Share

5. Ngidam

Aku harus mulai membuang semua kenanganku bersama Farel, karena bagaimanapun kini aku sudah menjadi istri Arsya. Aku harus menghormatinya karena aku sudah memutuskan untuk menerima Arsya sebagai suamiku.

Diawal pernikahan aku mulai mendapat teror yang kurang enak dari ibu mertuaku. Suamiku diwajibkan setiap hari mengunjungi rumah orangtuanya. Namun aku tidak keberatan karena menurutku anak laki-laki memang hak ibunya. Untuk urusan keuangan aku menerima gaji suamiku yang ternyata sudah mendapat potongan cicilan dari bank.

Suamiku bilang itu karena sisa cicilan saat dia kuliah, katanya biaya kuliahnya ditanggung sendiri. Aku sempat mengernyit heran, masalahnya honorku dulu jauh lebih besar dari gaji yang kuterima dari suamiku dan aku hanya bisa pasrah menerimanya.

Kemudian semua pendapatan suamiku yang diluar gaji juga diminta oleh ibu mertuaku, sekali lagi aku hanya bisa mengelus dadaku yang sesak. Aku akhirnya bersikap tidak peduli lagi, terserahlah. Namun setelah melihat kondisiku seperti ini rasanya aku ingin bekerja kembali.

Padahal keinginanku tadinya adalah cukup menjadi ibu rumah tangga yang mengurus semua keperluan di rumah. Ternyata tidak enak, aku yang terbiasa mandiri dan tidak suka meminta. Kini hal itu harus terjadi padaku.

Dan yang paling membuat aku murka ketika suamiku menanyakan kemana perginya uang gajinya yang tidak seberapa itu belum satu bulan sudah habis. Suamiku mencurigai aku sudah memberikan sebagian gajiku untuk keluargaku. Padahal untuk makan sehari-hari saja aku masih diberi oleh ibuku.

Disitulah kebencianku semakin memuncak, tekadku untuk bekerja semakin besar demi menjaga harga diriku yang tercabik. Jangankan untuk membeli make up dan baju. Untuk kebutuhan dapur saja aku masih dibantu keluargaku. Boro-boro untuk jalan-jalan dan makan diluar.

Padahal dulu saat aku bekerja, aku bisa memenuhi kebutuhan orangtuaku bahkan aku sering membelikan barang-barang bagus seperti tas, baju, supatu bahkan cincin emas untuk adik-adikku dan ibuku. Kini untuk diri sendiripun tak mampu. Terkadang memang ada rasa penyesalan karena ternyata menikah tanpa rasa itu tidaklah mudah menjalaninya.

***

Aku ternyata langsung diberi kepercayaan oleh Allah diberi momongan dengan cepat, aku tentu saja senang tapi sekaligus sedih. Aku merasa tidak nyaman sama sekali dengan kondisiku kini.

Mamaku kini tidak pernah mengomentari apapun setelah melihat sendiri bagaimana kehidupanku setelah menikah. Aku yang biasanya setiap bulan selalu memberi Mama dan adik-adikku kini harus gigit jari karena aku sudah tidak bekerja lagi.

Apalagi Papaku yang semakin irit bicara, aku rindu Papaku yang dulu. Kami sering berbagi cerita dan tawa, kadang kami suka pergi  menghabiskan waktu bersama. Menikmati liburan dikala senja, menatap matahari yang akan tenggelam dari singgasananya. Momen itu kini tidak ada lagi, hanya memikirkan kesibukan masing-masing.

Aku yang terbiasa bekerja jadi sering bingung, sampai aku akhirnya mencoba menerima pesanan kue lebaran saat itu. Alhamdulillah ternyata lumayan bisa untuk menambah pemasukan dapurku.

Namun karena kandunganku semakin besar, akhirnya aku berhenti dulu membuat kue.

Saat kandunganku masuk di usia 12 minggu, aku baru bisa makan nasi. Selama ini aku hanya makan buah dan sayur karena sering merasa mual. Kondisiku ini membuatku tidak bisa melakukan pekerjaan dengan cepat. Aku juga sering merasa cepat lelah.

***

Pulang bekerja, Papa hanya melirikku sekilas karena melihat aku kepayahan saat mual menyerangku. Entah kenapa akhirnya Mamaku meminta kami tinggal kembali dirumahnya. Namun Mama bilang tidak tega meninggalkan ku sendiri disaat suamiku bekerja.

"Assalamu'alaikum, terdengar suara Papa mengucapkan salam saat masuk le rumah. " Dyara, kamu masih muntah-muntah ya. Papa tadi beli rujak buah barangkali kamu suka. " Aku melonjak senang saat Papa memberikan rujak itu.

"Makasih Pa, aku langsung menerima dan dengan antusias aku lahap memakannya. Papa tersenyum melihat aku begitu menikmatinya.

Aku memang pernah meminta rujak buah di malam hari, tapi Arsya tidak pernah menggubris keinginanku sampai akhirnya hari ini Papa yang membelikan untukku. "Mas,..aku pengen rujak buah yang pedes! " pintaku malam itu. Tapi Arsya bilang sudah malam, besok saja karena dia sudah ngantuk.

Aku hanya diam, sejak saat itu aku tidak pernah lagi meminta apa-apa pada suamiku. Mungkin Papa tahu hal itu, sampai hari ini Papa membelikannya.

Aku menatap kepergian Papa yang meninggalkanku saat sedang makan sambil tersenyum puas.

Aku menyusut ujung mataku yang sudah mengeluarkan air mata haru, begini ya rasanya kalau sedang hamil tapi tidak diperhatikan. Apalagi suamiku sering kena shift malam, bahkan kadang sering menggantikan temannya memiliki anak kecil karena sakit, atau ada keperluan lain.

Aku lebih sering ditinggal, makanya Mamaku meminta aku untuk tinggal kembali bersamanya. Sedangkan Arsya sebenarnya merasa keberatan dengan permintaan Mamaku. Dan aku lebih mengikuti keinginan Mamaku, daripada aku tinggal dirumah kontrakan yang jauh kemana-mana juga seram karena rumah kontrakanku dikelilingi rumah-rumah yang kosong, sedangkan rumah itu didepannya ada tanah kosong yang ditanami pohon kacang.

Siang hari saat ditinggalpun aku sering takut dan kesepian, hingga aku sering meminta adikku untuk menemaniku. Sedangkan mertua juga keluarga suamiku boro-boro datang menengok, bertanya kabarpun tidak.

Aku lagi-lagi merasakan suasana yang tidak enak saat suamiku mengajakku untuk mengunjungi orangtuanya. Sebenarnya selama ini suamiku sering kesana setelah pulang kerja. Tapi kali ini dia ingin mengajakku.

Sebenarnya aku agak malas, karena kondisiku juga sedang tidak baik-baik saja. Akhirnya aku memaksakan diriku untuk ikut suamiku demi menghormati beliau.

Dan seperti yang sudah kuduga sebelumnya aku memang belum bisa membaur dengan mereka, apalagi kakak-kakak perempuan suamiku sering berbisik-bisik antar mereka. Aku hanya terdiam, memutar bola mataku jengah. Tentu saja membuat aku semakin tidak nyaman berada diantara mereka.

Perkenalanku dengan suamiku cukup singkat dan belum mengenal satu sama lain dengan baik. Sehingga aku juga merasa belum bisa mengenali karakter mereka satu persatu. Yang pasti aku masih banyak terkaget-kaget dengan tingkah mereka, ada yang hobinya suka mengatur dan memerintah, ada juga yang senangnya bergosip nyinyirin orang-orang disekitarnya, ada juga yang senangnya membanggakan dirinya.

Aku hanya bisa tersenyum menanggapi kelakuan mereka, sedangkan suamiku sedang asyik bermanja-manja pada ibunya. Aku yang melihat pemandangan seperti itu sama sekali tidak tertarik apalagi tersentuh,  karena terlalu drama bagiku.

Rasanya aku ingin segera menyudahi pertemuan keluarga ini, aku ingin beristirahat dan santai dirumah. Tapi kulihat suamiku malah bergerak ke dapur mencari makanan. Karena postur suamiku tinggi besar, jadi porsi makannya bisa tiga kali lipat dariku yang bertubuh mungil dibandingkan mereka.

Keluarga suamiku rata-rata makannya banyak baik yang laki-laki maupun perempuan. Kadang aku makan bersama mereka rasanya sudah kenyang duluan melihat porsi makannya yang rata-rata berukuran jumbo.

Ah, tapi sudahlah aku tidak mau memikirkan itu. Kini aku hanya ingin fokus memberi asupan nutrisi yang lebih baik untukku juga calon anakku ini. Aku memang tidak bisa makan dengan porsi besar, namun karena kini ada kehidupan lain juga diperutku. Maka mau tidak mau porsi makanku harus ditambah demi perkembangan jabang bayiku.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status