"Ana, kamu berdarah? Astagfirullah, lihat itu, teras mesjid juga ada banyak darah. Pasti itu darahmu, yang berceceran!"
Aku yang hendak keluar dari halaman mesjid, sontak kaget mendengar teriakan Bu Halimah memanggilku.
Runguku yang menangkap suara Bu Halimah, memerintah netra ini menatap lantai berkeramik biru tersebut. Benar saja, mulai dari arah toilet mesjid sampai ke teras pintu masuk ke dalam mesjid, ada banyak darah yang berceceran di lantai berwarna biru itu. Siapa lagi sang pemilik darah kalau bukan diriku. Pasalnya, hanya aku satu-satunya orang yang baru saja keluar dari toilet tersebut.
Kini netraku tertuju pada kedua kakiku yang telah berlumuran darah. Bahkan daster lusuh yang kukenakan tak luput terkena nodanya. "Kenapa aku bisa tak merasakannya?" Gumamku.
"Ana, kamu kan baru lahiran. Kenapa kamu yang angkat air? Mana Rio, suamimu? Kamu sepertinya pendarahan ini?" Tanya Bu Halimah. Yang langsung membrondongku dengan beberapa pertanyaan sekaligus.
"Ma-maaf, Bu," ucapku tergagu malu. "Saya bersihkan yah, Bu," ucapku lagi.
Ah ... Aku benci tatapan orang yang mengasihani diriku. Minggu lalu saja, tetanggaku yang keturunan Tionghoa memprotes diriku yang telah berjualan kembali. 'Hei! sial nanti lu. Belum sebulan, sudah kerja!' dan aku hanya menanggapi nya dengan senyuman. Lagian aku kan bukan keturunan Tionghoa seperti dia. Jadi aku tak perlu ambil pusing dengan ucapannya. Yang aku tau, wanita yang baru melahirkan memang tak boleh terlalu lelah. Tapi keadaan perekonomian rumah tangga kami yang serba kekurangan, mengharuskan aku ikut turun tangan juga untuk mencari nafkah apapun keadaanku.
Suara motor terdengar memasuki area parkir yang tak jauh dari tempat aku dan Bu Halimah berdiri. Tentu saja suara motor itu mengalihkan pembicaraan kami.
"Bay! Bayu. Sini sebentar." Bu Halimah setengah berteriak memanggil pria tersebut.
Aku berniat meninggalkan Bu Halimah karena beliau, pasti mempunyai urusan dengan pria tersebut. Namun, sepertinya Bu Halimah menyadari niatku. Dengan cepat tangan gempal Bu Halimah sudah menangkap lengan kananku yang mengunci langkahku." Tunggu sebentar," Ucap Bu Halimah dengan nada setengah berbisik.
Aku mengikuti arah pandangan mata Bu Halimah, yang tengah memperhatikan pria tersebut memarkirkan motornya. Pria itu memakirkan motor maticnya di samping tiga motor yang sudah terparkir disana. Setelah ia berhasil memarkirkan motor matic berwarna biru dan putih itu. Pria bernama Bayu pun gegas menghampiri kami.
"Iya, Bu. Ada apa?" tanya Bayu sesampainya di tempat kami berdiri.
" Gini ,Bay. Saya mau minta tolong sama kamu," ucapan Bu Halimah terhenti saat melirikku. "Bantuin Ibu ini, angkat air kerumahnya, yah? Disitu kok rumahnya." Bu Halimah pun menunjuk arah rumahku, yang berada di sebrang kiri mesjid ini. "Kasian Ibu ini lagi pendarahan, gak boleh angkat berat-berat dulu." Aku sontak kaget dengan ucapan Bu Halimah. Aku pikir dia ada urusan lain dengan pria tersebut. Tapi Bu Halimah memanggilnya untuk membantuku.
"Eh, tidak usah, Bu. Saya kan juga harus membersihkan darah-darah itu dulu. Nanti saya angkat sendiri," ujarku menolak saran Bu Halimah. Bukan tampa alasan aku menolaknya. Aku malu di lihat orang lain dalam keadaan berdarah begini. Apalagi di hadapan seorang pria.
Aku benar-benar ceroboh kali ini. Kenapa aku lupa dengan keadaanku yang baru saja melahirkan. Seharusnya tadi aku suruh saja Iqbal, anak keduaku yang mengambil air dengan botol. Hanya karna lapar dan haus, aku tak mampu berfikir jernih.
Saat jam telah menunjukan pukul 10 pagi rasa laparku tak bisa di ajak bekerja sama. Apalagi, saat ini aku memiliki bayi yang sedang ASI. Sementara suamiku tak kunjung juga pulang, setelah ia pamit bekerja kemarin pagi.
Sadar karena tak ada apapun yang bisa aku makan, bahkan tak memiliki uang sepeserpun. Aku berniat menyeduh teh, untuk sekedar menghangatkan perut sambil menunggu Bang Rio pulang. Na'as air bersih di rumah pun habis. Begitu juga air minum yang ada di dalam ceret. Karena itu lah, aku dengan santai menenteng dua ember untuk mengambil air di mesjid ini.
Sudah setahun ini, aku memanfaatkan fasilitas air bersih yang tersedia di toilet mesjid. Karena Sumur di rumahku, sudah setahun belakangan tak layak lagi dipakai untuk memasak.
"Sudah kamu pulang saja sama, Mas ini. Biar lantainya saya bersihkan. Lagian kamu kan baru lahiran, kenapa angkat-angkat berat? Mana Rio? Dia gak ada di rumah atau emang gak mau bantuin kamu? Seandainya tidak ada orang pun di rumah. Kamu kan bisa suruh anak-anakmu ambil pakai botol seperti biasa. Mesjid ini insyaallah masih tetap disini, gak akan pindah." tutur Bu Halimah.
"Jangan, Bu. Itu darah saya. Jadi biarkan saya saja yang bersihkan. Jangan, Ibu," jawabku tegas menolak .
"Sudah kamu nurut saja. Nanti kalau ada apa-apa saya juga yang disalahkan orang-orang. Lagian dengan keadaan kamu yang pendarahan seperti ini, itu lantai bukannya bersih yang ada tambah kotor. Sudah tambah kotor, kamu juga bakal pingsan disitu karena pendarahan. Kamu jangan anggap sepele sama pendarahan buat wanita yang baru melahirkan, Ana! Pasti sekarang badanmu terasa gak enakkan? Kepalamu pusing kan? Kamu pulang lah dulu, istirahat. Nanti sehabis saya bersihkan ini, saya mampir kerumahmu." ujar Bu Halimah menceramahiku panjang.
"Bayu, saya minta tolong, yah. Kasian ibu ini," pinta Bu Halimah mengulang permintaannya, sambil menatap aku dan Bayu bergantian.
"Baik, Bu. Permisi," ucap Pria jangkung tersebut pada Bu Halimah. "Ayo, Bu. Saya antar" ajak pria itu padaku.
Mau tak mau aku menurut saran Bu Halimah. Perkataan beliau membuatku takut. Bagaimana nasib ketiga anakku nanti, bila hal buruk menimpaku. Mana bisa suamiku itu kuandalkan untuk mengurus buah cinta kami.
Aku telah memiliki dua putra dan dua minggu yang lalu aku baru saja melahirkan anak ketiga. Seorang anak perempuan yang cantik. Aku pikir setelah kami memiliki seorang anak perempuan. Rumah tanggaku yang tak sehat ini akan berubah menjadi lebih baik. Ternyata sama saja, tak ada perubahan pada suamiku. Aku tetap menjalani hidupku layaknya seorang janda beranak empat. Dimana suamiku lah yang menjadi anak pertamaku. Karena bertingkah layaknya bayi kolot yang semuanya serba aku yang harus mengurus.
Kebanyakan wanita mungkin takut akan momen melahirkan, tapi tidak denganku. Yang paling kutakutkan adalah momen setelah bayiku lahir. Aku pernah bertingkah aneh saat pertama kali melahirkan. Hal yang paling fatal yang pernah kulakukan adalah menyiram tubuh yoga, anak pertamaku dengan bensin. Entah setan apa yang berbisik di runguku, untuk membakar tubuh kecilnya. Beruntung almarhumah ibu mertuaku datang sebelum korek api tersebut berhasil kunyalakan. Jadi Yoga masih selamat dari kegilaanku. Saat aku sadar dengan perbuatanku, aku hanya bisa menangis sejadinya menyesali kekejamanku terhadapnya. Malang benar Yoga, mendapati ibu yang kejam seperti aku.
"Terimakasih yah bang," ucapku pada Bayu. Ia mengangkat dua ember berisi air sampai ke dapur.
"Iya, Bu sama-sama," Balas Bayu sambil memakai sandalnya.
Aku menangkap sosok suamiku yang berjalan pulang. Perasaan senang dan kesal bercampur membuat emosi yang tak dapat kupahami.
"Diana Widuri," teriak suamiku sesampainya di depan rumah "Dasar wanita murahan. Sudah tak sabar rupanya kau untuk mantap-mantap. Ditinggal suami bekerja, kau malah bersenang-senang dengan pria lain di rumahku!"
Plak!
Belum lagi sempat aku berbicara. Sebuah tamparan yang pedas mendarat di pipiku yang cengkung ini. Pria yang bernama Bayu melongo menatap Bang Rio yang tak sungkan menamparku di hadapannya.
Tubuhku yang melawan rasa sakit sedari tadi. Kini tak bisa diajak bersabar lagi akibat tamparan yang di hadiahkan Bang Rio padaku. Tanganku berusaha mengurut keningku yang telah bermahkota bulir peluh. Agar rasa pusing yang menghantam kepala ini, sudi berkurang. Namun, tak ada hasil. Aku malah berhalusinasi. Aku seakan memiliki banyak kepala dan setiap kepala yang kumiliki menangkap satu suara gaduh yang ada di hadapanku. Salah satunya, suara gaduh saat Bang Rio hendak menghajar Bayu. Beruntung Bu Halimah datang tepat pada waktunya. Adanya Bu Halimah di sini menggagalkan niat Bang Rio yang hendak memukul Bayu. Aku ingin melangkah, tapi kaki ini seperti kaki meja yang tak bisa bergerak. Aku semakin tak bisa fokus dengan apa yang terjadi. Disusul dengan penglihatan yang semakin menggelap.
Terdengar sayup suara berisik memasuki setengah alam sadarku yang tengah bermimpi. Bersamaan tubuhku yang terasa berguncang pelan. Saat netra ini terbuka, tertangkap Iqbal, anak keduaku tengah menangis menatapku. Inginku tertawa melihat wajah jeleknya saat ini. Wajah Iqbal basah karena air mata dan keringat yang bercampur. Bahkan di atas bibirnya ada cairan kental berwarna bening yang turun dari hidung mancungnya. Namun, urung kulakukan. Sebab selain tangis Iqbal yang mengusik tidurku, ada bayi perempuan yang ikut menagis. Entah sudah berapa lama, bayi merah yang ada di dekatku ini menangis seperti itu. Suara tangisnya yang biasa melengking, terdengar serak sekarang. Bahkan wajah cantiknya yang biasanya putih kemerah-merahan, kini berwarna biru. Kuraih alas tidur bayiku yang berwana merah muda itu. Sekarang ia sudah berada dalam dekapku. Suara tangisnya pun seketika lenyap. Ketika ia berhasil mengisap sumber makanannya yang ada pada tu
Sudah hampir satu jam aku terjaga karena menyusui bayiku. Bolak-balik mengganti saluran TV , tak kutemukan juga siaran yang menarik. Bosan hanya mencari tayangan, aku memilih mematikan TV. Seketika suasana malam ini kembali hening. Suamiku masih belum tampak juga batang hidungnya, padahal aku sangat membutuhkan kehadirannya saat ini. Terdengar seseorang membuka pintu masuk rumahku, ku harap semoga itu Bang Rio yang pulang. "Anaaa!" Syukurlah ternyata memang suamiku yang pulang. Bang Rio berteriak lantang, memanggilku dari arah dapur. Crack! Bang Rio menendang keras pintu kamar kami yang tak terkunci. Kali ini suara pintu yang menghantam diding kamar, berhasil membangunkan ketiga anakku. Bayi yang ada dalam pangkuanku langsung menangis, karena terkejut. Begitu pula dengan Yoga dan Iqbal, mereka terbangun dalam
Sesuai perkataan suamiku, Bang Rio menepati janjinya membawa aku dan Yoga berobat. Bang Rio membawa kami berobat di Puskesmas, yang jaraknya bisa kami tempuh lima menit saja dengan menggunakan angkot. Seakan dunia sedang baik padaku, saat sesampainya di puskesmas pun Bang Rio dengan siaga mendampingi aku dan Yoga untuk di periksa secara bergantian. Kurang dari tiga puluh menit, aku dan Yoga sudah selesai dan menerima obat. Mungkin karena kami datang terlalu pagi jadi antrian tak terlalu ramai. Bang Rio juga sempat menawariku untuk melanjutkan berbelanja, tapi dengan tegas aku menolak. Tubuhku yang belum terlalu fit, membuat aku sangat merindukan tempat tidur. Saat asik bercanda dengan dua anak lelakiku di halte yang tak jauh dari puskesmas, tempat kami menunggu angkot pulang.Tampa sengaja aku melihat seorang wanita muda, tengah tersenyum manis me
Sesampainya di rumah, aku menyuruh Yoga membawa Iqbal bermain di luar. Karena aku yakin sebentar lagi Bang Rio akan menyusulku yang sudah pulang duluan dan siap menghajarku. Benar saja, tak lama setelah aku selesai menidurkan anak perempuanku. Bang Rio pulang, dengan wajah seketat celana dalam baru."Dek! Apa kau sudah gila? Tega kau permalukan Abang dan diamuk massa sama orang-orang yang ada di sana!" Bang Rio langsung menyemburku. Sangkin emosinya ia padaku, aku sampai bisa mendengar suara geletukan giginya yang saling beradu."Aku gilak dan tega, Bang? lalu, Abang dan wanita tadi apa?" Bentakku tak kalah emosi."Yah, tapi gak perlu juga kau bilang kami asangan selingkuh disana!""Kalau kalian bukan pasangan selingkuh, jadi kalian itu apa, Bang? Pasangan mesum? Yang bebas bercerita hal yang tak senonoh di depan umum. Aku ini istrimu, Bang! Apa Abang tidak bisa menjaga perasaanku sedikit saja, Bang?
"Na, Keleng pulang sama cewek!" ujar kak Yanti dengan wajah terkejut. "Bapak ..., " teriak Iqbal dengan nada girang. "Mana ibu?" Tanya Bang Rio dengan nada ketus. Penasaran dengan wanita yang di bawa pulang suamiku. Aku bergegas keluar kamar untuk menemuinya. "Ada apa Bang?" jawabku. "Sekarang juga, Keluar kau dari rumah ini! Ini rumahku! Kenapa aku pula yang harus terusir dari rumah ini?" Tanpa basa-basi Bang Rio membentak dan mengusirku. Iqbal yang tadinya girang akan kepulangan ayahnya berlari ketakutan memeluk diriku. Tak lama seorang w
"Ana tau Rio sudah menikah?" tanya Pak salim padaku. Ketegangan dalam ruang tamuku saat ini sangatlah terasa. Aku saat ini tak jauh sama seperti mereka. Sama-sama terkejut mendengar pengakuan suamiku yang telah menikah lagi. "Tidak Pak," jawabku singkat. Mendengar jawabanku, Pak Salim Menggeleng-gelengkan kepalanya sembari menatap suamiku yang duduk mesra dengan Beby. Mungkin bila orang yang tak mengenal kami. Orang-orang akan bilang, mereka adalah sepasang suami istri. Sementara aku orang lain yang tak ada hubungan apapun dengan mereka. "Rio, dalam hukum negara maupun hukum agama kita. Syarat pertama untuk menikah lagi adalah meminta izin atau restu dari istri pertama. It
Hai Reader's. Pertama-tama saat ingin mengucapkan terimakasih untuk kalian yang sudah membaca tulisan saya yang recehan ini. Berhubung ini cerita pertama saya, jadi tulisan saya masih terlalu kaku. Jadi karena itu saya sedikit stuck untuk mengupdate cerita selanjutnya. Sebelum saya lanjut mengupdate cerita, izinkan saya merevisi sedikit beberapa Bab agar lebih santai dan enak untuk dibaca. Jadi saya mohon maaf atas ketidak nyamananya. .•♫•♬•𝙸𝚖𝚊𝚐𝚒𝙽𝚊𝚝𝚒𝚘𝚗 •♬•♫•. Hai Reader's. Pertama-tama saat ingin mengucapkan terimakasih untuk kalian yang sudah membaca tulisan saya yang recehan ini. Berhubung ini cerita pertama saya, jadi tulisan saya masih terlalu kaku. Jadi karena itu saya sedikit stuck untuk mengupdate cerita selanjutnya. Sebelum saya lanjut mengupdate cerita, izinkan saya merevisi sedikit beberapa Bab agar lebih santai dan enak untuk dibaca. Jadi
"Hei pelakor ...! Bisa diem gak sih? " Kami yang berada di ruang tamu, tersentak kaget mendengar bentakan dari Kak Yanti. Ini untuk kedua kalinya Ia keluar dari kamarku dengan posisi sama, marah. sambil menggendong Rina yang tengah menangis. Kak Yanti pun menghampiriku dan menyerahkan Rina padaku untuk ditenangkan. Mungkin Kak Yanti sedikit panik dengan tangis Rina yang susah ia redakan. "Eh, Mbak! Tolong dong, sopan sedikit kalau bicara." ucap kak Yanti sambil berkacak pinggang. "Belum jadi istri sah Si Keleng kan? Masih cuman sebatas pelakor kan? Daerah sini, orangnya pada bar-bar loh, Mbak terhadap pelakor. Mbak mau saya panggil orang-orang sini sama ketua RT, buat ngeramein Mbak? Belum sah aja belagu!" "Pak, Buk. Tegur dong, tuh. Mereka belum sah udah n