Niela mengangkat wajahnya sedikit mendongak. Menatap sorot mata Kindly dan menebak dari raut wajahnya. Jantungnya berdegup keras seolah rahasianya baru saja terbongkar. Raut wajah sang suami begitu tenang, Niela punya firasat bagus kalau suaminya juga tak ambil peduli pada berita tentang Alika. Setidaknya Niela berharap begitu.Tersenyum tampan, Kindly mengecup ujung hidung istrinya lalu berucap "Kau seperti melihat hantu saja." "Kau tahu kakaknya Alika kemari? Itu aku lupa namanya--""Kana." Kindly menyela cepat. Dia berucap tanpa menyimpan beban dan itu cukup jelas membuktikan bahwa dia tahu semua yang terjadi.Niela masih diam bingung. Sedikit merasa senang sebab sang suami tidak menampakan keberatan sama sekali. "Jadi kau juga tahu kalau Alika..." Ada jeda. Kata-katanya nyaris tertahan di tenggorokan. "Hamil?" Lanjutnya.Tak ada perubahan besar dari ekspresi Kindly. Dia hanya menatap hangat Niela dengan gaya kerennya. "Aku tidak terlalu percaya pada Kana. Dia wanita licik." Sahut
Beberapa hari ini kesibukan di kantor menjadi-jadi. Waktu Kindly banyak tersita. Istri manisnya sering datang membawa makanan atau menjemput bila sudah lewat jam 7 malam. Aktifitas mirip terjadi hampir setiap hari. Jarang bercerita lama meski dalam suatu ruangan. Terkadang, Niela mendekat hanya untuk beri pijatan dan menawarkan bantuan semampunya. Kindly lebih banyak bermuka serius, bukan berarti marah atau sejenisnya. Waktu khusus berdua sedikit sekali. Poin lebihnya, mereka menghargai setiap waktu yang terlewat. Bagai kelegaan setelah sukses melakukan pekerjaan besar. "Jadi kau tak bisa ikut?" Tali rantai tas salempang Niela bergemerincing ketika di angkat ke bahu. Berjalan pelan ke meja Kindly sambil membaca sesuatu dari layar ponsel. Kindly membenarkan kacamata, membalik dokumen. "Kuusahakan bisa. Kau pergilah lebih dulu, nanti aku menyusul." "Mama sedang menuju ke sana. Katanya dia ingin acara makan malam ini beranggota lengkap." Niela memasukkan ponsel ke tasnya setelah mem
Orang-orang di dalam cafe mulai berkurang, tidak seramai saat mereka tiba. Kindly meremas kertas dalam genggamannya. Sesuatu menguap panas dalam dada, entah marah pada Lili atau kesal Harell bisa mendapat informasi melebihinya."Dari mana kau tahu ini?"Harell menghisap rokoknya seperti menelan beban. Membiarkan asap membentuk awan di sekitar mereka seolah itu adalah cara melepaskan masalah terampuh."Kedua opsimu bekerja. Kebetulan dan sengaja setelah tahu setengah."Rahang Kindly mengeras. Mata tajamnya bagai mata pisau menghunus Harell menembus tulang belakang. "Lebih jelas!""Aku dapat kiriman. Seseorang menerorku dengan fakta-fakta membingungkan. Lili atau seva, apa pun nama aslinya. Aku tidak mengenalnya, tidak ada hubungannya denganku meskipun berulang kali mengingat masa lalu yang mungkin kulupakan. Sampai akhirnya nama istrimu ikutan muncul pada teror berikutnya. Tentu saja aku tak bisa diam, dan mencoba mencari tahu, dan hasilnya adalah yang kau baca itu.""Kenapa harus pada
Toilet resto berbintang memiliki bentuk dan kebersihan ternyaman. Tak ada bau pesing atau coret-coretan di dinding. Lampu bersinar terang, membuat kulit tampak putih bersih saat terpapar. Berlama-lama sambil menambal make up pun tak masalah. Kualitas perlengkapan alat-alatnya sebanding dengan kantong orang berkelas. Cermin pun sering jadi sasaran tempat berpose depan kamera. Berbeda jauh dengan rumah makan kecil-kecilan yang sering Niela kunjungi, bahkan justru ada yang tidak menyediakannya. Wanita itu melihat jelas bagaimana perubahan hidupnya yang naik ke atas melompati banyak tangga sekaligus. Keluarga Kindly punya kekayaan sebanyak itu.Air dinyalakan, mencuci tangan yang sebenarnya tidak kotor. Niela mendesah berat, menunduk menatap titik air di watafel yang baru selesai digunakan. Pandangannya kosong, melamun. Sebenarnya dia tidak memiliki kepentingan ke toilet, hanya ingin menjauh saja. Nafsu makannya hilang sebagian.Mengetahui Kindly keluar kantor entah ke mana, membuatnya b
Mereka tidak memilih ruang privat, melainkan meja yang berjejer rapi di area luas. Masih dalam restoran yang sama. Kindly bicara berdua dengan Saira, sementara Niela kembali ke meja dimana orangtua mereka berada."Aku tidak menyangka akan bertemu denganmu di sini malam ini. Aku memang berencana menemuimu, tapi belum sempat karena baru tiba kemarin sore." Saira bercelatuk bebas di depan Kindly. Kentara sekali sudah terbiasa hingga tak mau repot-repot bertingkah anggun."Yah, aku juga hampir lupa tentangmu. Kau terlalu lama menghilang.""Karena ayahku. Kau mengenalnya kan? Dia lelaki yang ketat aturan."Kindly mengangguk tertawa pelan. "Aku ingat dia pernah memelototiku karena terlambat mengantarmu pulang.""Dan ibu mengejarmu untuk minta maaf."Tawa mereka beradu. Hubungan mereka tidak diragukan lagi. Meski lama berpisah, namun kehangatan dan kenyamanan itu tidak surut. Rasanya senang ketika mengingat momen masa remajamu bersama orang terdekat. Hal buruk pun akan terdengar lucu dan sed
Perjalanan pulang begitu hening. Wanita bermata kosong di samping kemudi lebih tertarik pada hamparan luar kaca mobil. Kindly tidak bodoh untuk mengetahui isi pikiran istrinya. Dia membiarkan sejenak. Tangannya ingin menyetel lagu namun lupa caranya bergerak karena tidak ingin memperburuk suasana."Dia teman semasa sekolahku. Kami dekat--""Aku tahu." Sela Niela cepat, tak ingin mendengar penjelasan lebih rinci lagi. "Mama sudah cerita saat kau asik mengobrol dengannya."Ini bukan sesuatu yang perlu dikejutkan lagi. Justru aneh kalau wanita itu merespon biasa saja. "Hmn, dia bukan sainganmu dan sudah punya calon suami. Dia bilang ingin memiliki hubungan yang baik denganmu." Kindly melirik sekilas wajah datar itu. "Katanya ingin berteman denganmu.""Kak Harell juga bukan sainganmu, tapi kau memukulnya waktu itu."Kindly tergugu. Kata-katanya gagal terucap. Perasaannya berubah was-was sekarang. Menentang dengan alasan apa pun akan terdengar konyol saat ini.Niela menoleh, masih dengan w
"Drama apa lagi yang kau buat?" Suara berat Kindly menghentikan Niela yang hendak menaiki tangga.Niela menarik nafas jengah menghadapi pertanyaan konyol dari suaminya. Sudah jelas dia pingsan kelelahan dalam kondisi hamil muda. Dan itu sama sekali bukan akting. Lagi pula dokter mana yang mengijinkan pasien sehat menginap di rumah sakit? Kindly bahkan tak mau menjenguk atau menjemput... Ah lupakan."Aku baru keluar rumah sakit Kin, aku malas berdebat."Niela tahu penjelasan serinci apa pun tidak akan merubah pola pikir suaminya. Kindly selalu berpandangan buruk pada Niela. Jadi apapun yang Niela lakukan tetap akan salah dan selalu salah di mata Kindly.Kindly berdiri dari sofa lalu berjalan perlahan mendekati Niela. Cara memandang mata coklat itu sungguh di benci Niela. Sangat meremehkan seolah melihat sampah."Kau pikir aku percaya? Kau pikir aku akan mengasihanimu?" Ucapnya dengan wajah dingin yang selalu saja melekat padanya.Niela hanya mampu menatap datar tanpa bersuara. Dia suda
"NIELA!" Sebuah suara teriakan menghentikan pergerakan Niela.Salah 1 kaki yang sempat naik pun kembali turun ke lantai. Tubuh kurus itu bergetar tak terkendali, akibat dari kombinasi hati kacau dan udara dingin yang menyapu kulit."Berhenti di sana!"Niela menoleh mendapati Kindly berteriak dari seberang sana. 'Ah mereka sudah selesai rupanya'. Entah definisi apa yang menggambarkan ekspresi wajah sang suami, apakah khawatir atau marah? Niela sulit membedakan. Apakah lelaki itu berteriak karena tak mau kehilangan atau ada alasan lain yang bisa membunuh batin Niela lebih kejam dari pada ini? Niela penasaran apa yang akan dilakukan pria itu."Jangan lakukan apapun, tunggu aku di sana!" Perintah Kindly kemudian berlari meninggalkan Alika yang tampak ikut shok. Gadis itu hanya mematung saling tukar pandang dengan Niela. Jujur saja dia merasa tidak enak sebab Niela sudah berstatus sebagai istri sah Kindly. Tapi dia juga tidak rela melepas hubungan mereka begitu saja. Alika bingung harus