Share

3. Tenda Biru

Dering telfon terdengar dari rumah ibu kos, setelah itu terdengar teriakan memanggil namaku. "Mbak Dyara ada telfooon!! " Aku bergegas menghampirinya, "iya terimakasih mas."

Ternyata yang memanggilku Ryan anak kedua ibu kosku. Ryan mengangguk kemudian pergi, aku menghembuskan nafasku lega. "Hallo Dyara, ini aku, " Aku terhenyak, ada apalagi Farel menelfon aku, kenapa juga harus pakai telfon rumah.

Eh aku menepuk keningku, hpku dalam kondisi mati dan sedang di cas. Tentu saja Farel tidak bisa menghubungiku.        " Ya, ada apa Rel. Bukannya tadi kita sudah bertemu? " Farel tertawa pahit, kita belum selesai bicara tapi kamu sudah pergi."

"Memangnya apalagi yang harus dibicarakan, lagipula tidak ada jalan keluar dari kamu. Aku tidak mau nanti malah dicap anak durhaka karena tidak mengikuti keinginan orangtua."

Kata-kataku membuat Farel terdiam, kemudian Farel mengatakan kalau dia juga tidak mau jadi anak durhaka. Kini giliran aku yang terdiam. "Maaf karena aku tidak bisa menikah denganmu sekarang, sebenarnya aku ingin sekali. Seperti katamu tadi, aku juga tidak mau dicap anak durhaka oleh Mamiku."

Aku mulai menduga-duga kemana arah pembicaraannya. Menurutku menjelaskan sekarangpun sudah tidak ada gunanya lagi, apalagi undangan pernikahanku pasti sudah mulai disebar.

"Aku sudah diamanati oleh Mamiku Dyara, aku adalah tulang punggung keluarga. Kakakku semuanya perempuan yang memiliki masalah dengan suami-suaminya. Adikku 2 orang masih membutuhkan biaya untuk kuliah, dan kamu sendiri tahu kalau Papiku sudah meninggal. "

Sampai disini penjelasan Farel aku tidak berani menyela, aku hanya mendengarkan semua keluh kesahnya.

"Dyara, aku tidak akan tega membiarkan Mamiku yang membiayai mereka semua. Aku anak laki-laki pertama yang menjadi harapan Mamiku satu-satunya, karena beliau tidak memiliki penghasilan kecuali dari pensiunan Papiku."

Aku membuang nafasku kasar, menurutku kalau dia serius mencintaiku

seharusnya dia menikahiku. Dia tidak perlu ketakutan akan kekurangan jika menikah denganku. Allah tentu saja sudah mengatur rejeki setiap manusia.

Tapi aku bisa apa, toh tetap saja yang bisa mengambil keputusan Farel bukan aku. Jadi jangan salahkan aku juga kalau aku akhirnya menerima lamaran Arsya.

Aku tidak lagi menanggapi omongan Farel, aku hanya diam mendengarkan dia bicara.

"Hallooo, Dyara..kamu masih mendengarkan aku kan?? " Aku lagi-lagi menghela nafas, kali ini agak panjang. Aku mencoba mengatur emosiku yang mungkin bisa saja meledak. Tapi aku tetap berusaha menahannya.

"Ya aku masih disini, " Jawabanku terasa getir, namun entah Farel merasakan atau tidak.

Jadi disini aku yang harus mengerti dan memahami Farel, sedangkan dia dengan lancarnya mengungkapkan alasannya tanpa beban. Baiklah aku rasa memang sudah tidak ada lagi yang perlu dibicarakan.

"Dyara, aku ingin kamu dengar nyanyianku sebentar saja. " Aku mengernyit heran, sejak kapan Farel suka bernyanyi. Selama ini aku jalan dengan dia, belum pernah sekalipun dia menyanyikan lagu untukku. Lalu diapun bernyanyi lagu Tenda Biru. Aku menutup mulutku agar suara tawaku tidak terdengar olehnya.

Terus terang aku ingin tertawa terbahak-bahak. Namun aku tak sampai hati, beginilah kalau kita bertemu pasti akan ada sesuatu yang lucu dan dijadikan bahan candaan. Dan disaat seperti ini Farel masih bisa melakukan itu.

Aku mendengar nyanyiannya sampai selesai sambil tersenyum, karena aku yakin Farel tidak tahu jika aku sedang tersenyum saat ini. Tidak terasa kami ngobrol hampir 2 jam lamanya. Telingaku sudah terasa panas, aku sudah bolak-balik memindahkan gagang telfon berkali-kali ke kiri dan ke kanan.

Sampai akhirnya Farel menyudahi obrolannya dan memintaku untuk berfikir lagi. Aku hanya bisa menelan ludah, ide gila apalagi yang ada dibenak Farel sehingga memintaku untuk memikirkan lagi langkah yang sudah ku ambil.

Akhirnya aku kembali ke kamar dan sudah tidak mood lagi melanjutkan membereskan barang-barang yang akan dibawa ke kampungku. Aku sudah tidak mau lagi memikirkan apapun, semua persiapan pernikahanku sudah hampir selesai seratus persen. Jangan sampai aku goyah gara-gara Farel memintaku untuk berfikir ulang tentang langkahku untuk menikah.

***

Farel menghembuskan nafasnya lega, bagaimanapun aku harus menjelaskan semuanya pada Dyara. Aku tahu kalau aku pengecut karena tidak berani menghadapi keluarga Dyara. Biarlah mereka berfikir negatif tentang aku.

Farel membaringkan badannya lelah. Aku memang tidak bisa membiarkan Mamiku bekerja keras untuk keluarga. Kali ini aku harus mengorbankan diriku untuk keluarga dulu. Aku hanya bisa mendoakan Dyara semoga bahagia dengan suaminya.

Hati Farel berdenyut nyeri, namun dia harus bisa menahannya. Ini sudah menjadi resikonya karena sudah mengambil keputusan membiarkan Dyara menikah dengan orang lain meskipun sesungguhnya dia tidak rela.

Tanpa terasa Farel terisak menangisi nasib cintanya yang tidak bisa lagi dia gapai. "Maafkan aku Dyara, maaf... "

Akhirnya Farel terlelap bersama kesedihannya. Dia benar-benar terluka, namun tidak ada yang bisa dilakukannya untuk menghentikan pernikahan Dyara.

***

Di sebuah rumah terlihat kesibukan mereka yang sedang mempersiapkan acara siraman ditempat mempelai wanita. Sore itu Dyara sudah menggunakan kemben untuk acara siraman dengan untaian melati dikepalanya.

Prosesi siraman akan segera dilakukan, sanak keluarga sudah berdatangan. Diawali dengan acara pengajian ibu-ibu dikomplek perumahan Dyara. Lalu dilanjutkan dengan acara sungkeman kepada kedua orangtua Dyara dan dilanjutkan dengan acara siraman oleh beberapa orangtua dari pihak keluarga Mama Dyara.

Papa menggendongku setelah selesai acara siraman ke kamar pengantinku. Sambil berbisik," semoga kamu kuat nak. Papa hanya bisa mendoakanmu." Aku hanya bisa mengangguk terharu, aku tahu Papa masih tidak rela melepas anak gadisnya dengan laki-laki yang menurutnya bukan pilihan terbaiknya.

Mama tidak memperhatikan kami, Mama masih sibuk dengan teman-teman pengajiannya. Papa sekali lagi menciumku penuh haru, netranya sudah berkaca-kaca kemudian pergi meninggalkanku menyerahkan pada perias yang akan memberikan treatmen perawatan pada tubuhku.

Aku hanya menatap punggung Papa yang mungkin sedang menahan air matanya dan hampir jatuh dihadapanku. Aku hanya menunduk pilu, semuanya sudah terjadi dan aku terus melangkah melewati semua ritual yang harus aku ikuti sampai besok acara ijab kabul dilaksanakan.

Saat acara sudah selesai, menjelang maghrib tiba- tiba hujan mengguyur tempat kami sangat deras, seperti ada badai yang menerjang. Langit yang tadinya cerah langsung gelap, kami panik segera menyingkirkan barang-barang agar tidak basah.

Aku juga heran saat menghubungi keluarga calon suamiku untuk mengantarkan air siraman yang terjebak hujan, ternyata ditempat mereka sama sekali tidak hujan. Kami tentu saja bertanya-tanya, apa yang sudah terjadi. Kami tinggal dalam satu kota yang sama hanya berbeda kurang lebih 8 km.

Namun saat itu kami tidak memikirkan apapun, sampai akhirnya tiba malam hari kami harus beristirahat. Papa meminta kami anak- anak perempuan tidur dikamar pengantin bersama. Papa tidur ditengah diapit oleh kami anak-anak perempuannya termasuk aku.

Kami sempat heran mendengar permintaan Papa pada awalnya, namun kami tidak bertanya apapun. Kami semuanya mengikuti keinginan Papa tanpa protes.Terus  terang kami semua tidak bisa tidur dengan nyenyak apalagi Papa terus memandangi kami.

Sampai tiba keesokan hari acara ijab kabul yang akan dilaksanakan dikediamanku. Semua terlihat sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Perias sudah datang sejak dini hari, calon pengantinpun sudah dirias sejak pagi. Keluarga calon pengantin juga sudah antri dirias sejak tadi, kesibukan juga terlihat didapur, ada yang menyiapkan makanan dan minuman untuk para perias.

Hingga akhirnya tibalah saat yang ditunggu-tunggu acara ijab kabul pengantin. Sambil menunggu pengantin laki-laki datang segera disiapkan juga meja dan bunga untuk dikalungkan pada calon pengantin laki-laki.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status