Kini David dan Lila kembali bekerja di kantor setelah menghabiskan waktu untuk berbulan madu di vila pedesaan. Setiap hari, mereka selalu disambut hangat oleh para karyawan DR. Kini DR pun menjadi kantor pusat dari tiga perusahaan.Sudut pandang orang-orang terhadap mereka pun cukup unik. David dan Lila dianggap seperti pasangan yang seimbang — David adalah gunung es yang dingin dan tinggi, sementara Lila adalah matahari yang hangat dan menyinari. Sungguh perbandingan yang menurut mereka cocok dan serasi. Bahkan setelah bulan madu pun David terlihat lebih ceria.Kini, status Lila di kantor bukan lagi sebagai sekretaris pribadi David, melainkan sebagai kepala perusahaan dari Mentari dan RH. Dengan jabatan barunya, mereka memiliki ruang kerja yang lebih luas dan nyaman."Meski kamu sudah bukan sekretaris pribadiku, tapi aku tidak akan membiarkan kamu menjauh dariku," tegas David sembari mencium pipi Lila di saat wanita itu lengah."Mas ...." cicit Lila tersipu malu. Apa lagi mereka masi
"Siang ini tidak ada jadwal, kan?" tanya David pada asisten kepercayaannya, Farhan."Untuk Anda tidak ada, Pak David," jawab Farhan.Lalu David menatap Lila. "Bagaimana denganmu, Sayang?" tanya pria itu.Lila menatap suaminya. "Sepertinya tidak ada jadwal meeting juga, Mas. Benar, kan, Cindy?" jawabnya sembari menoleh menatap Cindy, sekretaris yang dia angkat dari perusahaan Mentari."Iya, Bu. Hari ini sampai besok tidak ada jadwal meeting untuk Anda," jawab Cindy dengan sopan.David tersenyum tipis. "Baiklah. Kalau begitu sebaiknya kita pergi terlebih dahulu," ujarnya sembari beranjak dari duduknya.Pria itu kemudian berjalan mendekati meja kerja sang istri."Ke mana?" tanya Lila sembari menatap suaminya."Makan siang. Ayo," ajaknya lembut."Tapi ....""Tidak apa-apa, Sayang. Biar Farhan ditemani Cindy," ucap David sembari mengulurkan tangan kanannya."Baiklah," jawab Lila akhirnya setuju. Wanita itu pun segera beranjak dari duduknya dan menyambut uluran tangan sang suami."Kami perg
Sementara itu, Lila dan David sedang dalam perjalanan menuju ke sebuah restoran."Mas, sebenarnya aku juga ingin pergi makan siang berdua sama Mas," ucap Lila sembari menyandarkan kepalanya pada bahu sang suami yang sedang menyetir."Aku senang kalau kamu bilang begitu," sahut David."Hihi. Iya, Mas. Apa lagi, nih, sebenarnya aku mau nyomblangin Cindy sama Mas Farhan," ucap Lila yang kemudian menegakkan tubuhnya.David menautkan kedua alisnya kemudian menoleh sejenak dan kembali fokus pada jalanan di depannya. "Apa?""Iya. Tahu, nggak? Sebenarnya Cindy suka sama Mas Farhan," ucap Lila memberi tahu."Dari mana kamu tahu kalau Cindy suka sama Farhan?" tanya David tak mengerti."Kelihatan jelas, Mas. Cindy suka salah tingkah kalau ketemu Mas Farhan. Dan aku coba buat tanya, benar dong Cindy suka sama Mas Farhan.""Tapi kenapa kamu malah menjadi mak comblang mereka?" tanya David tak habis pikir."Hihihi. Ya dari pada orang lain, Mas. Lagi pula keduanya sama-sama orang yang baik dan jujur.
Setelah puas bermain, terlebih lagi poin di dalam kartu Lila juga telah habis, keduanya memutuskan untuk mengabadikan momen kebahagiaan itu dengan berfoto bersama di dalam photobox. Lila merasa geli melihat suaminya yang terlihat kaku dan kesulitan untuk tersenyum saat berpose."Senyum, dong, Mas ...." ujar Lila sambil terkekeh geli, berusaha menyemangati David."Ayo senyum," bujuk Lila lagi."Biar begini saja," sahut David buang muka."Ih ... Ya jangan begitu ... Senyum yang manis kaya biasanya," rengek Lila."Begini?" tanya David sembari menyeringai."Ih. Itu serem, Mas ... Begini," ucap Lila sembari mencubit kedua pipi David. Dan kini gambar diambil begitu saja."Bagus!" seru Lila senang saat melihat foto menggemaskan tersebut."Hapus," ucap David.Tak mau mendengar suaminya, Lila segera mencetak foto tersebut."Hei, itu tidak sopan. Mengambil foto suami diam-diam," protes David."Hihihi. Ini bagus, kok. Lihat ...." Lila menunjukkan hasil foto kolase yang baru saja tercetak.David
Malam itu, suasana di kamar David dan Lila begitu menenangkan. Aroma lilin terapi yang dinyalakan menebarkan wanginya lembut, diletakkan di atas nakas di sisi kiri dan kanan tempat tidur. Sementara itu, lampu kamar yang masih menyala terang, menyinari kehangatan ruangan dengan pas.Dada Lila berdebar kencang ketika David mengajaknya untuk berbagi keintiman yang kesekian kalinya. Saat David memberikannya sebuah lingerie berwarna merah maroon, perasaan malu dan gugup menyelimuti dirinya."Apakah aku harus memakai ini, Mas?" tanya wanita itu dengan malu-malu. Lingerie pun sudah dia genggam di tangannya, siap dia kenakan. Meski bukan pertama kalinya bercinta, namun tetap saja Lila selalu merasa gugup saat hendak melakukannya.David tersenyum lembut. "Tentu saja. Pakailah itu. Aku membelikannya khusus untukmu," jawab David sembari mencium pucuk kepala istrinya.Lila menghela napas. "Baiklah ...." Dia akhirnya memutuskan untuk memakai lingerie tersebut.Wanita itu pun segera masuk ke dalam
Pagi harinya, Lila terbangun dengan rasa mual yang tidak biasa. Tubuhnya juga terasa begitu lemas seolah tak memiliki tenaga. Padahal waktu masih pagi dan mentari juga belum terlihat muncul dari ufuk timur."Ughhh ... Apa yang sebenarnya terjadi?" gumam Lila sembari memegangi perutnya.Wanita itu segera beringsut dari atas kasur dan berlari menuju ke kamar mandi. David yang juga baru bangun pun menoleh ke arah ranjang tempat sang istri tidur sudah kosong, kemudian menoleh ke arah pintu kamar mandi yang terbuka sebagian."Lila?" gumamnya heran dengan kedua mata masih terasa berat."Hoek ...."Kedua mata David langsung membulat saat mendengar suara Lila yang tengah memuntahkan sesuatu. "Hoek ...." Lagi-lagi Lila memuntahkan sesuatu di dalam kamar mandi. David pun terduduk dan dia ikut beringsut dari tempat tidur yang nyaman menuju ke kamar mandi menyusul istrinya. Tampak di sana Lila sedang berdiri di depan wastafel dengan kepala tertunduk. Rambut panjangnya pun tergerai menjulur ke
"Lilara Olivia, aku kecewa, kamu ternyata sudah tidak perawan!"Ucapan itu menggema bagaikan petir yang menyambar di dalam kamar sepasang pengantin baru. Malam pertama yang seharusnya indah, panas karena mereka saling mencapai kepuasan itu justru berakhir menyakitkan bagi Lilara."A-apa?" tanya gadis cantik dengan rambut panjang yang sudah berantakan. “I-itu tidak mungkin, Mas!”Tubuh polosnya kini hanya dibalut dengan selimut putih. Sementara sang suami kini tengah berdiri tanpa sehelai benang pun, tengah menuding. "Jangan sok polos! Lihatlah, tidak ada bercak darah di sana!”Sang pengantin pria menunjuk ke arah kasur dengan sprei putih yang sedikit terkena cairan, tetapi tidak berwarna merah.Air mata Lila mengembun, sebab ia merasa difitnah. Dan ini sungguh fitnah yang sangat keji.“Itu tidak mungkin, Mas! Kamulah yang pertama kali menyentuhku.”Namun, sekuat apa pun Lila meyakinkan suami yang baru saja merenggut mahkotanya, sang pria tetap memasang wajah garang.Sambil mengenakan
"Lila ... Kenapa ini bisa terjadi?" Ayah Lila bertanya dengan suara lemahnya.Usai kepergian Erik, Lila buru-buru membawa ayahnya ke rumah sakit. Penyakit jantung yang dimiliki ayahnya membuat Lila ketakutan luar biasa."Sudah, jangan dipikirkan lagi, Yah.” Lila menggenggam tangan ayahnya dan sesekali menempelkan ke pipinya. “Percayalah bahwa kita tidak bersalah."Air mata turun dari sudut mata sang ayah. Pria tua yang kini terpasang alat rumah sakit, juga selang oksigen di hidungnya itu menatap nanar sang putri.“Tapi kamu akan bercerai, Lila." "Aku tidak apa-apa, Ayah," sahut Lila sembari menghapus lelehan air matanya. “Menjadi janda bukan masalah besar, selama Ayah di samping Lila.”Ayah Lila mengehela napas panjang.Sebagai anak, tentu Lila memahami kegundahan ayahnya. Melihat anak semata wayangnya menjadi janda usai malam pertama, ditambah menantunya menuntut ganti rugi di luar kepala jelas menjadi beban pikiran sendiri untuk ayahnya.Namun, Lila mencoba bersikap tenang, setidak