsisten, Nona Jovanka?”“Maaf, Nyonya, aku harus mengurus ujian kuliahku, tolong maafkan aku.” Jovanka setengah membungkuk dan menunjukkan wajah menyesal.“Dan kau pikir kami tidak memiliki kesibukan? Jangan berpikir hanya kami yang membutuhkanmu, kau juga membutuhkan uang dari kami!”“Kate, sudah, sudah.” Rich merasa sungkan oleh ucapan istrinya dan langsung menengahi. “Nona Jovanka, masuklah. Dokter sudah menunggu sejak tad
"Sayang, menurutmu apa jenis anak kita saat lahir nanti? Perempuan atau laki-laki?" "Rich, ini masih sangat lama. Jangan terlalu buru-buru memikirkan itu apa." "Tidak, Kate, kita harus memikirkannya sejak sekarang. Kau tidak memiliki harapan akan memiliki seorang bayi laki-laki atau perempuan?" Rich memutar tubuhnya menghadap Cataline untuk bisa melihat wajah istrinya. Raut bahagia yang dia tunjukkan membuat Cataline merasa tak senang."Entahlah, aku belum memikirkannya," sahut Cataline tak acuh. Sebenarnya, dia senang saja karena berhasil memberi anak untuk Rich. Tapi reaksi suaminya yang sangat bersemangat entah kenapa membuat dia menjadi tak senang. "Astaga, aku bingung ingin berdoa apa sekarang. Apakah aku harus meminta anak laki-laki, agar dia bisa menjaga adiknya kelak?" Sangat bersemangat Rich terus membahas anak yang akan mereka miliki nanti, dia tidak bisa tenang di atas ranjang dan terus membuat gerakan. "Ah aku pasti sudah keterlaluan. Kita sudah berhasil membuat ba
Perkataan Sebastian terus berputar di kepala pria itu, sehingga dia semakin geram. Langkah panjangnya tidak sabaran ingin segera tiba di pintu kamar Jovanka, yang masih berdiri di sana dengan seseorang. "Jovanka Abigail!"Ketika Rich memanggilnya, Jovanka dan pria itu langsung melihat padanya. "Hei... Rich Damian Cullen!" seru pria itu melebarkan kedua tangannya. "Wah! Apakah ini sebuah keberuntungan? Sungguh tak terduga bisa bertemu denganmu tanpa membuat janji."Pria itu adalah Liam Nelson, orang yang pernah mengganggu Cataline di awal pernikahannya dulu. Dan sejujurnya, Rich sangat tidak menyukainya, meski mereka memiliki beberapa kerjasama. Selain pernah mengganggu Cataline, Liam juga sudah terkenal sangat suka bermain-main dengan bergonta-ganti wanita. Mengetahui Jovanka bisa mengenal pria itu, dia menjadi semakin tidak senang. "Jovanka, masuklah."Mendengar nada memerintah Rich pada Jovanka, Liam terkekeh pelan dan berkata pada Jovanka, "Terima kasih, Manis. Mari kita berte
Rich membeku mendengar perkataan istrinya. Hanya karena dia membawa Jovanka ke rumah mereka, lantas istrinya ingin meninggalkan rumah?Baiklah. Rich tahu tak ada istri di mana pun yang mau rumahnya dimasuki perempuan lain, apalagi mereka bahkan tidak mengenal Jovanka. Tapi karena itu pula lah dia ragu membiarkan Jovanka tinggal jauh, sebab mereka tak akan tahu apa yang bisa dilakukan Jovanka pada bayi mereka. "Kate, dengar," kata Rich. Meski istrinya menutup telinga dan tak mau mendengarkan, dia harus tetap berbicara. "Dia bertemu Liam."Cataline yang tadinya dirasuki amarah, tiba-tiba menjadi diam seketika. Matanya membesar mendengar nama yang disebutkan suaminya."Liam? Maksudmu... Liam Nelson?" Akhirnya Cataline bisa menahan emosinya dan sekarang dia justru terlihat tak nyaman. "Ya, dia." Cataline memanggil pelayan dan menyuruhnya mengawasi Jovanka, sementara pasangan suami istri itu pergi berpindah ke lantai atas, untuk membahas pria bernama Liam Nelson."Dari mana gadis itu
Cataline meletakkan kantong belanjaan yang sejak tadi dia bawa. Jovanka tidak berani menduga apa isi dari kantong belanjaan itu, dia hanya menunduk tanpa berani melihat langsung. "Ini vitamin untuk orang hamil, juga beberapa cemilan yang bagus untuk bayi. Pastikan kau makan itu dengan benar agar bayi di perutmu bisa sehat." Dia mengatakannya sebelum pergi. Rasanya tak bisa dia melihat gadis itu lebih lama, sebab setiap kali menatap wajah Jovanka, sangat banyak keraguan di hati Cataline. Apakah nanti bayi itu akan mirip suaminya saja, atau mungkin juga membawa sebagian garis wajah gadis kampungan itu? Memikirkannya saja sudah membuat Cataline merasa muak. Bagaimana jika nanti dia menatap wajah bayi itu? Semakin dia memikirkan bayi yang Jovanka kandung, pikirannya semakin tidak menentu. Apalagi menyaksikan betapa Rich peduli dengan bayi itu, sungguh menguras emosinya. Baru saja Cataline masuk ke dalam kamar, ponselnya berdering. Dia menatap nama Rich di layar memanggil. Sampai pang