Share

4. Ijab Kabul

Akhirnya yang ditunggu tiba juga, calon pengantin laki-laki dengan keluarga dan kerabatnya mengantarkan ke kediaman calon pengantin perempuan.

Mereka disambut kedatangannya oleh keluarga calon pengantin perempuan dan segera mempersilahkan mereka masuk sambil menerima seserahan yang dibawa oleh pihak calon pengantin laki-laki.

Tibalah saatnya acara inti setelah didahului dengan sambutan-sambutan dan pembacaan ayat suci Al Qur'an. Kami semua mendengarkan dengan khidmat lantunan ayat suci Al Qur'an yang dibacakan oleh Om Ahmad adik ipar Papa.

Saat akan dilakukan ijab kabul terjadi bisik-bisik antara Papa dengan Penghulu. Ternyata Papa tidak bersedia menjadi waliku. Aku terhenyak, demikian pula dengan keluarga besar Papaku. Mama hanya terdiam tidak bereaksi apapun.

Aku hanya diam menatap Papa, sedemikian tidak setujukah Papa sampai tidak mau menjadi waliku. Papa benar-benar menolak untuk menikahkan aku dengan Arsya. Akhirnya aku menggunakan wali hakim, aku sendiri tidak mengerti kenapa jadi begini.

Papa langsung mundur dan mempersilakan pihak penghulu untuk melanjutkan pekerjaannya. Mama hanya melirik Papa tanpa mengatakan apapun.

Sekejap kemudian keheningan ini berakhir setelah akhirnya dilafalkan ijab kabul sampai selesai.

Seketika terdengar suara " SAH!! ",

Arsya menyelesaikan tugasnya dengan baik tanpa protes kepada Papa. Tatapan mata Papa yang tajam padanya membuat Arsya menunduk. Aku yang melihat pemandangan itu hanya bisa memejamkan mata sesaat.

Entah apa yang ada dalam pikiran Papa saat itu. Aku benar-benar merasakan kekecewaan Papa sangat dalam. Namun tidak kurasakan tanggapan apapun dari pihak keluarga Arsya, mereka benar-benar tidak peka dengan apa yang baru saja terjadi. Bahkan terkesan sangat tidak peduli.

Aku menghirup udara sebanyak-banyaknya, aku takut akan ada yang terjadi lagi setelah ini. Ya Allah apakah ini pertanda tidak baik? Lagi-lagi aku merasa takut dengan semuanya ini.

Flash back

Seminggu sebelum kami menikah dan setelah aku menemui Farel, Arsya juga

menemuiku saat aku baru tiba dari ibukota. Kami terlibat pembicaraan yang menurutku cukup menguras emosinya.

Aku ingat ketika Arsya menceritakan tentang mantan kekasihnya yang seharusnya dia nikahi. Sebenarnya aku malas meresponnya karena menurutku memang tidak penting. Yang bisa kulakukan saat itu hanya menjadi pendengar yang baik saja.

Mungkin Arsya sedang membutuhkan orang yang siap mendengar keluh kesahnya. Aku hanya diam tidak bereaksi apapun, namun Arsya tidak peduli. Kemudian mengalirlah cerita dari bibirnya. Bagaimana mantan kekasihnya Lyana yang seharusnya kini bersanding dengannya malah mengkhianatinya.

Aku terkejut saat melihat air mata yang menetes dipipinya, kelihatannya Arsya terlalu  berharap pada mantannya untuk setia padanya. Namun ternyata selingkuhan mantannya yang bernama Deni adalah pesuruh dirumah keluarga Lyana, jelas ini sangat melukai harga dirinya.

Awalnya Lyana tidak mau mengakui, namun akhirnya setelah dipaksa mengaku setelah bertemu dengan pihak keluarga Arsya barulah Lyana mau terbuka. Tadinya pihak keluarga Lyana ingin Arsya yang bertanggungjawab menikahi Lyana.

Keluarga Lyana menginginkan Arsya menjadi ayah dari janin yang sedang dikandung Lyana. Tentu saja Arsya menolak mentah-mentah karena merasa tidak pernah menyentuh Lyana. Keluarga Lyana merasa terhina dengan penolakan Arsya.

Aku yang mendengar ceritanya hanya termangu, apakah Arsya berharap simpati darinya dan berharap aku tersentuh mendengar ceritanya. Ternyata aku menanggapinya dengan diam dan tidak berkomentar apapun.

Keluarga Lyana yang sudah merasa malu akhirnya segera meninggalkannya. Lyana hanya bisa menangis menyesali kebodohannya. Dia sama sekali tidak menyangka akan mengalami hal memalukan seperti ini. Kini keluarganya sudah tidak mempedulikannya lagi.

Tidak lama kemudian Arsya melanjutkan kembali ceritanya. Akhirnya Lyana menikah dengan Deni dan dikaruniai seorang anak laki-laki.

Setelah selesai menceritakan semuanya Arsya menghapus air matanya, aku hanya diam tidak bereaksi apapun. Sampai akhirnya dia mengatakan ingin serius membina rumah tangga denganku. Kembali aku menatap netranya yang masih ada sisa air mata, aku hanya menarik nafas panjang.

Kalaupun aku menolaknya aku harus berpikir ulang, karena yang akan aku terima pasti kemarahan dari Mamaku.

Aku hanya mengangguk perlahan, saat ini yang terbayang hanya reaksi Mamaku jika aku membatalkan pernikahan ini.

Begitulah yang terjadi dan berakhir di acara ijab kabul hari ini. Semua menunjukkan rasa puas karena ijab kabul berjalan dengan lancar. Kekhawatiran yang tadi sempat terpancar di wajah-wajah mereka sirna sudah.

Resepsi berjalan dengan baik tidak ada hambatan apapun. Aku hanya tersenyum sekedarnya, rasanya sudah malas mengikuti acara ini. Lelah dan ingin segera beristirahat, tiba-tiba datang rombongan teman-teman dari ibukota. Tentu saja senyuman langsung menghias bibirku.

Aku memeluk mereka satu persatu, rasa bahagia menyeruak didadaku. Kami larut dalam rasa haru karena sejak saat ini aku sudah berhenti bekerja. Aku akan menjadi istri yang baik dan mengikuti imamku.

Saat aku sedang fokus menatap teman-temanku, datanglah sesosok laki-laki yang selalu membuatku tersenyum. Aku reflek melirik laki-laki disampingku yang kini berstatus suami. Namun yang kulirik rupanya tidak menyadari jika akan kedatangan tamu istimewa yang telah membuat hatiku hancur berkeping.

Dia hadir membawa keluarganya, maminya juga adik-adiknya. Mereka menyalamiku, saat Farel menyalamiku dia berbisik "Maaf." Aku hanya membuang muka. Ternyata dia juga mengatakan permohonan maafnya kepada Mamaku.

Mendapat kata-kata itu Mamaku hanya melengos dan tidak meresponnya sama sekali. Mungkin Mamaku masih sakit hati karena tidak ada tanggapan saat beliau meminta kejelasan hubungan kami.

Lebih baik aku memang pura-pura tidak tahu. Merekapun membawa kado yang cukup besar untuk kami, kemudian menikmati makanan yang kami sediakan. Secara fisik tidak terlihat sama sekali kesedihan dan lukanya, atau jangan-jangan dia tidak merasa terluka sama sekali dan aku saja yang ke ge-er an.

Ya sudahlah, aku juga harus menunjukkan kalau aku baik-baik saja jangan sampai kehancuranku terlihat oleh mereka. Aku harus menegakkan kepalaku, terlihat bahagia agar mereka tahu kalau aku tidak terluka sama sekali. Hari ini aku memang harus memakai topeng sampai acara ini selesai.

Pernikahan sudah usai, tapi apa yang kurasa hanya kehampaan. Aku tidak berani menampakkan wajah tidak sukaku saat memasuki kamar pengantin kami. Pernikahan kami memang sederhana, tidak menggunakan fasilitas hotel.

Kami  menikah disebuah gedung pertemuan setelah sebelumnya melakukan akad nikah dikediaman mempelai perempuan yaitu dirumahku.

Lelah mendera tubuhku, karena saat menikah kondisiku sedang kedatangan tamu bulanan maka tidak ada malam pertama. Kami tidur cepat karena sudah merasa sangat lelah setelah menjadi raja dan ratu sehari.

Menurutku memang tidak ada yang istimewa, semuanya biasa saja. Setelah menikah kami masih tinggal dirumah kedua orangtuaku selama kami belum memiliki rumah ataupun menyewa rumah.

Setelah pernikahan usai, aku melihat Papa jadi semakin pendiam. Kami yang biasanya berkumpul dan bercengkerama di sore hari kini sudah tidak lagi. Jika Papa pulang kerja, langsung masuk kamar atau nonton tv sebentar setelah sebelumnya mengisi perutnya terlebih dahulu.

Sampai akhirnya setelah seminggu kami tinggal dirumah Mamaku kini kami keluar untuk menempati rumah yang disewa suamiku. Pemilihan rumah tinggalku juga yang mencarikan mertuaku.

Ternyata rumah yang disewa suamiku jauh dari kediaman Mamaku. Aku hanya diam menatap rumah yang baru saja kami sewa. Aku pasti takut jika suamiku berangkat mendapat shift malam, maka aku pastikan aku akan menunggu dirumah Mamaku sampai suamiku pulang.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status