Tarikan napas Resta terdengar panjang. Ini masih weekend tapi dia harus menghadapi ketantruman Gyan yang tidak beralasan. Cemburunya agak keterlaluan. Bukan hanya cemburu, lelaki itu juga tidak segan menuduh. Padahal yang Aaron lakukan belum ada apa-apanya dibanding si Amanda itu. "Dia kakaknya Joana, Gy." Resta membuang napas lelah. Duduk di pojokan sofa seperti terpidana. Sementara Gyan berdiri di depannya sambil berkacak pinggang berperan sebagai jaksa merangkap hakim. "Jadi ada hubungan apa kamu sama kakaknya Joana itu sampai kalian bisa rangkul-rangkulan?" Astaga! "Siapa yang rangkul-rangkulan?" Resta tampak tak terima. "Vino bilang laki-laki itu ngaku kalau kamu pacarnya." "Nggak ada yang ngomong begitu. Itu asumsi teman kamu dan lainnya." Mata Gyan menyipit. Masih menunjukkan raut tidak percaya yang begitu kental. Dua lengannya kini melipat di dada. "Terus kenapa kamu mau nginep? Bisa ajakan setelah acara langsung pulang?" "Karena Joana yang minta aku nginap." "Bukan k
Rencana haha-hihi Resta semalaman suntuk gagal total. Ujung-ujungnya minggunya terjebak bersama Gyan lagi. Sempit-sempitan di tempat tidur, bangun hampir siang bolong, sampai badan remuk redam. Belum lagi menghadapi kelakuan absurd Gyan yang tidak kebanyakan orang tahu. "Menjauh enggak?" ancam Resta saat Gyan masih saja menggesek-gesekkan 'anunya' yang menegang di balik celana ke bokong Resta. Di belakangnya Gyan manyun, lantas mundur dan bergeser ke sisi Resta. "Yang, kamu nggak kasian sama dia." Gyan mengarahkan matanya ke pangkal celana. "Nggak pernah kamu sentuh." Di tempatnya, Resta yang sedang menekan roti dengan spatula pura-pura tidak peduli. Mau tuh laki nangis sambil koprol Resta tidak mau menggubris. "Yang...." Tidak dipedulikan Resta pria itu merengek seperti anak kecil. Membuat Resta ingin memanggangnya bersama roti itu. "Mending kamu mandi deh, Gy. Dan please nggak usah drama lagi. Nggak cocok sama muka kamu," ujar Resta sadis, memutar bola mata. "Ini bukan drama.
Papi : [ Papi pasti tahu kalau kamu tidak datang. Jangan bikin malu papi.] Gyan berdecak kesal. Jika bukan karena pesan itu dia tidak akan mungkin berada di sini. Di rumah besar Surya Wiratama yang tengah mengadakan pesta bertajuk welcome home Amanda. Berlebihan. Bertahun-tahun Gyan di NYC dan Kanada, tidak pernah tuh dia bikin pesta begini. Pria itu mencibir. Sangat tidak berguna dan tidak ada manfaatnya sama sekali. Oke, dia hanya perlu setor muka setelah itu balik. Jangan lupa selfie untuk dikirim ke papinya, bukti bahwa dia hadir di pesta Amanda. Dengan malas, Gyan menyambar blazer di kursi sebelah. Mendadak dia teringat Resta yang juga diundang ke pesta ini. Gyan membuang napas. Keduanya masih perang dingin. Jujur, dirinya merindukan wanita itu. Ingin memeluk dan menciumnya, tapi tiap kali ada dorongan ingin berbaikan ingatannya kembali ke pesan sialan Aaron itu. "Aku harap dia nggak nekat datang," gumamnya sembari mengenakan blazer. Setelahnya dia keluar dari mobil, dan sadar
Mau tahu rasanya terdampar di tempat asing sendirian? Atau rasanya berbeda sendiri sementara orang-orang sekitar kompak seragaman? Itulah yang dirasakan Resta sekarang. Dia tertegun di tempat begitu kakinya menginjak taman rumah keluarga Surya Wiratama. Tempat di mana pesta putri bungsu orang besar itu berlangsung. Resta sampai harus mengecek kembali pesan yang Amanda kirim beberapa hari lalu untuk memastikan dia tidak salah kostum. Berulang kali membaca, isinya tetap sama dan tidak ada perubahan atau bahkan ralat pesan dari Amanda. Resta menelan ludah melihat para tamu undangan. Dia bahkan sempat memastikan tidak salah alamat pada salah satu pelayan yang kebetulan lewat. Siapa tahu alih-alih pesta Amanda dia malah nyasar ke tempat prosesi pemakaman. Pasalnya dirinya saat ini mengenakan gaun warna merah menyala, tapi tamu yang hadir semuanya menggunakan outfit berwarna hitam. Coba bayangkan? Kesialan macam apa yang dia hadapi sekarang? Kalau bisa tenggelam ke dasar bumi saat ini jug
Gyan meremas gelas dengan pandangan lurus tertuju pada Resta yang tengah mengobrol dengan Aaron. Dia juga melihat bagaimana wanita itu tersenyum dan terkekeh. Giginya di dalam rongga mulut saling gemeretak menahan kesal. Dia mendengus kencang begitu melihat Aaron menggiring wanita itu ke stand-stand makanany yang tersedia. "Ada yang panas, tapi bukan api," celetuk Marsel. "Ada yang ngebul, tapi bukan asap," sambung Vino. Kedua manusia itu lalu tergelak melihat wajah Gyan yang makin suram. Vino menepuk-nepuk pundak Gyan. "Slow, Man. Aaron cuma menganggap Resta seperti adik sendiri kok. Resta kan sahabat Joana. Mungkin cuma sedikit iseng, tapi kan wajar namanya juga laki. Asal isengnya nggak kayak si kunyuk di samping lo itu." Vino melirik Marsel seraya cengengesan. "Bangsat, kayak lo nggak aja," timpal Marsel memutar bola mata. "Eh, tapi. Kalau kalian pacaran kenapa nggak datang barengan? Kalian lagi berantem?" Pertanyaan Marsel membuat Vino ikutan mikir. "Jangan bilang ini buntut
Sekilas Resta melihat sosok Gyan, tapi kemudian menghilang. Dia yakin 100 persen pria itu datang ke pesta Amanda. Hanya saja sudah beberapa lama di sana Resta belum juga melihat dengan jelas lelaki itu. Di depannya Aaron masih bercerita tentang hotel yang dia kelola di Nusa Penida. Hanya segelintir yang bisa Resta tangkap dengan jelas. Selebihnya seperti kerumunan suara lebah. "Halo," sapa seseorang membuat Resta menoleh. "Masih ingat aku?" Untuk sesaat Resta mengerutkan dahi. Dan tak berapa lama adegan ciumannya bersama Gyab di atas dek kapal berkelebat, secepat kilat kepalanya langsung mengingat pria yang tersenyum lebar di hadapannya ini. "Marsel?" tanya Resta memastikan. Marsel tersenyum sok cool seraya menyugar rambutnya yang cepak. "Ternyata kamu masih ingat meskipun aku dengan rambut baru." "Iya, kamu terlihat berbeda dari waktu itu." "Hei, sodara Vino. Jangan memonopoli gadis cantik. Lo seharusnya berbagi sama kita." Aaron terkekeh lantas menyeruput minumannya. "Dia buk
Belum sempat Gyan menemui Resta, dua orang pria dengan pakaian serba hitam menghampirinya. Dua pria itu bahkan mengenakan kacamata hitam saat malam begini. Selama beberapa saat keduanya terlihat memberitahu sesuatu kepada Gyan. Dan tidak lama dari itu seperti kerbau yang dicocok hidungnya, Gyan mengikuti kedua langkah orang itu. Dia mengurungkan niatnya menemui Resta dan dibawa menjauhi area pesta. Langkahnya menuju bangunan utama yang bisa Gyan prediksi kediaman keluarga Wiratama. Gyan terus mengikuti dua orang itu hingga sampai di ruang keluarga rumah mewah tersebut. Di sofa panjang dengan hamparan mantel kulit macan, netra birunya menangkap sosok Surya Wiratama yang sedang menyesap sebuah cerutu. "Selamat malam, Pak Surya," sapa Gyan tersenyum tipis. "Selamat malam, Putra Daniel," sambut Surya. Dia menyerahkan cerutunya kepada salah seorang yang mengantar Gyan ke rumah ini tasi sebelum berdiri dan mempersilakan Gyan duduk dengan ramah. "Terima kasih karena sudah datang ke pesta
Resta menggigit bibir kuat-kuat. Tubuhnya menggigil padahal Gyan sengaja mematikan AC mobil. Selama perjalanan menuju apartemen sebelah tangan Gyan bahkan terus menggenggam tangannya. Tidak ada efek apa pun di tubuh Resta kecuali hatinya yang menghangat. Pria itu masih peduli padanya. Resta pikir selama beberapa hari ini Gyan benar-benar marah. Demi apa pun dia ingin berbaikan dengan lelaki itu, tapi jarak yang Gyan pasang membuat nyalinya menciut untuk mendekat. Sesampainya di unit, Gyan menggiring Resta ke kamarnya. "Duduk. Akan kusiapkan air hangat." "Enggak us—" Punggung Gyan sudah lebih dulu masuk kamar mandi tidak peduli ucapan Resta. Kembali Resta menggigit bibir, dia mengeratkan blazer yang menyampir di tubuhnya, dan memutuskan menurut saja. Namun setelah beberapa saat menunggu, tanpa alasan yang jelas Resta merasa gelisah. Dia beranjak berdiri, menatap pintu kamar mandi sejenak, sebelum memutuskan menyusul Gyan masuk ke sana. Kran air di bathtub menyala. Sementara itu Gya