Mengapa ada tim sepuluh disini? Aku masih bertanya-tanya.Semua karyawan akhirnya dipersilahkan menikmati cemilan dan snack serta minuman yang Sisil persiapkan sebelumnya untuk hari ini. Ternyata, Sisil mengetahui keberhasilan perusahaan ini dari Zach. Ah, apa yang kau ketahui Zach? Apa kau sengaja mengintai kami selama ini? Batinku mulai bergejolak.“Tenang Fiza. Kalau bukan Zach yang mengabariku tentang headline news di berbagai portal website bisnis, aku tentu tak melakukan hal ini. Bravo ya Sist!” ujar Sisil Kembali memelukku.“Lalu … tim sepuluh … bagaimana bisa ada disini juga?” tanyaku pada Sisil yang memang sangat penasaran sekali.Mata Sisil langsung mengarahkan pada sosok Zach yang dari tadi berdiri dekat kami semua. “Aku sengaja mengajak temen-temen kita dulu, Za. Untuk bergabung di proyek yang kuceritakan dua hari lalu. Jadi … kuharap keberhasilanmu yang sekarang membawa nama baik perusahaan, bisa ikut menyukseskan proy
"Kau bisa hubungi Rafi, sekarang, Za? Kita butuh dia!" kata Zach spontan."Uhuk! uhuk!" Kata-kata Zach barusan membuatku langsung batuk-batuk tak karuan.“Kenapa, Sist? Kau sakit?” Sisil terlihat mengkhawatirkan aku yang batuk-batuk tadi.Zach jadi salah tingkah. Bingung mau berbuat apa, karena permintaannya terlihat berat untuk kulakukan. Itu menunjukkan bahwa Zach memang belum tahu sama sekali tentang berpisahnya aku dan Bang Rafi.“Gimana, Za? Bisa nanti-nanti hubungi Rafi? Gak mesti hari ini sih, kalau memang dia lagi sibuk,” ujar Zach yang masih terlihat tak enak padaku.“Atau aku saja ya, yang menghubungi Rafi?” Sisil menawarkan dirinya pada permintaan Zach.Aku jelas bingung, ingin melarang tapi belum punya alasan tepat.“Rafi tak bisa ikut,” tiba-tiba Fandy bersuara. Syukurlah … aku jadi agak tenang. Semua mata mengarah kepada Fandy yang sangat tegas menyatakan mantan suamiku itu tidak bisa ikut. T
Bantu Subscribe cerita ini ya kakak-kakak. Makasih sebelumnya 🙏🏻😊“Siapa pelakunya Zach!” kataku dengan lantang dan emosi juga pada akhirnya.“Lihat di slide kedua,” ujar Zach.Kutarik layar dari kanan ke kiri dengan telunjuk. Betapa terkejutnya aku melihat gambar dalam poto kedua itu. Bang Rafi, Atika, dan Riko, mereka duduk bersama dengan seseorang yang tak begitu jelas terlihat sosoknya.“Maksudmu, pasti mereka bertiga ini pelakunya?” ucapku mendongakkan kepala dihadapan Zach.“Za … apa yang terjadi antara kau dan Rafi? Ceritalah padaku, Za …” Zach mengambil posisi duduk tepat disampingku. Ada rasa nyaman ketika lelaki bertubuh tegap ini berada di sampingku. Bukan, bukan karena adanya rasa dihati untuknya, tapi sikapnya yang begitu baik membuatku berasa nyaman akan hadirnya sosok yang jarang kutemui sikap baiknya disaat-saat seperti ini.“Aku telah bercerai dengannya …” kataku dengan sendu. Dada kembali
Kenapa baru saat sekarang dia menyebut dirinya sebagai Ayah dari anak-anak? Dia pikir aku ini wanita yang gampang tersentuh hatinya dengan amat sangat dalam oleh kata-kata manis seperti itu?Tidak, Bang! Aku sudah tidak bisa lagi menjadi pelangi bagi awan berpetir sepertimu. Aku akan mulai bersikap tegas jika memang harus tegas. Hitam adalah hitam, dan putih adalah putih. Tak ada lagi abu-abu di hati ini hanya karena kata-kata basimu yang menyentuh!Ya Tuhan … rasa apa ini namanya? Mengapa aku merasa begitu lepas rasanya di dada yang kemarin-kemarin begitu menyempit. Bahkan ketika mengeluarkan kata-kata yang memang ingin aku muntahkan padanya, dada terasa makin lega? Mungkin benar kata orang-orang, menjaga kewarasan diri itu penting, agar bisa selalu berpikir jernih dan rasional.“Sehat-sehat ya badanku, sehat-sehat pula wahai hatiku. Semoga bisa menapak jalan lurus kedepan bersama anak-anak,” ujarku dalam hati menguatkan diri.“Ka
[Oh, ada si maling ternyata.… aku beri tahu ya, itu adalah hak ku! Paham? Oh iya, aku lupa, kau pasti tak paham dan tak mengerti apa itu arti hak. Karena kau taunya hanya mencuri milik orang! Dasar wanita murahan dan picik!]Langsung aku blokir nomor itu. Pasti dia adalah Atika, yang sengaja memanas-manasiku. Pagi-pagi sudah bikin gaduh saja.Pagi ini setelah dikejutkan oleh pesan Atika, aku kembali dikejutkan pula oleh kedatangan tamu yang terdengar berisik sekali. Suaranya terdengar seperti sedang marah-marah di depan rumahku. Gegas aku ke depan rumah, melihat kegaduhan apa yang sedang terjadi.“Mba Tia?! Ada apa, Mba?” ternyata mantan kakak iparku yang datang.“Ini, Fiza, Mama! Cepat kau tolong dulu!” katanya lagi masih sambil terdengar mengomel.Mama? Mamanya Bang Rafi? Jantungku langsung berdebar. Apa yang terjadi pada wanita paruh baya itu sampai harus ditarik paksa oleh anaknya sendiri keluar dari mobil.“Ma
POV RAFIAku sudah tak mau ambil pusing dengan sikap Mama yang selalu diam jika kutanya. Apalagi jika Mama selalu menyebut nama Fiza. Apa tidak bisa Mama melihat kebaikanku sedikit saja? Karena aku sedang berjuang menapak karir agar terpandang. Tapi kadang-kadang nasehat Mama membuat hati ini down. Apalagi kalau sudah menyangkut nama Atika. Entah mengapa, wanita yang telah melahirkanku itu dan tentu sangat aku cintai, tak mampu menyelam isi hati ini. Atika tidaklah berbeda dengan Fiza. Dia wanita tangguh yang sama seperti Fiza. Kerja keras, dan membantu meningkatkan performa bisnisku dari awal. Bukan Fiza! Ya, walau Fiza sangat ingin membantuku diawal-awal merintis, tapi aku katakan tak perlu. Karena aku bisa tanpanya. Mama, Mba Zara ataupun Mba Tia, harusnya memahami jika terpuruknya perusahaanku saat ini memang karena musibah. Bukan karena aku ditipu oleh Atika. Entah bagaimana mereka bisa menyimpulkan seperti itu, aku sendiri tak paham.
“Bukan urusanmu! Jangan ikut andil memberi saran padaku, karena kau bukan siapa-siapaku lagi! Dan tolong jangan hubungi diriku lagi. Nanti istri barumu itu cemburu.” Kubalas pesan Bang Rafi yang sok bijak memberi saran tak berguna.Ada-ada saja makin hari tingkah mantan suamiku itu. bagaimana dia bisa sekacau itu sekarang? Padahal seingatku dulu, dia melakukan sesuatu atas dasar penilaian yang objektif. Tapi sekarang malah sebaliknya. Bahkan bisa dikatakan tidak bisa memilah mana yang penting baginya, bagi orang lain, maupun bagi keluarganya. Apa dia ada salah makan? Entahlah.Berhubung besok weekend, pekerjaan hari ini aku percepat agar bisa pulang lebih awal. Aku akan mengajak anak-anak Bersama nenek dan tantenya jalan-jalan. Hitung-hitung refreshing keluarga. Supaya Dinda dan Putra tak melulu menanyakan kenapa ayahnya jarang pulang. Dan tentu kenapa Nenek mereka juga sudah jarang ada di rumah ini.Jujur saja, aku belum berterus terang kepada anak-a
"Ya Tuhan, Mba ... berarti memang Atika pelakunya ya .... Astagfirullah, kok bisa nekat mereka ini," Aku masih tak percaya rasanya, Bang Rafi begitu tega dengan orangtua dan keluarga sendiri. "Fix, penjara! Rasain, biar tau rasanya mendekam di sana! syukur-syukur otaknya jadi balik normal," lanjut Mba Tia lagi."Oke deh, makasih infonya ya, Mba. Aku masih ada kerjaan. Kalau ada apa-apa nanti hubungi Fiza aja. Salam buat Mama," "Okeh! makasih ya Fiza rekom pengacaranya tulen! sat set sat set, kelar! hahahah!"Aku ikut terkekeh mendengar Mba Tia, lalu memberinya salam mengakhiri pembicaraan.Aku terduduk di sofa dengan perasaan mengambang. Apakah berita barusan benar terjadi? Rasanya sulit untuk percaya ....Bagaimana nanti aku akan menceritakan pada Putra dan Dinda soal Ayah kandungnya yang mendekam di penjara. Bahkan bisa dikatakan mantan residivis ketika sudah keluar penjara nanti? "Halo, Za! tumben gamang gitu?