Madeline begitu ketakutan hingga wajahnya menjadi pucat. Ia ingin lari, tapi ia sudah terjebak.Jeremy mencubit pipinya dan memaksanya untuk menatap pria itu.Madeline berulang kali menggelengkan kepalanya sambil terus meronta. "Tidak! Jeremy, jangan sentuh aku! Lepaskan aku!”“Kau sangat senang saat Daniel menciummu, tapi sekarang kau sangat enggan saat aku menyentuhmu?”Melihat tatapan bertentangan dan melawan Madeline, wajah Jeremy muram sementara matanya sangat dingin, sedingin es.“Madeline, lihat baik-baik. Aku suamimu." Suara Jeremy yang dalam dan menggoda terdengar di samping telinga Madeline. Detik berikutnya, ia merasakan Jeremy menggigit bahunya.“Aku tidak menginginkan ini, Jeremy!”Ia tahu apa yang akan Jeremy lakukan padanya, dan itu membuatnya sangat takut hingga semua tulangnya gemetar.Namun, pria itu seolah-olah sudah kerasukan. Jeremy merobek semua kain yang melekat di tubuhnya, helai demi helai, sebelum akhirnya melahapnya dengan kejam.Madeline tertidur dengan kepa
Ia tidak tahu di mana ia berada. Ketika membuka matanya, ia melihat Meredith berdiri menjulang tinggi di atasnya sambil menatapnya dengan jijik.“Kau sudah bangun? Kupikir kau sudah mati. Akan sangat membosankan jika benar begitu.”Meredith mengejek sembari perlahan berjongkok. Dia kemudian meraih wajah Madeline.Menatap wajah yang cacat namun masih terlihat cantik itu, Meredith sangat cemburu hingga kebencian mulai memenuhi matanya.“Madeline, aku meremehkanmu. Bahkan di saat seperti ini, kau masih bisa merayu laki-laki!” Dia meraih luka Madeline yang baru saja mulai sembuh. “Bagaimana kau merayu Jeremy? Dengan matamu yang menyedihkan?”Madeline akhirnya mengerti apa yang terjadi setelah mendengar apa yang dikatakan Meredith.Meredith tahu tentang Jeremy yang menghabiskan malam bersamanya. Ditambah lagi, Meredith bahkan bisa membayangkan adegan saat mereka bergumul di ranjang.Ia mencibir dan tertawa terbahak-bahak. Ia tertawa sinis dan pada saat yang bersamaan, ia mengeluarkan tawa p
Akibat efek obat bius tersebut, Madeline tidak tahu berapa lama ia tidak sadarkan diri.Ketika akhirnya sadar, ia merasakan lengannya kebas. Kemudian, ia merasakan sakit yang menyengat di matanya.Perlahan ia membuka matanya dan menyadari kalau penglihatannya kabur. Bahkan hampir gelap gulita.Apakah ini mimpi buruk?Ketika ingat apa yang dikatakan Meredith sebelum membuatnya pingsan, Madeline segera duduk dan mengabaikan lukanya. Ia meraba-raba lantai dengan panik dalam kegelapan.Foto…Foto putrinya!Madeline mulai mencari dalam kegelapan. Namun, ia tidak melihat apa pun atau merasakan apa pun.Ia mengeluarkan ponselnya dari sakunya dan menekan layar dengan cepat. Namun, layarnya tidak mau menyala. Apakah baterainya habis?Saat merenungkan itu, ia merasakan sesuatu yang terasa seperti kartu dengan ujung jarinya. Ia yakin itu adalah foto yang dilemparkan Meredith padanya sebelum dirinya pingsan.Madeline mengambilnya dengan perasaan senang. Ia meletakkan foto itu di depan matanya teta
Setelah meninggalkan kantor polisi, seulas senyum muncul di wajah Madeline.Ia akhirnya bisa menghukum Meredith atas kejahatan yang sudah dia lakukan.Jika polisi bisa menemukan darah Brittany di anting-anting itu, Meredith tidak akan bisa membela diri lagi.Madeline menunggu kabar terbaru dari polisi, namun ia masih tidak mendapatkan apa-apa setelah dua hari berlalu.Ia tak sabar menunggu lebih lama lagi, jadi ia kembali ke kantor polisi. Namun, ia bertemu Meredith dan Jeremy di pintu masuk kantor polisi.Madeline tak bisa melihat dengan jelas siapa mereka dari kejauhan. Ia memegang payung sambil berdiri di tengah hujan. Ia hanya bisa mendengar suara Meredith dari jarak satu mil.“Jeremy, kenapa Madeline tidak berhenti menggangguku? Apakah dia hanya akan bahagia jika aku mati?” Setelah Meredith mengatakan ini, tiba-tiba dia melihat Madeline. Suaranya terdengar terkejut. "Maddie?”Madeline mencoba membuka kedua matanya, lalu samar-samar ia melihat wajah Meredith semakin mendekatinya.“
Hujan semakin deras mengguyur Madeline yang masih berlutut di lantai yang basah. Tangannya meraba-raba mencari payungnya dengan panik.Mobil-mobil melewatinya dan berulang kali memercikkan air ke tubuhnya. Namun, ia masih tak bisa menemukan payungnya.Jeremy sudah hampir menyalakan mobilnya, namun dia tak bisa menahan dirinya untuk tidak melihat ke kaca spion.Meredith menyadari hal ini dan segera mengalihkan perhatian Jeremy. "Ayo pergi, Jeremy. Kita harus membawa Jack untuk memeriksakan wajahnya.”Jeremy menoleh. “Jangan khawatir, tidak akan ada bekas luka di wajah Jack.”“Aku tidak mengira Maddie akan membenciku sejauh ini. Aku juga tidak menyangka ayahku akan menyuruh orang untuk menyayat wajah Maddie hanya untuk membalaskan dendamku dan Jack," kata Meredith tanpa rasa bersalah.“Jeremy, kau tidak akan menyalahkan ayahku, ‘kan?”“Dasar bodoh, buat apa aku menyalahkan ayahmu?" Jeremy tersenyum.Jeremy menoleh lagi ke kaca spion. Dia melihat Madeline berdiri setelah berhasil menemuka
Wajah Jeremy makin dingin. “Madeline, aku memintamu untuk menandatangani surat cerai itu”“Aku tidak akan melakukannya." akhirnya Madeline menjawab, dan anehnya, nada bicaranya terdengar tenang.Jeremy menatap Madeline yang duduk di depannya dengan dingin dan tidak bergerak sementara matanya tertuju ke tempat lain. Gadis itu tidak pernah menatap matanya. Jeremy merasakan amarah memuncak di dadanya. "Madeline, jangan coba-coba menantang kesabaranku. Kau tahu apa konsekuensinya.”Ketika ia dihadapkan dengan ancaman dan peringatan Jeremy, wajah Madeline sama sekali tidak menunjukkan rasa takut. Sebaliknya, ia tersenyum.“Jeremy, aku katakan untuk terakhir kalinya. Aku tidak akan menandatangani surat cerai itu. Kalau kau ingin menikahi Meredith, silakan. Tunggu saja, aku akan menuntutmu dengan pasal poligami.”“Madeline Crawford!” Jeremy benar-benar murka. “Aku juga memintamu untuk yang terakhir kalinya. Kamu mau tanda tangan atau tidak?”“Tidak!” Madeline berkata dengan tegas.Wajah Jerem
Setelah mendengar Jeremy mengatakan itu, Madeline merasakan sebuah kehangatan di punggung tangannya.Jeremy memegang tangannya dengan erat dan memaksanya untuk menuliskan namanya 'Madeline Crawford' di halaman terakhir.Itu benar namanya namun dalam tulisan tangan Jeremy. Setelah selesai menulis, Jeremy mengayunkan tangan Madeline ke samping dan menarik kertas-kertas itu. Dia menatap nama gadis itu di atas kertas dan merasakan kegelisahan di hatinya. Tidak hanya dia tidak merasa lega, tetapi dia juga merasakan beban berat yang tidak normal menekannya.Dia menunduk dan menatap Madeline yang masih tertelungkup di lantai. Wajah gadis itu pucat dan di kedua pelupuk matanya air mata telah menggenang. Selain itu, terdapat juga darah di bibirnya seolah-olah dia telah menggigit bibirnya terlalu keras. Dia tampak babak belur dan menyedihkan.Jeremy mengerutkan kening. “Madeline, apa kau punya permintaan?”“$500.000,” kata Madeline tanpa ragu-ragu.Setelah mendengar itu, Jeremy mencemooh dengan
Jeremy mencengkeram kemudi lebih erat lagi. Dia mulai curiga apakah matanya sudah tidak berfungsi. Namun, jelas bahwa mata Madeline-lah yang tidak berfungsi.Gadis itu buta.Dia benar-benar buta.Dia tidak bercanda sebelumnya ketika kesulitan menandatangani surat cerai. Kebutaannya nyata.Namun, dia baik-baik saja sebelumnya. Mengapa sekarang dia jadi buta?Jeremy melihat Madeline merangkak di trotoar, sedang mencari sesuatu sambil menangis. Dia merasa sulit bernafas dan bahkan merasa seperti akan mati tercekik. Salju semakin lebat dan bahkan hujan pun mulai turun. Orang-orang di sekitar gadis itu mulai pergi, membuat jalanan menjadi kosong. Namun, Madeline masih mencari-cari sesuatu.Ia menangis. Ia sangat gelisah, seperti anak kecil yang kehilangan mainan favorit mereka.Jeremy keluar dari mobil dengan perasaan putus asa. Perlahan dia berjalan ke arah Madeline, langkah-langkahnya terasa sangat beratNamun, gadis itu tidak memperhatikan kehadiran atau keberadaannya. Tubuh kurusnya ma