Share

Bab 4 | Telepon

"Iya, Pak?"

"Hari ini kita ada schedule ketemu mantan suami kamu."

Nadya memutar mata selagi tangannya sibuk memakai heels dan mengapit ponsel diantara bahu dan telinga. "Iya, Pak. Saya tahu."

"Nad, mending kita tuker posisi. Kamu bosnya, saya sekretarisnya."

Terbit ringisan di bibir Nadya. Sadar bahwa dirinya tidak profesional. "Maaf, Pak."

"Kamu ini minta maaf mulu, belom juga lebaran."

Nadya bangkit seraya meraih tas brandit pemberian Naka dua bulan lalu. Berjalan keluar. "Lah, daripada saya minta dipecat, ntar Bapak repot lagi. Kan yang tahan sama Bapak cuma saya." Terdengar tawa dari seberang. Nadya mendesah begitu membuka pintu dan menemukan bosnya berdiri di depan pintu. Nadya menarik ponselnya dari telinga, lalu mematikan panggilan. Iris hazelnya memindai penampilan Naka yang tampak santai. Kaos hitam polos dipadu celana jins dengan warna senada. Mirip orang lagi healing. Padahal Nadya berpakaian rapi ala.sekretaris pada umumnya. "Astagfirullah, Pak. Bapak mau piknik atau kerja sih?"

"Sekalian."

"Pak—"

"Mending kamu ganti deh, Nad. Pakaian kamu ini terlalu formal," komentar Naka. "Saya nggak suka."

"Tapi, Pak—"

"Mau saya gantiin?" tawar Naka, memotong.

Segera Nadya menggeleng, matanya melotot. "Kalau nggak inget Bapak bos saya, udah saya mutilasi Bapak!" dumelnya, lalu berbalik masuk, dan mengganti pakaian. Kemeja polos hitam dipadu baggy pants dengan warna serupa.

Setelahnya, ia keluar, menemui Naka yang sibuk dengan ponselnya.

"Yuk, Pak!"

Seperti biasa, mereka ke lokasi proyek dengan jasa taksi online. Sengaja merepotkan Nadya lagi. Dan setibanya di lokasi, mereka disambut senyum ramah Nina. Anomali dengan Fajar yang terlihat datar. Ah, bahkan pria itu jarang berekspresi, apalagi menunjukkan senyum. Nadya sampai heran. Kok, bisa dulu dia terpesona dengan bos gila satu itu?

Ck, mendadak ia tersadar; selama beberapa tahun terakhir ia dikelilingi bos-bos sinting.

Membuang dongkol, Nadya memalsukan senyum demi profesionalitas. Ia anggukkan kepala ketika Nina menjabat tangannya dengan ramah. Lalu Naka sibuk berdiskusi dengan Fajar. Nadya menyimak dengan bosan. Terlebih mantan suaminya itu sesekali melirik ke arahnya. Cih! Nadya memutar mata.

Sok ganteng!

Nadya membatin.

Tapi emang ganteng sih.

Logikanya membenarkan.

Sial!

"Menurut saya, tempat ini cukup strategis untuk pembangunan villa."

Fajar manggut-manggut, ekor matanya melirik Nadya lagi.

Nadya langsung buang muka. Hih, ni orang!

"Nad, kamu ada pendapat lain?" pancing Naka, menoleh ke Nadya yang ikut menatapnya.

"Nggak, Pak. Saya setuju sama pendapat Bapak."

"Kamu ni ikut-ikutan saya mulu," cibir Naka. "Naksir kamu sama saya?"

"DIH!"

Naka tertawa.

Diperhatikan Fajar yang nampak tidak senang dengan interaksi partner dan mantan istrinya. Tapi Nadya justru tertarik dengan pancingan Naka. "Lagian, Bapak tuh bukan tipe saya."

"Iyaaa, tahu. Tipe kamu 'kan yang kekoreng-korengan."

"Korea!" ralat Nadya, sewot.

Naka tergelak. Puas sekali bikin sekretarisnya itu dongkol. Lalu netra abunya beralih ke arah Fajar. "Aduh, Pak, maaf. Saya emang suka bercanda sama sekretaris saya yang galak ini. Biar nggak garing-garing amat." Kembali menatap Nadya, sebelah matanya dikedipkan genit. "Iya 'kan, cantik?"

Nadya enggan menggubris. Ingin rasanya ia cepat-cepat terbebas dari situasi ini, tapi bosnya yang sinting itu seolah sengaja mengulur waktu. Sesekali menyinggung perihal Nadya yang katanya galak lah, cerewet lah, jomlo lah, dan masih banyak lagi.

Awas aja ni orang!

***

"Bodo amat. Saya ngambek sama Bapak. Jadi, huss! Jangan deket-deket saya."

"Ya elah, Nad. Baperan amat sih. Kan saya cuma bercanda, biar nggak kaku-kaku banget. Apalagi mantan suamimu itu. Mirip kanebo kering!" Naka mendesah pelan, menatap Nadya dengan sorot lesu. "Maafin saya dong. Serius deh, saya paling nggak bisa didiemin kamu."

Nadya melongos, pura-pura jual mahal.

"Nad," panggil Naka, setengah merengek. Diraihnya pergelangan tangan Nadya. "Abis ini saya traktir batagor deh."

"Selama seminggu ya, Pak?" Nadya bernegosiasi.

"Iyaaa. Mau sebulan juga saya jabanin," timpal Naka.

Melebarkan senyum di wajah cantik Nadya. "Oke, dimaafin."

"Sekretaris matre!"

"Bos nggak ada akhlak!"

Selesai bertukar ejekan, Nadya dan bosnya memasuki kafe untuk makan siang. Mereka menempati salah satu meja, kemudian salah seorang waitress mendekat seraya menyapa. Menyodorkan buku menu, diterima Nadya. Seperti biasa, Naka paling malas memilih. Maka yang bergerak adalah sekretarisnya.

"Chicken katsu original dua sama mocha ice," ujar Nadya.

Sang waitress mengangguk. "Baik, Mbak."

Sembari menunggu pesanan, Nadya mengedarkan pandangan. Suasana kafe cukup ramai. Banyak anak remaja yang menghabiskan waktu bersama teman-temannya. Nadya tersenyum tipis. Terkenang masa-masa remajanya dulu. Tiap pulang terlambat karena asyik nongkrong bareng temen-temennya, pasti ibunya bakal cosplay jadi rapper. Nyerocos sampai matahari terbit lagi. Nggak sampai situ, kadang ibunya yang merangkap jadi Mama Dedeh itu mengeluarkan ultimatum.

Ah, Nadya jadi rindu ibunya.

Apa kabarnya wanita itu?

Bahagiakah beliau di surga-Nya?

"Dulu pas remaja, kamu pernah ngapain aja?" singgung Naka, menarik perhatian Nadya.

"Yang jelas nggak kayak Bapak!" jawab Nadya.

Naka tertawa. "Emang saya kayak gimana? Sok tahu banget kamu!"

"Ya kayak gitu. Dah bisa ditebak lah, Pak."

Lepas dengkusan dari bibir Naka. "Justru pas remaja tuh saya paling pendiem di kelas."

"Apa iya?"

"Iya, soalnya saya nyampe sekolah pas yang lain udah balik." Naka terpingkal-pingkal di akhir kalimatnya. Nadya mendengkus keki. "Tapi serius deh, sebelum sama Fajar, kamu pernah pacaran nggak sih?"

"Kepo!"

"Ck, bukan kepo!" sanggah Naka, "Saya tuh cuma pengin lebih deket sama kamu. Kan kemaren saya bilang; kalau kamu terima saya, saya taubat main cewek."

"Halah, itu paling senjata Bapak tiap deketin cewek-cewek."

"Enggak, Nad. Baru sama kamu, saya bilang gini. Tapi nggak tahu deng kalau nanti saya bilang gini juga ke target berikutnya." Naka tertawa lagi, mengundang hasrat Nadya untuk memutilasi bosnya itu. Bener-bener nggak ada akhlak.

Tak lama waktu berselang, pesanan datang.

Keduanya menikmati pesanan masing-masing sambil diiringi lantunan lagu sang vokalis kafe.

"Usai sudah semua cerita yang t'lah kita ukir berdua. Meninggalkan dirimu adalah hal terberat yang harus kujalani. Aku memang kehilangan kamu yang sangat kucintai. Namun kau t'lah kehilangan aku yang sangat mencintaimu."

"Lagunya cocok banget buat kamu, Nad," beo Naka. "Eh, tapi 'kan kamu udah nggak cinta sama Fajar ya? Cintanya sama saya." Sepasang alis tebalnya dinaik-turunkan dengan raut jenaka. Nadya mendengkus, lalu kembali meneruskan aktivitas makan. "Kalau aja saya lebih cepet ketemu kamu, pasti nggak akan ada Jessy, Nisa, dan cewek-cewek matre di hidup saya. Dan kamu—" Menuding Nadya dengan garpu, "—jadi Nyonya Genaka."

"Pak, makan aja dulu. Ntar keselek karena kebanyakan halu," peringat Nadya.

"Ngehaluin kamu 'kan nggak dosa, Nad."

Nadya enggan merespons, dilahapnya chicken katsu miliknya dengan tidak santai.

Ditegur Naka. "Pelan-pelan aja kali, Nad. Nggak bakal saya minta kok."

"Pak, buruan habisin! Jangan banyak omong! Kayak tetangga saya aja!"

"Iya, iya." Naka pasrah.

Usai membasmi cacing-cacing di perut, mereka kembali ke hotel. Tapi seperti janji Naka tadi; pria itu memborong batagor untuk sekretaris galaknya. Dan Nadya yang beberapa saat lalu kesal bukan main, mendadak semringah. Iris hazelnya berbinar ceria.

Naka mendengkus. "Seneng?"

"Iya dong. Makasih ya, Pak."

"Iyaaa."

Nadya melenggang masuk tanpa memedulikan Naka yang masih memperhatikannya. Bodo amat dengan bosnya, yang penting batagor favoritnya. Nadya mengunyah jajanan khas Bandung tersebut seraya mengempaskan diri—duduk di tepi ranjang. Belum ada semenit, ponselnya berdering ribut. Panggilan masuk dari Mala, emaknya Naka. Dengan malas ia terima, lalu ia tekan tombol speaker supaya bisa mendengar suara sopran ibu dari bosnya sambil makan batagor.

"Assalamualaikum, Nad."

"Waalaikumsalam, Tan. Ada apa?"

"Naka sibuk banget ya sampe chat dari Tante dicuekin. Awas aja itu anak, kalau ketemu, Tante piting lehernya." Nadya kontan tersedak batagor. Buru-bur tangannya menggapai segelas air putih yang tergeletak di nakas. "Nad, you okay? Maaf, maaf. Tante nggak tahu kalau kamu lagi makan."

"It's okay, Tan." Nadya mengatur napas usai meneguk minuman. "Tante, ada perlu sama Pak Naka?"

"Iya. Sekarang Tante udah nyampe di Bandara."

Oke, tugas lagi.

Bahu Nadya merosot lesu. Harusnya sore ini mereka pulang, tapi Mala pakai nyusul segala. Huh! Kalau nggak anaknya, emaknya. Tahu gitu Nadya jadi sugar baby bapaknya Naka aja. Meski sudah berumur, tapi masih sedap dipandang kok. Sebelas dua belas sama Sahrul Gunawan lah.

"Sebentar ya, Tan, saya sampaikan dulu ke Pak Naka."

"He-em, Nad. Makasih ya. Jewer sekalian tuh calon suamimu."

Nadya membulatkan mata. Semestinya ia tidak kaget dengan mulut ceplas-ceplos Mala, tapi tetap saja. Nadya bergidik. Kendati demikian suaranya ajeg dibuat seanggun mungkin. "Iya, Tan, sama-sama."

Panggilan terputus.

Nadya beranjak menuju kamar sebelah.

Disahuti Naka. "Masuk aja, Nad!"

"Bapak pake baju lengkap, 'kan?"

"Iyalah. Emang saya tarzan."

Mendorong pintu dengan ragu, perempuan berhidung bangir itu mengintip melalui pintu yang agak terbuka. Disambut seruan Naka yang duduk di tepi ranjang dengan ponsel menempel di telinga. "Oi, masuk!"

Nadya nyengir, membuka pintu lebih lebar. "Bapak lagi teleponan?"

"Nggak. Lagi macul."

Lepas dengkusan keki dari bibir Nadya. Bola matanya berputar malas.

Naka mengedikkan dagu. "Kenapa? Kangen?"

"Barusan Tante Mala telepon. Katanya, udah nyampe Bandara."

"Terus?"

"Ya samperin lah, Pak!"

"Ck, nambah kerjaan aja!" keluh Naka, lalu menyambung obrolan di telepon. "Sayang, udah dulu ya? Aku mau jemput majikanku. Love you." Nadya bergidik jijik mendengar kalimat gombal bosnya. Naka yang menyadari itu langsung menceletuk, usai mematikan panggilan. "Gini lho, Nad, serunya punya pacar. Ada yang diajak teleponan."

"Lah, saya jomlo aja diteleponin Bapak tiap hari!" balas Nadya.

"Saya mulu yang kamu sebut. Naksir kamu ya?"

"Nggak cuma Bapak sih. Ada debt collector juga," lanjut Nadya.

"Hm?" Naka menautkan alis tebalnya.

Nadya merutuk dalam hati. Bego! "Nggak kok. Lupain. Ayo, Pak, ke Bandara sekarang."

"Oke."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status