Share

Pertengkaran Hati
Pertengkaran Hati
Penulis: Eel ardian

Chapter 1

Terjebak cinta terlarang Pak Bos

"Maaf, Pak minta tanda tangan nya di sini."

"Sik... Sini yang mana, An?"

"Ini, Pak."

Aku segera menyodorkan tumpukan kertas setinggi 3cm.

"Wih borongan sampeyan, An? ngasih sing akkeeeh tenan."

"Iya, Pak... Itu kan rincian detail satu bulan ini."

"Wis lah nanti tak tanda tangani An, oya nanti kamu ke bank ngga? Itu dana yang diajuin kemarin udah dikirim loh, An."

"Iya, Pak. Nanti saya ke bank sama supir sekitar jam 10, oya sekalian Pak, ini tolong tanda tangan buat ceknya ya, Pak... Buat ke bank." sambil menyodorkan satu lembar cek.

"Nih, An. Udah."

Pak Hari menyodorkan selembar cek dengan senyum yang merekah.

"Makasih, Pak."

"Njih... An." 

***

Aku segera berjalan menuju mobil di parkiran, pasti Mas Budi menunggu di mobil pikirku, karena memang seperti itulah biasanya, tetapi tidak biasanya dia tidak memberitahuku lewat pesan singkat, Mas Budi adalah supir di kantor ini, aku biasa pergi kemana mana dengannya, aku panggil Mas, karena memang orang-orang di kantor memanggilnya dengan sebutan itu, mungkin karena dia masih single dan muda.

"Ayo, Mas jalan."

Aku langsung duduk dan memasang safety belt tanpa melihat kearah kursi kemudi.

"Iya, baik Buk finance."

Suara itu kenapa seperti suara...?? Yak ampun apa aku salah naik mobil nih, aduh mati aku, rasa takut langsung menelusup ke rongga hati dan jantung hingga paru-paru.

Aku segera menoleh dan terkejut setelah sadar sosok di kemudi adalah Pak Hari bukanlah Mas Budi.

Dengan gugup aku memberanikan diri berbicara walaupun terbata.

"Ee..ee Pak Hari, ma..af Pak sepertinya saya salah naik mobil."

"Siapa bilang kamu salah naik mobil, bener kok, ya tapi memang supirmu hari ini ya Saya."

"Loh kok Bapak? Kemana Mas Budi nya?, Pak?"

"Dia lagi anter Pak Taufik ke Lapangan, dan kebetulan saya ada urusan di bank hari ini, jadi ngga ada salahnya dong saya bareng kamu."

"Oh iya Pak, makasih ya Pak, jadi ngga enak saya disupirin sama bos."

"Biasa aja, An, jangan guguplah sama saya, saya ini ngga makan orang kok, masih makan nasi sama kayak kamu" Pak Hari terkekeh sambil menghidupkan mobil dan memulai perjalanan.

"Oya, An. Apa kamu selalu duduk didepan kalau lagi sama Budi?"

Aku terkejut mendengar pertanyaan Pak Hari dan reflek menggigit bibirku sendiri.

"I...iya, Pak, saya memang selalu duduk didepan, karena saya fikir buat apa duduk di belakang toh kami ini masih karyawan semua dan saya bukanlah bos besar yang harus duduk manis dibelakang."

"Ooo... Ngono toh, Buk, saya sih rela aja Buk kalau nyupirin kamu setiap hari gini, mau kemana aja saya anterin." Pak Hari tersenyum sambil menoleh ke arahku.

Deeeeg hati ku langsung kayak dibolak-balik, ngga nyangka nih si Pak Hari yang terkenal kiler kalau di lapangan bisa bercanda sengeri ini, apa ngga ngeri tuh aku jadi kikuk mau jawab apa.

"Oya, masa si, Pak?"

"Iya, Buk finance saya serius."

Kami mengobrol banyak diperjalanan, dan aku mulai terbiasa dengan candaan yang diberikan Pak Hari, ternyata Pak Hari ini sangat lah lucu, sangatlah berbeda dengan gayanya kalau di lapangan, apalagi kalau mendengar dia berbicara, masih terdengar jelas logat Jawa nya itu yang menambah kelucuannya menurutku.

Setelah selesai mencairkan cek aku segera menuju ke mobil.

Eh tapi mana Pak Hari ya, apa dia di mobil kok ngga turun katanya ada keperluan di bank.

Cklek...

"Loh kok, Bapak masih di sini? Katanya ada keperluan di bank kok ngga turun?"

"Ngga jadi, Buk. Oya, Buk kita makan siang dulu ya, saya udah laper."

"Umm, okeh, Pak."

***

Makanan di piringku masih tersisa setengah, bukan karena aku malu ya ngabisinnya, karena memang aku masih kenyang oleh sarapanku pagi tadi dan memang menurutku porsi ini melebihi jatah makanku biasanya.

"Loh, An, kok piye makananmu ngga diabisin?"

"Saya udah kenyang, Pak, tadi sarapan 

nya banyak sih."

"Beneran, An?, apa makanan nya ngga enak? Pesen yang lain aja kalau ngga suka, An."

"Eh engga kok Pak, enak kok makanan nya, saya emang udah kenyang, Pak. Terus porsi saya makan emang ngga begitu banyak, karena perut saya ngga bisa nerima kalau terlalu banyak jadinya mual Pak."

"Oo... Gitu saya kirain kamu ngga suka makanan nya, An."

"Suka Pak, enak banget malah, sayang banget sebenernya nyisain gini, ya tapi mau gimana emang kenyang sih."

Setelah menyelesaikan makan siang kami segera beranjak dari meja makan.

"Nih An, ambil."

"Loh, Bapak bungkusin buat siapa, buat orang di kantor ya?"

"Ya buat kamu lah An, nanti kalau di kantor kamu laper bisa jadi cemilan."

"Bapak bercanda nih masa iya saya nyemilin lobster asam manis sih, itu mah makan nama nya bukan nyemil, nyemil tu makanan ringan Pak." dasar Bapak bos yang ajaib.

***

Pak Hari tiba-tiba menepi di pinggir mini market dan mengajakku masuk ke dalamnya, tapi berhubung aku agak mengantuk jadi aku menolak dengan lembut tawarannya.

"An, nih ambil." sambil meletakkan sekantung besar penuh yang berisi makanan.

"Buat siapa Pak, banyak amat beli makanannya."

"Buat Kamu nyonya financeku, Antisya Nabila Wicaksono."

Wicaksono???? Dengan sedikit mengangkat sebelah alisku, sejak kapan namaku ada Wicaksononya, bukankah Wicaksono itu nama belakang Pak Hari, ya... Nama nya Hari setiawan Wicaksono.

"Ngga ada wicaksono nya loh Pak nama saya."

"Oh iya ya, tapi menurut saya lebih bagus kalau ada wicaksononya, ya kayak nyonya Hari Wicaksono misalnya."

Aku menelan saliva yang sedikit tiba-tiba tersangkut sepertinya.

"Oalah, Bapak ini kerjaannya bercandaaaa terus, nanti aku bisa pingsan ini."

"Ya ngga apa-apa kalau pingsan, asal pingsannya dihati saya."

"Udah ah Pak, saya lempar pake sepatu nih."

"Beneran nih mau lempar saya, emangnya berani.''

"Berani lah, tapi janji dulu jangan di pecat sayanya, janji di atas materai loh ya."

"Yaaa enak dikamu dong, Buk, enak kita tanda tangan diatas materai aja Buk, yang bukunya ada warna ijo sama merah maroon."

Aku berfikir sejenak dan mengartikan maksud jawaban Pak Hari, tapi aku bingung artinya apa, buku apa yang dimaksud.

Karena aku ngga tau jawabannya dan gengsi buat nanya, jadi aku langsung mengalihkan pembicaraan.

"Pak, buruan dong balik ke kantor saya masih banyak kerjaan ni."

"Alah besok juga bisa kok Buk."

"Enak aja nanti kerjaan saya jadi numpuk Pak Hari Setiawan Wicaksono."

"Iya deh Buk Hari Setiawan Wicaksono kita pulang.''

Aku yang terkejut mendengar ucapan Pak Hari seketika membulatkan mata sempurna dengan senyum getir.

***

[Buk Hari, pulang nanti saya anter ya? Ini perintah bos loh Buk]

Aku terbelalak membaca pesan singkat di aplikasi hijau itu, ini maksudnya apa ya, ada apa dengan Pak Hari, apa Dia kesambet pikirku, dia ini kan sudah punya istri, apa pantas mengirimiku pesan seperti ini. Aku benar-benar sulit menebak maksud dari Pak Hari, tapi entah kenapa pesannya ini telah membuat aku sedikit tersenyum, ah Antti apa yang kau pikirkan dia ini bosmu dan sudah punya istri pula.

Terjebak cinta terlarang Pak Bos

"Maaf, Pak minta tanda tangan nya di sini."

"Sik... Sini yang mana, An?"

"Ini, Pak."

Aku segera menyodorkan tumpukan kertas setinggi 3cm.

"Wih borongan sampeyan, An? ngasih sing akkeeeh tenan."

"Iya, Pak... Itu kan rincian detail satu bulan ini."

"Wis lah nanti tak tanda tangani An, oya nanti kamu ke bank ngga? Itu dana yang diajuin kemarin udah dikirim loh, An."

"Iya, Pak. Nanti saya ke bank sama supir sekitar jam 10, oya sekalian Pak, ini tolong tanda tangan buat ceknya ya, Pak... Buat ke bank." sambil menyodorkan satu lembar cek.

"Nih, An. Udah."

Pak Hari menyodorkan selembar cek dengan senyum yang merekah.

"Makasih, Pak."

"Njih... An." 

***

Aku segera berjalan menuju mobil di parkiran, pasti Mas Budi menunggu di mobil pikirku, karena memang seperti itulah biasanya, tetapi tidak biasanya dia tidak memberitahuku lewat pesan singkat, Mas Budi adalah supir di kantor ini, aku biasa pergi kemana mana dengannya, aku panggil Mas, karena memang orang-orang di kantor memanggilnya dengan sebutan itu, mungkin karena dia masih single dan muda.

"Ayo, Mas jalan."

Aku langsung duduk dan memasang safety belt tanpa melihat kearah kursi kemudi.

"Iya, baik Buk finance."

Suara itu kenapa seperti suara...?? Yak ampun apa aku salah naik mobil nih, aduh mati aku, rasa takut langsung menelusup ke rongga hati dan jantung hingga paru-paru.

Aku segera menoleh dan terkejut setelah sadar sosok di kemudi adalah Pak Hari bukanlah Mas Budi.

Dengan gugup aku memberanikan diri berbicara walaupun terbata.

"Ee..ee Pak Hari, ma..af Pak sepertinya saya salah naik mobil."

"Siapa bilang kamu salah naik mobil, bener kok, ya tapi memang supirmu hari ini ya Saya."

"Loh kok Bapak? Kemana Mas Budi nya?, Pak?"

"Dia lagi anter Pak Taufik ke Lapangan, dan kebetulan saya ada urusan di bank hari ini, jadi ngga ada salahnya dong saya bareng kamu."

"Oh iya Pak, makasih ya Pak, jadi ngga enak saya disupirin sama bos."

"Biasa aja, An, jangan guguplah sama saya, saya ini ngga makan orang kok, masih makan nasi sama kayak kamu" Pak Hari terkekeh sambil menghidupkan mobil dan memulai perjalanan.

"Oya, An. Apa kamu selalu duduk didepan kalau lagi sama Budi?"

Aku terkejut mendengar pertanyaan Pak Hari dan reflek menggigit bibirku sendiri.

"I...iya, Pak, saya memang selalu duduk didepan, karena saya fikir buat apa duduk di belakang toh kami ini masih karyawan semua dan saya bukanlah bos besar yang harus duduk manis dibelakang."

"Ooo... Ngono toh, Buk, saya sih rela aja Buk kalau nyupirin kamu setiap hari gini, mau kemana aja saya anterin." Pak Hari tersenyum sambil menoleh ke arahku.

Deeeeg hati ku langsung kayak dibolak-balik, ngga nyangka nih si Pak Hari yang terkenal kiler kalau di lapangan bisa bercanda sengeri ini, apa ngga ngeri tuh aku jadi kikuk mau jawab apa.

"Oya, masa si, Pak?"

"Iya, Buk finance saya serius."

Kami mengobrol banyak diperjalanan, dan aku mulai terbiasa dengan candaan yang diberikan Pak Hari, ternyata Pak Hari ini sangat lah lucu, sangatlah berbeda dengan gayanya kalau di lapangan, apalagi kalau mendengar dia berbicara, masih terdengar jelas logat Jawa nya itu yang menambah kelucuannya menurutku.

Setelah selesai mencairkan cek aku segera menuju ke mobil.

Eh tapi mana Pak Hari ya, apa dia di mobil kok ngga turun katanya ada keperluan di bank.

Cklek...

"Loh kok, Bapak masih di sini? Katanya ada keperluan di bank kok ngga turun?"

"Ngga jadi, Buk. Oya, Buk kita makan siang dulu ya, saya udah laper."

"Umm, okeh, Pak."

***

Makanan di piringku masih tersisa setengah, bukan karena aku malu ya ngabisinnya, karena memang aku masih kenyang oleh sarapanku pagi tadi dan memang menurutku porsi ini melebihi jatah makanku biasanya.

"Loh, An, kok piye makananmu ngga diabisin?"

"Saya udah kenyang, Pak, tadi sarapan 

nya banyak sih."

"Beneran, An?, apa makanan nya ngga enak? Pesen yang lain aja kalau ngga suka, An."

"Eh engga kok Pak, enak kok makanan nya, saya emang udah kenyang, Pak. Terus porsi saya makan emang ngga begitu banyak, karena perut saya ngga bisa nerima kalau terlalu banyak jadinya mual Pak."

"Oo... Gitu saya kirain kamu ngga suka makanan nya, An."

"Suka Pak, enak banget malah, sayang banget sebenernya nyisain gini, ya tapi mau gimana emang kenyang sih."

Setelah menyelesaikan makan siang kami segera beranjak dari meja makan.

"Nih An, ambil."

"Loh, Bapak bungkusin buat siapa, buat orang di kantor ya?"

"Ya buat kamu lah An, nanti kalau di kantor kamu laper bisa jadi cemilan."

"Bapak bercanda nih masa iya saya nyemilin lobster asam manis sih, itu mah makan nama nya bukan nyemil, nyemil tu makanan ringan Pak." dasar Bapak bos yang ajaib.

***

Pak Hari tiba-tiba menepi di pinggir mini market dan mengajakku masuk ke dalamnya, tapi berhubung aku agak mengantuk jadi aku menolak dengan lembut tawarannya.

"An, nih ambil." sambil meletakkan sekantung besar penuh yang berisi makanan.

"Buat siapa Pak, banyak amat beli makanannya."

"Buat Kamu nyonya financeku, Antisya Nabila Wicaksono."

Wicaksono???? Dengan sedikit mengangkat sebelah alisku, sejak kapan namaku ada Wicaksononya, bukankah Wicaksono itu nama belakang Pak Hari, ya... Nama nya Hari setiawan Wicaksono.

"Ngga ada wicaksono nya loh Pak nama saya."

"Oh iya ya, tapi menurut saya lebih bagus kalau ada wicaksononya, ya kayak nyonya Hari Wicaksono misalnya."

Aku menelan saliva yang sedikit tiba-tiba tersangkut sepertinya.

"Oalah, Bapak ini kerjaannya bercandaaaa terus, nanti aku bisa pingsan ini."

"Ya ngga apa-apa kalau pingsan, asal pingsannya dihati saya."

"Udah ah Pak, saya lempar pake sepatu nih."

"Beneran nih mau lempar saya, emangnya berani.''

"Berani lah, tapi janji dulu jangan di pecat sayanya, janji di atas materai loh ya."

"Yaaa enak dikamu dong, Buk, enak kita tanda tangan diatas materai aja Buk, yang bukunya ada warna ijo sama merah maroon."

Aku berfikir sejenak dan mengartikan maksud jawaban Pak Hari, tapi aku bingung artinya apa, buku apa yang dimaksud.

Karena aku ngga tau jawabannya dan gengsi buat nanya, jadi aku langsung mengalihkan pembicaraan.

"Pak, buruan dong balik ke kantor saya masih banyak kerjaan ni."

"Alah besok juga bisa kok Buk."

"Enak aja nanti kerjaan saya jadi numpuk Pak Hari Setiawan Wicaksono."

"Iya deh Buk Hari Setiawan Wicaksono kita pulang.''

Aku yang terkejut mendengar ucapan Pak Hari seketika membulatkan mata sempurna dengan senyum getir.

***

[Buk Hari, pulang nanti saya anter ya? Ini perintah bos loh Buk]

Aku terbelalak membaca pesan singkat di aplikasi hijau itu, ini maksudnya apa ya, ada apa dengan Pak Hari, apa Dia kesambet pikirku, dia ini kan sudah punya istri, apa pantas mengirimiku pesan seperti ini. Aku benar-benar sulit menebak maksud dari Pak Hari, tapi entah kenapa pesannya ini telah membuat aku sedikit tersenyum, ah Antti apa yang kau pikirkan dia ini bosmu dan sudah punya istri pula.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status