Share

11. Jangan Berlutut Pada Manusia

"Aku sudah mengajukan pada rektor agar kau diberi waktu dan itu hanya satu minggu, tapi kau bahkan tak bisa melunasinya." 

"Tapi, Mr Mark, jika aku melewatkan ujian ini, aku harus mengulangnya kembali. Tolonglah... aku akan melunasinya minggu depan." Dia memohon dengan sungguh-sungguh.

Hanya menunggu satu minggu lagi. Jika dirinya dinyatakan hamil, Jovanka akan mendapat bagian dari kepala yayasan sebanyak yang dijanjikan di dalam kontrak. Itu uang yang sangat banyak meski klien hanya membayarnya dengan uang muka saja. Dan andai pun dia dinyatakan tidak hamil, Jovanka masih akan mendapatkan uang dari tindakan yang dilakukan padanya. Meski itu tidak terlalu banyak, Jovanka masih bisa melunasi biaya semester dan untuk uang sakunya.

"Mr Mark, Anda mendengarku? tolonglah kali ini," pinta Jovanka sekali lagi, melihat lawan bicaranya yang hanya diam.

"Itu di luar wewenangku, maaf, Nona Jovanka. Jika kau ingin mengikuti ujian ini, maka kau harus segera melunasinya sebelum ujian dimulai." 

Tak ada kesempatan Jovanka kali ini, keputusan rektor sudah tak bisa diganggung gugat meski dia terus memohon. Pengaruh ayahnya yang digunakan Queena benar-benar membuat Jovanka tak bisa melakukan apa pun juga. Dia hanya bisa keluar dari ruangan itu dengan pandangan lesu menatap lantai.

Ujian akan dilakukan esok hari dan Jovanka sudah tak memiliki waktu lagi. Bagaimana pun caranya, dia harus mendapatkan uang itu segera meski harus menahan malu meminjam lagi pada Sarah. Dia mencari ponselnya di dalam tas untuk menghubungi sahabatnya, tetapi kemudian gadis itu hanya bisa mengembuskan napas berat.

"Ponselku... di mana itu?" katanya sebelum kemudian mengingat sesuatu.

Jovanka mengusap wajahnya dengan kedua tangan saat mengingat kembali kejadian siang kemarin di depan toko kue. Ya, dia ingat betul saat akan menghubungi ketua yayasan, ponselnya terjatuh dari tangan. Jovanka tidak sempat memikirkan ponsel itu karena perutnya yang sangat sakit. 

Tak lantas kehilangan harapan, Jovanka berlari ke kelas untuk mencari Sarah dan berharap gadis itu pasti bisa membantunya. Toh, minggu depan dia akan mendapatkan uang dan bisa membayarkan pinjamannya. Tapi sekali lagi, Jovanka harus menelan kenyataan pahit bahwa Sarah Spencer tidak masuk hari ini.

"Kenapa semuanya menjadi rumit?"  Dia hanya bisa menyesali penolakannya saat Sarah menawarkan pinjaman tempo hari.

Andaikan Jovanka menerima tawaran itu, bukankah semuanya tidak akan begini? Setidaknya tunggakan akan terselamatkan, dia bisa ikut ujian dan membayar uang Sarah saat sudah mendapatkan miliknya.

"Kau masih tak tahu malu datang ke kampus ini? Astaga... kenapa kau tak juga sadar diri?" 

Queena datang dari arah belakang bersama Adriana. Dua wanita itu tersenyum miring melihat Jovanka yang terduduk  dengan wajah senduh.

"Ibu, tolong beri aku pinjaman, kumohon."

Refleks Jovanka berdiri saat melihat ibu tiri dan adiknya. Hanya ini harapan satu-satunya yang bisa Jovanka lakukan, agar bisa mengikuti ujian semester esok pagi. Dia memohon pada ibu tirinya meski tahu hal itu hanya harapan yang sia-sia. Dia pegang tangan Adriana dan menatapnya dengan wajah yang sangat menyedihkan. Tapi kemudian, wanita akhir empat puluhan itu menepis tangan Jovanka dengan kasar.

"Jangan menyentuhku! Menjauh! Kau tak sadar di mana ini? Jika ayahmu tahu apa yang kau lakukan, kau akan mendapat masalah!" 

Jovanka segera menjauh mendengar ancaman ibu tirinya dan menggabungkan kedua tangan dengan posisi memohon.

"Ma-maaf. Tapi, Ibu, aku-"

"Jangan memanggilku seperti itu, harus berapa kali kuingatkan?" bentak Adriana tidak senang.

Sekali lagi Jovanka menelan bentakan ibu tirinya, tak peduli dengan tatapan mereka yang penuh rasa jijik memandangnya.

"Bi-bibi," panggil Jovanka, kali ini matanya mulai berkaca-kaca oleh dorongan kesedihan di dalam dada. "Aku... tolong bantu aku kali ini. Aku hanya meminjamnya dan akan kukembalikan begitu aku memiliki uang," ucapnya terbata-bata, menjaga tangisan itu tidak pecah seketika.

Sungguh ini adalah hal yang sangat tak ingin Jovanka lakukan. Dia ingat betul saat masih remaja pernah dipukul habis-habisan oleh Adriana. Saat itu Jovanka memohon agar ibu tirinya berhenti, tapi hanya tawa besar serta pukulan yang lebih banyak lagi yang dia dapatkan. Sejak saat itu, Jovanka bersumpah dirinya dirinya tidak akan pernah memohon pada wanita ini lagi.

Namun, hari ini Jovanka harus melupakan sumpahnya dan berlutut di depan ibu tiri dan adiknya.

"Aku harus mengikuti ujianku, kumohon, Bi, tolong berikan aku pinjaman."

"Pinjaman?" Adriana tertawa merendahkan. "Akan kau bayar dengan apa jika aku memberimu uang sekarang?" katanya memberi tantangan.

Jovanka terdiam sejenak. Dia tak mungkin mengatakan dirinya akan mendapatkan uang minggu depan dan bisa mengembalikan kembali pada ibu tirinya. Itu akan menaruh curiga dan membuat masalah baru yang lebih besar.

"Aku akan melakukan apa pun yang Bibi katakan, jika aku tak mampu mengembalikannya."

"Apa pun katanya?" Adriana melihap Queena dan kembali berkata, "Memangnya, apa yang bisa dia lakukan untuk membayar utang pada kita, Queen?"

"Jangan bermimpi! Bahkan jika kau memberinya nyawamu sebagai imbalannya, kami tidak membutuhkan itu sebab kau memang tidak berguna!" Queena berbicara tepat di depan wajah Jovanka, lantas mendorong gadis itu sehingga terjungkal ke belakang.

"Bagus, Sayang, kau memang pintar. Ayo, kita tak boleh berlama-lama berbicara dengan anak pembawa sial seperti dia." 

Ketika kedua orang itu pergi, Jovanka hanya bisa menangisi nasibnya yang sangat buruk. Gadis itu bangun dari lantai dan berlutut di kedua kakinya. Dia hanya bisa melihat kepergian ibu tiri juga adiknya yang sudah semakin jauh. Hatinya dadanya sangat sesak melihat kedua orang itu dengan pakaian mewah sedangkan dirinya untuk membayar biaya kuliah pun harus memohon seperti pengemis.

"Jovanka."

Seseorang memanggilnya dari belakang. Jovanka mengusap air matanya sebelum berbalik melihat pemilik suara. Rasa sesak di dadanya kini bercampur aduk dengan rasa malu saat menyadari pria itu adalah Rich, orang yang menjadi kliennya. 

Kenapa Rich selalu muncul di saat Jovanka dalam keadaan yang menyedihkan? Dia sangat malu memikirkan pria itu mungkin menyaksikan dirinya diperlakukan buruk oleh ibu tirinya.

Pria itu melangkah semakin mendekat dan berhenti tepat di depan Jovanka. Tangan kanannya terulur ke depan wajah Jovanka sembari berkata, "Berdiri. Kau tak pantas berlutut meski mereka lebih tinggi derajatnya darimu."

Bersambung.

Halo, kakak pembaca semuanya, terima kasih sudah mengikuti sampai di sini. Semoga kalian semua menyukai tulisanku kali ini.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status