Jovanka tengah duduk balkon kamar sembari mengamati taman bunganya. Tidak. Maksudnya, itu adalah taman bunga di vila milik Rich, yang belakangan ini menjadi tempat kesukaannya. Bunga-bunga yang dulu dia bongkar kini mulai terlihat tumbuh subur dan indah dipandang dari atas vila.Ponselnya berdering tiba-tiba, menarik perhatian Jovanka dari bunga-bunga itu. Dia beralih pada meja kecil di tengah balkon untuk melihat siapa yang meneleponnya."Tuan Rich? Kenapa dia meneleponku?" tanya Jovanka, ketika membaca nama pemanggil yang muncul di ponselnya.Meski sedikit ragu, Jovanka meletakkan ponsel itu di telinganya dan langsung mendengar suara Rich di ujung sana."Jovanka, aku akan pulang sekarang, kau menginginkan sesuatu?"Tentu saja pertanyaan itu membuat Jovanka terkejut. Ada apa ini? Kenapa dia bertanya keinginan Jovanka tiba-tiba? Dia terdiam beberapa saat.Wajar dia menjadi bingung bukan? Bisa saja ternyata Rich berpikir Jovanka menginginkan sesuatu yang berharga, seperti perhiasan tem
"Nona, makan lah meski hanya sedikit." Sudah berulang kali pelayan mendatanginya ke ruang tengah, menyarankan agar Jovanka mengisi perutnya. Tapi gadis itu selalu menggeleng, matanya terus mengarah pada pintu masuk berharap Rich akan datang dari sana. Kendrick yang melihatnya pun menjadi tak tega, namun tak tahu akan melakukan apa sekarang. "Anda di mana, Tuan Rich? kenapa lama sekali?" kata pria itu berbicara sendiri. "Nona, ini sudah terlalu malam. Anda bisa masuk angin jika tidak mengisi perut. Makan lah sedikit." Pelayan itu kembali mengingatkan, tapi Jovanka justru menatap Ken yang bersandar di dekat tangga. "Dia belum ada kabar?" Ken tak tega membuka mulutnya dan hanya menggeleng. "Kalau begitu, kita harus mencarinya." Jovanka berdiri dan bersiap pergi, sementara Ken mengejar gadis itu. "Nona, tenang lah. Mungkin tuan akan kembali sebentar lagi, Anda tak boleh pergi." "Tapi ini sudah tengah malam, sampai kapan aku akan menunggu?" Jovanka menatap tajam pria itu. Ken se
"Di mana? Kau dipukuli di bagian mana lagi? Mereka ramai? Mereka memukulmu sangat banyak?" Hingga mereka memasuki vila, Jovanka terus menanyakan letak luka Rich, bahkan dia berusaha membuka jas yang Rich kenakan untuk memastikan. "Jovanka...." Rich menahan tangan gadis itu tapi Jovanka menepisnya kasar."Kau terluka. Diam lah dan jangan banyak bergerak!" peringat Jovanka keras. Dengan patuh, Rich membiarkan Jovanka membuka jas dan kemejanya untuk memastikan di mana saja luka yang didapatkan. Kemudian dia bernapas lega ketika tak menemukan ada memar di tubuh pria itu. "Baguslah, kau hanya terluka di tanganmu. Astaga, kenapa Ken lama sekali membawa obatnya?" ucapnya lagi, sedikit kesal. Pelayan datang dengan kotak P3K di tangannya, segera Jovanka sambar seperti orang yang tidak sabaran. Dia dengan sigap mengeluarkan alkohol untuk membersihkan luka di tangan Rich sebelum memberinya salep dan betadine. Ini kali pertama Rich mendapat penanganan luka dari seorang gadis, bahkan Catal
Pertanyaan yang membuat Ken shock, dia sampai menganga oleh ucapan tuannya. "Apa yang Anda katakan, Tuan? Bagaimana pun bayi itu milik Anda, apakah Anda tega membunuhnya?" Dia menatap Rich tajam dan kembali berkata, "Tidak. Aku mengenal Anda cukup lama. Meski Anda kejam dalam berbisnis, tapi Anda tak mungkin melakukan hal sehina itu!" Hina. Benar... Rich adalah manusia hina jika tega membunuh janinnya sendiri. Apalagi jika alasannya karena Cataline sudah mengandung. Ponselnya berdering. Rich mengeluarkan ponsel itu dari saku jas dan melihat nama Cataline di sana. Dia terdiam sejenak sebelum mengangkat panggilan istrinya. "Ya, Kate?" "Rich, kau di mana? Kenapa kau pergi saat aku tertidur? Kau tidak mungkin pergi menemui Jovanka, kan?" cecar Cataline segera. Lihat? Bahkan belum satu hari sejak Cataline dinyatakan mengandung, dia sudah kembali mengekang Rich seperti sebelumnya. Bagaimana Rich bisa mempertahankan janin di perut Jovanka? "Rich, katakan sesuatu dan jangan hanya dia
Malam itu Rich mendatangi kamar Jovanka untuk membahas perihal pernikahan yang direncanakan, tapi sampai beberapa menit dia di sana, mulutnya tak juga mengatakan sesuatu. Jovanka yang tak paham akan kedatangannya pun menjadi bingung, entah apa maksud kedatangan pria itu. Dia terus melihat Rich yang berdiri di dekat pintu.Jovanka bergeser kikuk, melirik pintu di belakang Rich yang sudah tertutup. Entah lah... ada rasa khawatir dirasaya berada di satu ruangan tertutup dengan Rich."Maaf, bukannya Anda baru saja berkelahi dengan banyak penjahat? Seharusnya Anda sangat lelah dan waktunya beristirahat."Kata-kata Jovanka seperti tengah mengejek, tapi Rich tak memiliki gairah untuk tertawa sekarang. Pikirannya terlalu berat untuk sekedar tersenyum."Jovanka, kau berkata memiliki rumah dan keluarga, di mana mereka?"Akhirnya pria itu membuka mulut, tapi pertanyaannya sangat tidak diduga.'Untuk apa dia ingin tahu tentangku?'"Bukannya kita sudah sepakat untuk tidak ikut campur masalah prib
Rich terus mengisap bibir gadis itu di dalam mulutnya. Kemarahan oleh penolakan Jovanka tak disangka akan membuat Rich berlaku sejauh ini, bahkan menikmati ciuman rakusnya terhadap Jovanka. Rich tak bisa berpikir jernih, ingin dia menghentikan aksinya tapi tak kuasa dilakukan. Bibir Jovanka terasa begitu manis dan ingin dia rasakan lebih lama.Ciuman rakus yang tadinya begitu rakus perlahan melembut, membuat Rich semakin hanyut oleh nikmat dari bibir seorang Jovanka. Tangannya yang melilit erat di pinggang Jovanka pun perlahan menjalar lembut di punggung gadis itu. Manis... sungguh bibir gadis itu sangat manis sampai membuat Rich terhanyut bersama amarahnya yang perlahan sirna.Kesempatan itu tak disia-siakan oleh Jovanka. Saat Rich tak lagi memeluk pinggangnya erat seperti tadi, dia mendorong Rich menjauh. Jovanka mundur... matanya nanar menatap Rich yang terdiam di dekat sofa."Kau... ba-ji-ngan," bisik Jovanka, menyeka bekas bibir Rich dari miliknya.Bagaimana tidak dia mengumpat
Wajah Jovanka semakin panas dia rasakan. Jika bisa melihat sendiri wajah itu, dia yakin sudah seperti kepiting rebus sekarang. Tangannya yang berdarah tak lagi dia pedulikan, Jovanka fokus meyakinkan Ken, bahwa dirinya sama sekali tidak mau berciuman dengan Rich."Dengar, aku tidak menyukai tuanmu, dia memaksa menciumku sampai aku sangat marah. Kau tidak lihat? Aku hampir bunuh diri karena sangat malu melihatnya." Dia tunjukkan pergelangan tangannya pada pria asisten itu.Rich lah yang memaksa tanpa aba-aba. Jika semua benda yang ada di kamar itu bisa melihat dan berbicara, mereka pasti bersaksi untuk Jovanka. Tapi sialnya, penjelasan Jovanka justru membuat bibir Ken sedikit tertarik ke samping. Dia tersenyum? Ya, Jovanka yakin pria itu tengah menahan senyumnya."Tuan Ken, dengarkan. Tuanmu sudah gila berkata kami akan segera menikah, aku menolak dan merobek kertas yang dia tawarkan padaku. Tapi karena itu dia menjadi marah, dia menciumku tanpa meminta persetujuan. Apakah itu disebut
"Aku tidak akan memaksa sampai kau mempertimbangkan nasib anakku. Tapi jika terus berkeras kepala, maaf, Jovanka, aku akan tetap menikahimu meski dengan memaksa."Saat Jovanka sibuk oleh pikirannya, Rich mengatakan kalimat itu dan pergi berlalu. Dia tak menunggu tanggapan apa yang akan Jovanka tunjukkan. Gadis itu termenung, mengulang-ulang kalimat Rich di kepalanya sampai tak sadar Rich sudah menghilang dari pandangan."A-apa itu? Kenapa... harus aku?" Jovanka mengejar Rich ke lantai satu, ingin meluruskan perkataan pria itu sebelum semuanya semakin runyam. Tapi terlambat, Rich sudah pergi dengan mobilnya meninggalkan halaman vila. Jovanka mematung, matanya menatap lurus gerbang vila yang kembali tertutup."Nona Jovanka, Anda sudah baikan?"Ken datang dari sisi lain, mempertanyakan tentang luka tadi malam. Gadis itu mengangguk pertanda tangannya baik-baik saja."Syukurlah. Kalau begitu, aku permisi.""Tunggu," cegah Jovanka, menghentikan pria itu yang akan masuk."Ya, Nona, ada yang