Sementara Herdian sedang dalam perjalanan ke Rumah Sakit. Di sebuah ruko dua lantai, Kemala sedang bersiap untuk istirahat. Namun ia tak juga dapat memejamkan kedua matanya. Padahal tubuh lelahnya seakan tak kuasa untuk segera melepas penat. “Kak Kemala belum tidur?” tanya Vita, ia sengaja mengintip Kemala dari sela-sela pintu kamar Kemala yang tidak tertutup rapat “Ehh–Vita. Emm ... sebenarnya lagi bersiap tidur tapi susah sekali mataku terpejam.” Kemala bangun lalu duduk di tepi ranjang menghadap ke arah Vita. Gadis itu melangkah masuk ke dalam kamar Kemala. Kemudian berjalan ke arah ranjang bayi yang berada di samping ranjang Kemala. Ia tersenyum gemas melihat Dylan yang tertidur pulas. “Vita buatkan susu hangat ya, Kak. Mungkin Kak Kemala akan lebih rileks lalu bisa segera istirahat,” tawar Vita. Melihat Kemala mengangguk, ia pun melangkah keluar ruangan menuju ke arah dapur. Hanya selang beberapa menit, Vita datang kembali ke kamar Kemala. Ada segelas susu hangat di tangann
Tangan berjari lentik itu menghentikan Tangan Bram yang masih berusaha memasangkan kalung berliontin hati di lehernya. Pria itu pun mengurungkan niatnya. Ia menggenggam kalung tersebut. Kemudian menatap Kemala, seolah-olah ia berbicara melalui matanya. “Sebaiknya, kamu simpan saja benda itu. Saya tidak bermaksud membuatmu kecewa, Tttapi ....” Kemala menghindari kontak mata dengan pria di hadapannya. “Seharusnya saya sadar diri. Maaf, Kemala!” Bram tersenyum masam, “Tapi–semua yang saya lakukan untukmu dan Dylan, tulus.” Bram masih menggenggam kalung di tangannya. “Saya tahu, hanya saja ada sebuah alasan yang tidak dapat saya katakan.” Kemala semakin tertunduk malu. Bramantyo tidak lagi mengatakan apapun. Ia pun turut menundukkan pandangannya. Ada jejak kekecewaan pada wajahnya. Namun berusaha ia sembunyikan dari Kemala. Setelah menolak pemberian Bram, Kemala membuka pintu. Secara tidak langsung ia mempersilahkan Bram agar segera pergi. Meskipun tak ada kata yang keluar dari mul
Kemala membuka pintu, lalu tersenyum pada wanita itu. Dengan ramah ia mempersilahkan masuk. Pelanggan wanita itu juga membalas senyum Kemala. Ia melangkah menuju ke depan meja kasir. “Selamat datang! Mau pesan apa, Bu?” Kemala kembali tersenyum. “Saya ingin membuat pesanan untuk acara keluarga pekan depan.” Wanita itu menyodorkan secarik kertas berisi daftar pesanan yang telah ia buat pada Kemala. “Baik. Kami akan menyiapkan pesanan anda sesuai waktu yang telah ditentukan. Terima kasih.” Kemala membuat jadwal pada kalender dan menempelkan daftar pesanan di tempat khusus. Setelah pelanggan wanita itu pergi, ia kembali mendekati pria yang tadi berbicara serius padanya. Bukan untuk melanjutkan pembicaraan mereka, tapi Kemala bermaksud mengusirnya. Ia tidak ingin terjadi kesalahpahaman atas situasi tersebut. “Mas, aku sibuk. Tolong segera pergi dari sini!” Wajah cantik Kemala tidak lagi terlihat ramah. “Aku masih ingin berbicara banyak denganmu,” kata pria itu, menarik tangan K
“Bagaimana perjalanannya, Bu?” tanya Kemala, ia menyambut kedatangan Yana. Tidak disangka, wanita itu memalingkan muka. Bahkan ia tidak menerima uluran tangan Kemala yang ingin mencium punggung tangannya. Senyumnya hanya ia tujukan pada putra kesayangannya. Sementara pria itu memberi isyarat agar Kemala membawa masuk barang bawaan ibunya. Ingin mengeluh tapi tak bisa, itulah yang dirasakan Kemala saat ini. Wanita itu pun membawa masuk koper dan sebuah tas dengan tangannya yang lemah. Jalannya terseok-seok karena menahan beban yang lebih berat dari badan ringkihnya. Setelah meletakkan barang-barang Yana di kamar, ia merasakan tangannya yang agak kebas. Ia menghirup napas panjang untuk membuat tubuhnya segar kembali. Belum hilang rasa lelahnya, Herdian berteriak memanggilnya. “Ada apa, Mas?” Kemala menghampiri suaminya. “Apa makanannya sudah siap?” Bukannya menjawab, pria itu malah balas bertanya. “Makanan? Emm ... maksudnya untuk ibu–“ Kemala tergagap. Suami tak tau diri i
Setelah selesai memasak, Kemala menyajikannya di atas meja makan. Kemudian ia mempersilahkan Yana untuk sarapan seperti biasa. Meskipun ia telah diberitahu bahwa mereka tidak ingin makan makanan rumah, Kemala yakin kalau mereka tetep akan makan makanan yang ia buat. Apalgi waktu telah menunjukkan pukul 10 pagi. Biasanya Yana meminta disiapakan sarapan pukul 8 pagi. Mungkin Kemala perlu berpura-pura ada urusan di rumah ayahnya. Agar ibu mertuanya tidak merasa malu jika ingin makan makanan buatannya. Seperti rencananya, Kemala pun pergi ke rumah ayahnya setelah berpamitan pada Yana. Kebetulan jaraknya tidak jauh. Wanita berparas cantik itu mengayunkan langkah demi langkah sambil sesekali menyapa tetangga yang berpapasan dengannya. “Mau ke mana, Mala?” Seorang wanita tua menyapanya. “Ke rumah ayah, Bu Siti.” Kemala tersenyum sambil menganggukkan kepala. “Ayahmu sepertinya sedang tidak sehat, sejak semalam ia mengeluh kalau kepalanya agak pusing.” Wanita yang merupakan tetangga Har
“Kuharap ibu tidak benar-benar marah,” ujar Herdian, “Aku pun menepati janjiku untuk membeli makanan sesuai pesanan ibu.” Herdian Menyajikan makanan di atas meja makan yang sudah ia bersihkan sebelumnya. “Ini baru yang namanya makan,” gumam Yana, ia mulai mencicipi makanannya. Wanita itu menyantap makanan yang ia inginkan. Kali ini ia menikmati makan siang keduanya dengan lahap. Melihat Yana yang sedang makan dengan wajah bahagia, Herdian tersenyum. Ia merasa lega karena dapat menuruti permintaan ibunya meskipun bukan ia yang membelinya. Semua makanan itu dibeli oleh Mirna. Beberapa barang seperti pakaian juga ia terima dari gadis kaya pilihan ibunya. Herdian mulai tergiur dengan kemewahan yang ditawarkan Mirna. Gadis itu pun berjanji untuk mengusulkan pada ibunya agar Herdian dapat bekerja di perusahaan keluarganya. Tentu semua itu berkat kisah mengharukan yang diceritakan oleh Yana pada Mirna tentang kehidupan Herdian. Yana sengaja mengarang cerita yang dapat menyentuh hati M
Sementara Kemala sibuk merawat ayahnya, Herdian memanfaatkan kesempatan tersebut untuk lebih gencar mendekati Mirna. Bahkan ia berhasil meyakinkan Mayang untuk memberi lampu hijau pada hubungan mereka. Ternyata rencana berjalan dengan mulus, ia tidak hanya mendapat restu untuk menjalin hubungan dengan Mirna. Namun ia juga diminta bergabung dengan perusahaan serta mendapatkan fasilitas berupa tempat tinggal dan kendaraan. “Apakah sebaiknya aku jujur pada Kemala tentang pekerjaan dan fasilitas yang kudapatkan, Bu?” Herdian mulai gamang, ia merasa ragu apakah langkah ini tepat untuk hidupnya. “Herdi, kamu sudah terlanjur masuk dalam rencana ini. Jangan merusak semuanya hanya karena Kemala. Toh, nanti dia juga yang enak kalau kamu sukses.” Yana menyerang sisi lemah Herdian. Wanita itu tahu betul cara meneguhkan kembali tekad putranya. Kemala bukan hanya istri tetapi juga kekuatan sekaligus kelemahan Herdian. Oleh sebab itu, dia pun menggunakan Kemala agar Herdian meneguhkan kembali n
Beberapa kali Vita memanggil nama Kemala dari luar ruang produksi. Namun Kemala tidak menyahut, padahal suaranya cukup keras. Sementara pelanggannya menunggu kue pesanan yang seharusnya telah siap diambil. Vita mencoba mengulur waktu dengan menyambutnya dengan baik. Ia tidak ingin membuat pelanggan tersebut kecewa.“Bu, mungkin pesanan ibu sedang dikemas. Untuk mengisi waktu sembari menunggu, silahkan nikmati espresso latte dan soufle kacang yang kami buat khusus untuk hari ini!” Vita sengaja tersenyum lebar.“Terima kasih, saya harap pesanan segera siap. Saya tidak punya banyak waktu lagi, acara akan segera dimulai.” Air muka wanita tua itu agak kesal.Vita masih berusaha tersenyum. Dalam hatinya ia berharap Kemala segera membawa keluar pesanan wanita tua itu. Gadis itu belum pernah melihat Kemala seperti ini sebelumnya. Biasanya wanita itu selalu menyelesaikannya tepat waktu.Langkah kaki mungilnya t