Share

4. Lembur

Kejadian makan siang di gerobak soto ayam membuat Resta berada di ruangan Gyan dengan kepala menunduk. Matanya menatap ujung sepatunya yang sejajar seolah saling menguatkan. Bulir-bulir keringat dingin mulai membanjiri kening Resta. Air conditioner di ruangan ini seperti tidak berfungsi dengan baik. Hawa di sini begitu mencekam.

Resta menelan ludah melihat Gyan menatapnya lurus tanpa suara. Mata biru itu menghujamnya begitu dalam. Andai mata itu bisa mengeluarkan tembakan, pasti pelurunya sudah menembus kepala Resta.

"Apa kejadian kemarin nggak bisa jadi pelajaran buat kamu, Resta?" tanya Gyan dengan suara dalam dan tegas. "Kalian tidak ada kerjaan lain selain ngomongin atasan yang mungkin saja bisa memecat kalian kapan saja?"

"Maaf, Pak. Saya tidak bermaksud bicara nggak sopan sama Bapak. Itu ucapan refleks, Pak," sahut Resta seraya mencoba mengangkat kepala, tapi hanya bertahan sebentar lalu menunduk lagi.

Gyan menyandarkan punggung ke kursi sembari menggelengkan kepala. Kalau saja tidak ada urusan yang membuatnya harus melewati gedung belakang kantor, mungkin umpatan kurang ajar dari mulut Resta tidak perlu dia dengar. Sayangnya, wanita itu memang lagi-lagi kurang beruntung.

"Daripada kamu terus mengumpat di belakang saya, lebih baik kamu buktikan bahwa kamu memang orang yang pantas dipertahankan di perusahaan ini."

Resta tidak menjawab. Sejujurnya dia masih bingung dengan kemunculan Gyan di warung kaki lima. Bahkan sekelas manajer Blue Jagland saja tidak mau menyambangi tempat itu. Tapi setan Gyan lagi-lagi muncul tanpa dia duga.

"Bapak mau saya buatkan es kopi atau es teh?" tanya Resta tiba-tiba, membuat pria di hadapannya mengerutkan kening.

"Saya nggak perlu kamu—"

"Biar kepala Bapak bisa lebih dingin."

Niat baik Resta malah makin membuat wajah Gyan terlihat kesal. "Kamu ngeledek saya?"

Sontak Resta terperanjat melihat Gyan menggeram seperti singa. "Sa-saya nggak—"

"Keluar dari ruangan saya."

"Maaf, Pak. Tapi tadi saya ber—"

"Cepat!"

Tidak pikir panjang lagi Resta langsung lari terbirit-birit keluar dari ruangan Gyan. Jantungnya berdegup kencang saat menyaksikan hidung dan telinga Gyan seperti tengah mengeluarkan asap. Untuk beberapa saat dia mengatur napas sambil menyandarkan punggung di balik pintu ruangan Gyan.

"Lo... Baik-baik aja, Res?" tanya Sella agak cemas melihat wajah pias Resta.

"Apa muka gue kelihatan baik? Astaga, Sel. Kayaknya gue mesti mandi kembang 7 rupa deh," sahut Resta dengan suara memelas sambil berjalan mendekati meja Sella.

"Lah ngapa? Lo kerasukan jin?"

"Bisa jadi. Jinnya ada di dalam ruangan itu."

"Huss!"

Resta mengerang. Baru sehari pindah divisi sudah bikin masalah lagi. Selain kejadian pengajuan budget, dia merasa Gyan memiliki dendam kesumat padanya.

"Gue kayaknya kena sial mulu akhir-akhir ini. Makanya perlu mandi kembang," ucapnya hampir menangis. "Gue pengin balik ke marketing lagi, Sel. Kerja sama bos Lo bisa bikin gue mati muda."

Sebisa mungkin Sella menahan agar tawanya tidak menyembur. Dia harus tetap terlihat prihatin melihat kondisi Resta sekarang. Tangan Sella terangkat dan menepuk bahu Resta pelan.

"Sabar, ya." Hanya itu yang bisa Sella katakan untuk menguatkan temannya yang saat ini malah mewek di pelukannya.

***

Gyan melempar dokumen ke atas meja yang baru saja dia cek. Tangannya urung mengambil pena dan malah menggembungkan pipi, lantas membuang napas kasar dari mulut. Telunjuknya menunjuk dokumen yang terempas itu.

"Siapa yang bikin laporan itu?" tanya pria itu seraya menahan kesal. Demi Tuhan! Pekerjaannya sedang banyak sekarang, tapi dia harus menemukan laporan yang berantakan seperti itu.

"Resta, Pak. Uhm, ada yang salah? Saya akan coba perbaiki." Sella baru akan mengambil dokumen itu ketika tangan Gyan terangkat. Menghentikan aksinya.

"Nggak perlu. Suruh yang bikin yang perbaiki. Jangan izinkan dia pulang sebelum kerjaannya kelar," ucap Gyan dengan nada yang tak ingin dibantah.

Sella mengangguk patuh dan langsung membawa kembali laporan itu keluar. Dalam hati dia berencana untuk memperbaiki laporan itu lantaran tidak mau melihat Resta menangis di hadapannya lagi. Namun belum sampai pintu, Gyan sudah memberinya ultimatum lagi.

"Ingat, Sella. Harus Resta yang memperbaiki laporan itu. Karyawan tiga tahun bikin laporan keuangan saja tidak becus."

Sella menelan ludah sambil memaksakan tersenyum. "Baik, Pak."

Gyan mengusap wajah lelah begitu Sella keluar. Dia melirik laptop yang masih menyala. Bersamaan dengan itu ponselnya yang tak jauh dari laptop terus bergetar. Menampilkan nama May di layarnya. Seharian ini, wanita yang pernah mengisi hatinya itu terus mengganggu dengan rentetan pesan dan panggilan seperti orang kurang kerjaan. May masih tak terima Gyan memutuskannya begitu saja.

Tangan Gyan menggapai ponsel begitu deringnya mati. Dia mengecek beberapa pesan yang masuk, tapi melewatkan pesan dari May, yang ada di deretan paling atas. Senyumnya terukir kecil saat membaca pesan dari Dellota, ibunya. Menanyakan kapan dia pulang ke rumah. Setelah membalas singkat pesan dari ibunya itu, dia menonaktifkan benda itu. Lalu kembali fokus dengan pekerjaan.

Lampu workstation padam saat Gyan keluar dari ruangan. Di tanggal muda seperti sekarang jarang ada staf yang mau lembur. Mereka lebih memilih melanjutkan pekerjaan keesokan harinya daripada menghabiskan waktu di dalam kubikel. Gyan melangkah, melewati meja sekretaris yang sudah ditinggalkan penghuninya beberapa jam lalu. Saat melewati workstation, tanpa sengaja tatapnya melihat cahaya terang dari salah satu kubikel. Langkahnya terhenti selama beberapa saat sebelum berbelok memasuki area workstation, untuk mengecek staf mana yang jam sepuluh masih ada di kantor.

Matanya menyipit ketika melihat Resta tampak masih serius di depan layar komputer. Rambutnya tidak serapi siang tadi. Wanita itu mencepol rambut asal-asalan. Sebuah pena bahkan terselip di atas telinganya. Bibirnya sesekali berkerut dalam, menghasilkan ekspresi lucu.

Dari posisinya Gyan mengawasi wanita itu. Tanpa sadar sudut bibirnya sedikit terangkat. Hanya sedikit.

"Kenapa kamu belum pulang?"

"Setan Kolor Ijo!" seru Resta terlonjak kaget. Kursinya sampai bergerak mundur saking kagetnya. Bahkan pena yang terselip di telinganya sampai terjatuh.

Gyan mengangkat sebelah alis melihat reaksi stafnya itu. Apa yang wanita itu kerjakan sampai terkejut seperti itu? Gyan bisa melihat Resta tampak tergesa menekan tombol tetikus begitu menyadari kehadirannya.

"Pak Gyan, kenapa ada di sini?" tanya Resta gugup.

"Seharusnya saya yang tanya sama kamu. Kenapa pukul segini kamu masih ada di kantor? Revisian laporan kamu bukannya sudah selesai dari beberapa jam lalu?"

Resta meringis kaku. Ujung matanya melirik layar komputer. "Sa-saya lagi belajar, Pak," sahutnya terdengar ragu.

"Tutup komputer kamu kalau nggak ada yang urgent dan cepat pulang."

"Iya, Pak."

Kembali Resta melirik layar komputer. Dengan wajah tak rela, akhirnya dia menutup papan grafik yang sedang dia pantau. Daripada Gyan mencurigainya. Wanita itu menggapai tas ransel dan memasukkan ponsel ke dalamnya, lalu keluar dari kubikel setelah mematikan lampu. Saat keluar dari area workstation untuk menuju lift, matanya menemukan Gyan tengah bersandar pada dinding koridor sambil memainkan ponsel. Pria itu menoleh ketika menyadari kemunculan Resta.

"Kok Bapak masih di sini?" tanya Resta bingung. Dia pikir makhluk itu sudah lenyap.

"Saya antar kamu pulang," ucap Gyan, lalu bergerak menuju arah lift tanpa menunggu respons Resta yang terlihat makin bingung.

Dengan cepat, Resta menyusul Gyan yang sudah bersiap menunggu pintu lift terbuka. "Pak, itu nggak perlu. Saya bisa pulang sendiri," ujarnya begitu berhasil mengejar Gyan.

"Saya nggak tahu apa yang kamu kerjakan sampai pulang selarut ini," sahut Gyan seraya melirik pergelangan tangannya.

"Ini belum larut, Pak. Saya biasa pulang jam 11 malam malah."

Pintu lift terbuka. Gyan masuk lebih dulu, Resta menyusulnya kemudian.

"Kamu pikir saya akan terkesan?" Gyan melirik sekilas wanita yang tampangnya terlihat makin berantakan di bawah sinar lampu lift.

Kening Resta berkerut dalam. "Siapa yang lagi bikin bapak terkesan?" tanyanya tak habis pikir. Kalau pun ingin membuat seseorang terkesan, jelas bukan Gyan orang yang akan dia pilih.

Gyan tidak menyahut lagi dan lebih menyibukkan diri dengan ponselnya kembali. Resta pun melakukan hal sama, tenggelam bersama rangkaian grafik yang masih dia pantau. Sampai pintu lift terbuka di lantai lobi, keduanya masih sibuk sendiri-sendiri. Hingga suara dering ponsel milik Gyan memecah keheningan itu. Gyan menerima panggilan selama beberapa saat seraya keluar dari lift.

"Kamu biasa pulang naik apa?" tanya Gyan tiba-tiba, menghentikan langkah Resta di belakangnya.

"Ojek online, Pak," sahut Resta spontan dengan wajah sedikit kaget.

Gyan mengangguk. "Oke, hati-hati. Saya nggak bisa antar kamu pulang. Ada urusan mendadak," katanya lantas kembali bergerak dengan langkah cepat, meninggalkan Resta yang malah melongo di tempat.

"Dih! Siapa juga yang minta dianterin dia?"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status