Kasus persidangan Mas Lucky pun bergulir. Setelah memberi keterangan di kantor polisi, aku dan Mas Adit hadir di pengadilan sebagai saksi. Turut di temani Ibu dan Om Seno yang ingin melihat langsung jalannya persidangan. Selain kami, datang juga istri pria gembul itu dan juga rekan-rekannya. Menurut kabar pria gembul itu tidak akan diperkarakan. Tapi, orang tua Maya sudah menuntut balik atas perzinahan yang dilakukannya. Malangnya, istri pria gembul itu tidak percaya perbuatan mesum suaminya. Untuk membantu orang tua Maya, aku akan laporkan kepala HRD itu atas kasus korupsi penggelapan uang proyek. Pengacara yang sudah ku sewa juga turut hadir. Selain membantu orang tua Maya, aku ingin meringankan hukuman Mas Lucky. Bagaimanapun dia sudah menyesali perbuatannya dan berjanji akan merubah sikap dan hidupnya. Begitu hakim masuk, semua yang hadir berdiri memberi hormat. Seperti sidang yang sudah-sudah, kali ini prosesnya juga sama. Jaksa penuntut umum membacakan segala rentetan kejadia
Suara azan Subuh mengalun merdu, membangunkan tidurku yang lelap. Saat mataku terbuka kulihat Mas Adit masih tertidur di sampingku. Wajah tampannya begitu sempurna, alis tebal dan hidung mancung ditambah kulit yang bersih. Aku mengelus pipi dan mengecup keningnya. "Mas, bangun! Kita sholat Subuh berjamaah yuk!" bisik ku ditelinga suamiku. "Hum, sudah pagi, Yang?" ujarnya bergumam. Tanpa menunggu Mas Adit yang belum bangun, aku masuk ke kamar mandi duluan membersihkan diri sambil keramas. Saat mandi, aku tersenyum mengingat sebagai pengantin baru mulai ijab qobul, resepsi hingga malam pertama semua berseliwaran dimata. Keluar dari kamar mandi, Mas Adit sudah duduk di tepi ranjang dengan mata mengantuk. Aku terkekeh melihat wajahnya yang masih capek. "Mas, sudah sana mandi keburu siang!" ujarku sambil mengelap rambut yang basah. "Yang, sini peluk dong!" ucapnya manja sambil merentangkan tangannya. "Mandi dulu, Mas! Sholat bareng kita, baru deh peluk," jawabku tersenyum sambil mem
Pagi itu, saat aku sedang menyiram bunga, terlihat seorang wanita tua berdiri celingukan di depan gerbang. Aku pun mengamati dan menghampiri sambil memastikan siapa gerangan. Setelah dekat aku terkejut, wanita itu menatapku dengan senyum lembutnya. Senyum yang selama ini selalu membuatku rindu. "Ibu!" panggilku senang dan memeluknya erat. "Ayu, bagaimana kabarmu, Nak?" tanya Ibu usai melepas pelukan. "Ayu baik, Bu! Ibu sehatkan, kenapa Ibu kemari?" tanyaku heran sambil memperhatikan keadaannya. "Ibu kangen sama kamu, Yu! Ibu kesepian semenjak ditinggal Bapakmu, jadi Ibu kemari. Apa Ibu boleh menginap beberapa hari di sini?" Mataku berkaca-kaca mendengar penuturan ibu, rasa kasihan gegas menyelinap dalam hatiku. Wanita yang melahirkan diriku kini tampak rapuh sejak belahan jiwanya pergi untuk selamanya. "Boleh, Bu! Ayo kita masuk dulu." Sambil menggandeng tangan ibu, aku mengajaknya masuk ke dalam rumah, beliau hanya membawa tas kecil untuk tempat baju. Belum juga sampai di de
"Nggak, nggak mungkin. Saya nggak tau kalung itu ada di tas, besan percayalah!" Ibu tetap pada pendiriannya kalo tidak mencuri kalung mertua. Aku pun percaya ibu tidak mungkin melakukan itu, semiskin dan sesusah apapun beliau tidak pernah berniat mencuri. "Ayu, itu nggak benar! Kamu percayakan kalo Ibu nggak mungkin melakukan itu," rajuk Ibu meminta pembelaan. "Ya, Bu! Ayu percaya." "Ma, Ayu mohon! Ibu memang nggak mencuri kalung. Bukankah Mama sendiri yang melarang Ibu masuk kamar Mama? Ibu juga nggak berani naik ke atas, lalu bagaimana mungkin Ibu tau letak kalung Mama," protesku beralih ke mertua. Mertua cuma mencibir dan tidak mau menerimanya. Aku tidak tau lagi harus bagaimana meyakinkannya, apalagi bukti itu sungguh jelas. Kalung mertua ada di tas Ibu, tapi siapa yang sudah tega melakukan itu?"Dasar pencuri! Sana pergi, bawa ibumu yang miskin itu keluar dari rumah ini!" hardik mertua mengacungkan tangannya ke arah pintu rumah. "Ma, demi Allah! Ibuku nggak ada mencuri kalu
"Lepas, Mas! Aku akan buktikan sendiri dan melapor ke polisi agar Maya dan Mama kamu ditangkap," kataku keras. "Apa kamu bilang, Yu! Seenaknya aja kamu main lapor," sergah Mertua tak terima. "Ya, seharusnya Maya dan Mama ditangkap. Maya yang sudah memfitnah dan sebagai pelaku pencurian serta Mama yang sudah menyeret serta menendang ibuku sampai luka. Rekaman itu cukup untuk memasukkan kalian ke penjara," jeritku menantang mereka. Ketiga manusia zalim itu menciut nyalinya mendengar ancamanku. Mereka yang awalnya angkuh dan zolim terlihat lemas dan tak berdaya. Mereka semua terdiam cukup lama seraya saling memandang satu sama lain tanpa bicara. "Ayu, gini aja! Kita lupakan aja masalah ini. Mama akan maafkan ibumu dan nggak mengusirnya tapi terserah apa ibumu masih mau tinggal di sini atau nggak!" ucap Mertua akhirnya angkat bicara dan melunak. "Iya, Yu! Jangan laporkan Mama ya sayang. Mama sudah tua apa kamu nggak kasihan padanya?" rayu Mas Lucky memegang tanganku. Aku menatap an
Aku tertawa dalam hati, terus sajalah kamu membohongiku Mas. Satu bukti sudah ada di tanganku, tinggal mencari bukti perselingkuhan kalian. Sengaja aku masih menyuruh ibu tinggal di sini untuk memuluskan rencanaku. Ya, aku punya rencana untuk menghancurkan mereka. Jangan mereka pikir selama ini aku diam mengalah itu karena takut. Aku hanya mencari waktu yang tepat dan ibulah yang membuat rencanaku berjalan. Mas Lucky tidak pernah tau siapa aku sebenarnya. Karena sebelum menikah, aku adalah seorang wanita yang bekerja sebagai manajer di sebuah perusahaan. Namun, baru beberapa bulan bekerja karena fitnah seseorang membuatku dipecat. Setelah dipecat, aku membantu ibu berjualan di pasar. Saat itulah aku ketemu dengan Mas Lucky yang sedang belanja. Aku membantunya memilih sayur segar, sejak saat itu dengan berbagai alasan Mas Lucky kerap datang ke pasar. Sebulan perkenalan, Mas Lucky melamar dan mengajakku menikah. Akan tetapi, Mamanya tak merestui hubungan kami. Oleh karena itu kami t
Begitu spesialkah tamu itu sampai harus dimasak begini banyak. Bi Inem tersenyum kala melihatku terbengong di dekat meja. "Non, kenapa bengong?" tegur Bi Inem. "Jarang-jarang Bibi masak menu segini banyak, lauknya juga istimewa. Enak banget, Bi!" pujiku sambil mengambil sepotong daging lalu memakannya. "Biasa aja, Non! Oh iya, Non Ayu ambilkan makan untuk ibu sekarang. Jangan sampai dilihat Nyonya," pinta Bi Inem. "Oke, makasih Bi," ucapku segera mengambil piring beserta nasi dan lauknya. Sengaja aku ambil sepiring lagi lauknya agar Ibu kenyang memakannya. Keluar dapur belum nampak batang hidung mertua. Aman, aku masuk ke kamar ibu dan meletakkan nasi di meja. Aku tuntun beliau ke kamar mandi untuk mencuci muka dan berwudhu. Mengurus ibu dulu sebelum tamu datang, keluar dari kamar mandi kembali aku tuntun. Berpapasan dengan mertua yang akan ke dapur, melihatku menuntun ibu. Kemudian berhenti lalu berkata, "Ingat yang Mama bilang tadi!" tegurnya. Aku mengangguk kemudian membantu
Tatkala masih asyik melamun, terdengar suara pintu dibuka. Seketika aku menoleh, Mas Lucky masuk dengan ekspresi lesu. Aku hanya mencibir melihatnya, pasti rasa kecewa itu masih bersarang di hatinya. "Kamu kenapa, Mas? Dari tadi mukanya nggak semangat gitu. Apa karena Maya nggak datang?" Mas Lucky menatap tajam, sepertinya perkataanku barusan membuatnya kikuk. "Kamu ngomong apa, kenapa Maya terus yang kamu tanyakan!" ucapnya ketus. "Mas suka Maya, kan? Jujur aja, Mas! Sebenarnya apa yang kamu sukai dari dirinya?" tanyaku sambil mendekat. Mas Lucky semakin salah tingkah, demi menutupi kebohongannya dia berpura-pura melihat ponsel. Aku pun terus menatapnya sambil bersedekap kedua tangan. "Kamu pasti mengirimkan chat sama Maya kan, Mas?" tanyaku lagi. Lama-lama Mas Lucky jengah karena terus aku tanya. Tanpa menjawabku dia malah mengalihkan pembicaraan. "Tadi kamu kenapa pake masker?" "Oh, itu tadi aku hanya nggak ingin kalian malu kalo tamu tau wajahku yang miskin ini," jawabku m