Hari terus berganti, setiap kami mencoba. Aksen selalu gagal sebelum klimaks. Aksen bahkan mulai tertutup meski semua kebutuhan dan keinginanku dicukupinya. Jujur, aku sedikit frustasi melihat sikap Aksen seperti memiliki dua kepribadian ganda. "Bang aku izin bertemu dengan sahabatku, ya," ujarku padanya yang sedang sibuk dengan banyak laporan."Aku antar, ya, Sayang," balasnya. Dia memang seromantis itu."Aku diantar supir saja, Abang lanjutkan kerjaannya."Dia justru menarikku dalam pelukannya. Aku menyukai hal ini, hal yang tidak kudapatkan pada mantan suamiku dulu. Namun, tetap saja kebutuhan batinku memaksaku untuk meminta lebih dari ini."Apa kamu mulai bosan denganku, Sayang?" Aksen bertanya seperti mengetahui isi pikiranku."Bosan kenapa?""Kita belum seperti pasangan suami istri yang lainnya," jawabnya lagi."Sayang harus mengubah pola pikir, harus rileks agar Abang tidak stress." Dia seperti anak kecil yang menangis dipelukanku. "Thank you, Beb. Aku pasti berjuang untuk hu
"Kamu harus bersabar, karena tak ada yang instan di dunia ini," ucap Diana menasehatiku."Iya, Din.""Lihat saja, kalau dia sudah kembali dengan rasa percaya dirinya, mungkin kamu dibuat kewalahan," kata Diana."Huhu, takut ...."Akhirnya aku dan Diana pamitan, tak ingin Aksen curiga karena aku pulang kelamaan. "Mon, botol minummu jan lupa bawa," ucap Diana yang memberiku botol minuman. Perasaan aku tidak membawa botol."Tadi ada di tasmu, aku tidak bawa botol," ucap Diana lagi. Mungkin Aksen yang menaruh botol karena dia selalu menjaga kesehatannya. Pulang curhat dari Diana, aku langsung mengatur strategi. Selain itu aku kepikiran dengan ucapan Diana, bisa jadi hasil tes dipalsukan. Apa, iya Aksen punya kelainan? Jujur aku kepikiran dengan masalah Aksen ini. Apalagi Aksen orang yang begitu teliti menjaga kesehatannya."Sudah pulang sayang?" tanya Aksen yang langsung merangkulku. Dari segi romantis bisa dikatakan dia sangat normal, tapi mengapa dia selalu menyerah ketika sedang di
POV Aksen."Sampai kapan kamu akan anggurkan istrimu?" tanya Fatih yang biasa menanganiku setiap hari di rumah sakit. Hari ini kami bertemu di restoran dekat dengan kantorku."Aku ingin, tapi kenapa milikku tak bisa normal seperti yang lainnya.""Waktu muda kamu sangat menjaga kesehatanmu, tentu ini tidak masuk akal," jawab Fatih. Dia saja tidak percaya, aku pun juga tidak percaya."Aku sudah kesana kemari untuk berobat, bahkan beberapa hari ini aku lebih mengurung diri. Aku malu sama Monica.""Kenapa harus malu, ini masih manusiawi. Kalian dokter pasti tahu cara menanganinya."Benar kata Fatih, tapi mengapa aku mulai tidak percaya diri. Ditambah dengan hasil medisku, secara kasat mata aku bahkan begitu terlihat normal. Apakah ini bentuk teguran yang diberikan Tuhan padaku. "Berusahalah, kalian itu masih muda. Masih kuat.""Entahlah, Fatih. Aku mulai putus asa." "Kamu sudah mencoba obat kuat?" ha? obat kuat? ada-ada saja dokter Fatih."Aku takut pakai obat gituan, kita dokter pasti
Ternyata Aksen perkasa juga, Aku tak menyangka minuman yang diberikan Diana ternyata obat kuat? Diam-diam Diana ternyata menyiapkan minuman yang tidak pernah kupikirkan itu. Seperti bayi, Aksen kelelahan. Namun, ada kepuasan dan binar di wajahnya. Kepercayaan dirinya mulai muncul."Ternyata abang kuat juga," kataku sambil membelainya, dia sedang tertidur pulas di dipelukanku. Rasanya tidak bisa dilukiskan dengan kata-kata. Cinta tentunya semakin melekat."Sudah bangun?" Tanya Aksen yang masih merangkulku. "Sudah dari tadi, abang seperti bayi.""Anggap aku bayimu," jawab Aksen sambil mencium keningku."Coba cek air di botol itu apakah habis?" tanyanya nyengir. Aku juga ikut tertawa karena yang memberikan botol itu adalah Diana. Ternyata itu air sakti yang dikasih Diana. Kalau tahu begini aku meminta botol yang besar dari Diana."Terima kasih karena bersabar denganku," ucapnya lagi."Aku yang berterima kasih padamu sayang," balasku sambil memeluknya. Rasanya nikmat sekali setelah mele
Sampai lokasi acara, tamu undangan sudah mulai hadir. Aksen terus menggandengku tanpa malu. Aku pun juga tak mau kalah, kapan lagi digandeng laki-laki tampan seperti Aksen, jangan tanya bagaimana tatapan banyak orang pada kami. "Kalau begini, tiap hari ajak istri kondangan.""Tapi aku malas, Bang, ikut acara ginian. Males cari muka.""Hahaha ... ada-ada saja istriku, makin cinta," bisiknya. Dia kalau begini pasti agak lain."Hooh, sampe pesan seribu botol di Diana, baguuus!""Hahaha ... Ketahuan, ah, temanmu cepet bocorin!""Iya, itu karena aku pesan seratus botol, eh, ternyata ada yang lebih banyak." Ya Allah, Aksen sampai menahan perutnya menahan ketawa.Ini mungkin definisi jodoh se-frekuensi, bisa gokil dimana-mana."Helo, Mr. Aksen. Bahagia sekali!" Salah satu tamu undangan mendekati kami, mereka langsung bersalaman. Sementara Aku tetap menjaga marwahku tidak bersalaman dengan laki-laki."Ini siapa?" tanya Salah satu dari mereka. Aksen seperti takut lepas, dia terus menggandeng
"Saya terima nikah dan kawinnya Nina Humaira dengan mas kawin seperangkat alat salat dibayar tunai." "Sah?" "Sah!" semua tamu undangan yang hadir ikut bahagia dengan pernikahan kami. Harusnya kami, tapi itu tidak denganku. Aku Nina Humaira gadis desa yang nikah entah dengan pangeran darimana. Tiba-tiba tanpa basa basi hari ini aku dipersunting menjadi istrinya. Namanya Reza Adytama katanya laki-laki dari kota. Entahlah, tapi dia hanya mampu memberiku mas kawin seperangkat alat salat. Satu minggu yang lalu seorang laki-laki datang ke rumah katanya ingin mempersuntingku menjadi istrinya. Anehnya, ayah dan ibuku langsung saja setuju. "Menikahlah, ayah ridho kamu menikah dengannya." "Aku baru saja pulang, yah. Apa ini alasannya aku dipaksa pulang untuk menikah?" Aku baru saja pulang dari desa terpencil untuk menjadi sukarelawan. Ini pun aku dipaksa untuk segera sampai rumah, usut punya usut ternyata aku dipaksa untuk menikah dengan orang yang tidak kukenal. Dari segi umur aku masih
Aku menarik nafas lalu memghembuskannya pelan. Apa aku kabur saja, secara malam pertama belum kami lakukan. Itu artinya aku masih seperti gadis alias perawan. Ayah dan ibuku melambaikan tangan, apa mereka tahu jika laki-laki bernama Reza ini sudah menikah. Astagfirullah sudah mahluk tidak jelas, kemungkinan juga aku adalah istri keduanya. Dia masuk dan duduk disebelahku. "Berangkat pak Jum ...." "Siap Den!" Lagi-lagi aku menghembuskan nafas sambil berdo'a semoga keadaanku baik-baik saja. "Bisu lagi? Santai aja, kamu kayak mau perang!" Matanya dikedipkan sok cool banget ini orang. "Kamu sudah punya anak?" tanyaku memberanikan diri, tidak tahan dengan semua rasa penasaran ini. "Iya, memang kenapa?" "Berarti kamu telah menipu keluargaku, Reza. Bukannya kamu mengaku perjaka?" "Siapa bilang?! Nikmati saja kehidupan baru kita. Kamu sudah menjadi istriku dan orang tuamu sudah menyerahkanmu kepadaku jadi tidak perlu komplen," ucapnya penuh penekanan. Lagi, aku dilanda perasaan
"Daddy ngapain di kamar ini ...?" syukur akhirnya aku terselamatkan. Brayen nyelonong ke kamar persis seperti Daddy nya. Anak dan bapak kelakuannya sama saja. Si Reza jadi salah tingkah, emang enak."Ini Daddy mau cek saja. Agar tamu kita nyaman." Bingung kan mau jawab apa. Oke sip, aku dibilang tamu disini."Ayok ke kamar, Brayen ingin cerita." si bocah mengajak Reza untuk menemaninya tidur."Siap, komandan." Akhirnya dia keluar juga. Dan secepat kilat aku langsung kunci pintu jangan sampai kebablasan yang kedua kali. Sudah duda, punya anak, sok keren lagi itu orang. Besok adalah babak baru bagiku. Aku harus menyiapkan amunisi selama disini. Selain itu, sepertinya aku harus buat perjanjian dengan si Reza agar tidak semena-mena denganku. Meski berasal dari desa setidaknya aku harus punya strategi untuk mengalahkan musuh. Semangat, Nina!***Waktu menunjukkan pukul empat pagi. Bangun tidur aku langsung salat tahajud dilanjutkan tilawah dan salat subuh. Setelah ini aku akan langsung m