Pria yang aku ikuti menghentikan langkahnya, tak disangka ia menoleh ke arahku yang berdiam diri di sudut jalan yang gelap. Seperti dugaanku, seketika dia pun menghampiri."Bu Marni, sedang apa di sini?" tanyanya dengan wajah kebingungan.Aku hanya tersenyum tipis dan berbalik membelakanginya, berharap dia mengikuti langkahku yang sengaja dipelankan. Orang lain akan melihatku sebagai Marni. Penyamaran yang bagus, bukan?"Bu, apa Ibu baik-baik saja?" tanyanya kembali. Langkah ini terhenti di sebuah tempat tak berpenghuni. Gelap, serta gemercik hujan kian membasahi permukaan tanah."Kau sudah mencampuri urusanku, Pak tua," ucapku datar tanpa menoleh ke arahnya."Astagfirullah hal Adzim, siapa kamu?" Aku berbalik badan dengan memperlihatkan setengah sosokku. Mata merah, wajah bersisik, dan gigi bertaring, serentak membuatnya terperanjat. Aku memang meminjam tubuh Marni, tetapi wujud asliku tetap bisa kutampakkan dengan sesuka hati."Kau ... kau jelmaan siluman. Untuk apa berada di tubu
Memegang benda pipih berwarna putih dengan dua garis merah. Sudah kuduga ternyata memang hamil, pantas saja beberapa hari ini sering mual dan terlalu mudah lelah. Aku kembali membasuh muka, memandang wajah yang sudah sangat basah. Namun, entah mengapa hawa aneh seketika menyeruak. Ah, mungkin hanya pikiranku saja. Kuambil handuk dan mengelap sisa-sisa air yang menempel di kulit. Selintas ujung mataku menangkap bayangan di cermin. Aku terperanjat dan berbalik arah, tapi tak ada siapa pun di sana. Lantas berbalik kembali menghadap cermin.Kuusapkan kembali handuk, tetapi belum sempat membuka mata ada sesuatu yang menggerayang dari belakang tepat mengenai perut. Kubuka mata sedikit demi sedikit, terlihat sebuah tangan berwarna hijau dengan kuku yang sangat panjang, hitam pekat. Ia mengelus perutku dengan hati-hati. Jantungku berdegup kencang, napas ini terasa begitu sesak. Ingin sekali berteriak, tapi bibirku seolah membisu seketika. Belum cukup sampai di sana. Kini sebuah rambut ber
Aku mengompres kening Lisa karena demam yang cukup tinggi. Setelah kejadian kemarin ia jatuh dari tangga, badannya menggigil disertai ocehan yang tidak jelas. "Jangan ... aku mohon, jangan!" ucapnya berkali-kali dengan mata tertutup. Ada apa dengan anak ini? Aku merasa berdosa sudah membuat dia jadi seperti ini. Apa yang Lisa ceritakan sama persis dengan yang kualami di kamar mandi. Sebelum sakit, Lisa sempat bercerita bahwa ada sepasang tangan dengan kuku yang panjang menyeretnya dari belakang. Ciri-cirinya sama seperti tangan yang sudah mengelus perutku.Aku terperanjat saat suara ketukan pintu membuyarkan lamunanku."Masuk!" ucapku, sambil membulak-balikan kain yang di gunakan untuk mengompres.Mas Darman membawa seorang dokter muda, berwajah tampan dengan lesung pipi yang membuatnya terlihat semakin menawan. "Assalamualaikum, Bu. Saya Andi, dokter di kampung ini," tuturnya dengan sangat ramah. "Bapak sudah menceritakan sakitnya Lisa, tapi saya akan memeriksanya dulu. Permisi,
Malam ini, aku sudah berada di rumah Mas Suryo. Sambutan keluarga yang hangat kami terima dengan baik, bahkan di meja sudah disediakan beberapa gelas minuman dan sekedar camilan. "Kalian pindah ke mana? Sudah merasa kaya sepertinya, bahkan sudah sepekan baru berkunjung kemari," ucap pria berkepala plontos itu. Mimik wajah sinis yang paling tak kusukai. "Ada, Mas. Kami--" "Kami pindah ke rumah yang lebih layak," sambungku memotong ucapan Mas Darman. Aku memang melarang suamiku untuk pamit saat pindah rumah dulu. Aku malas, karena Mas Suryo selalu memperlihatkan ketidaksukaannya pada keluarga kami. Apa lagi jika dia tahu keadaan keluargaku sekarang. "Bagaimana dukun yang sudah kutunjukkan pada kalian, apa sudah kalian datangi? Jika sudah, tentunya kalian sudah kaya, bukan?" Pertanyaan yang dibarengi dengan seringaian itu membuatku muak. Sikap sombongnya sampai saat ini masih terlihat jelas, padahal dia bukan orang berada. Dia hanya bekerja di perkebunan dan di percaya sebagai mand
Aku mengikuti langkah Mas Darman. Sesampainya di luar rumah, angin berembus begitu kencang sampai mengibas rambutku. Ini seperti kehadiran Nyai. "Marni, kita lakukan penumbalan Mas Suryo," ucap Mas Darman datar. Aku bahagia mendengar kata-kata itu. "Tidak, Mas. Aku ingin membuat dia mati dengan perlahan. Dengan caraku sendiri." ***Bau dupa sudah tercium, kepulan asap pun memenuhi kamar Lisa. Seperti yang dijanjikan oleh Ki Kusno, hari ini dia datang ingin melihat keadaan Lisa sekaligus mengobatinya. Sudah lima hari ini Lisa terbaring dan tidak memberikan respons sama sekali, padahal badannya sudah tidak terasa panas. Ki Kusno sudah bersila di atas kain putih dengan alat-alat ritual. Kami pun duduk di belakangnya sesuai dengan arahan yang diberikan. Mantra mulai dibacakan. Namun, bulu kuduk ini seketika merinding. Hawa aneh saat ritual memanggil Nyai, tidak seseram hawa sekarang yang sedang menyelimuti kami.Jendela mulai terbuka cukup kencang, angin berembus diikuti dengan cahaya
"Assalamualaikum." Ucapan salam terdengar dari balik pintu, dibarengi dengan ketukan beberapa kali. "Wa'alaikumsalam ... masuk, Pak." Pria paruh baya itu tampak tersenyum melihatku sedang membereskan peralatan salat. Ya, aku baru saja selesai menunaikan salat Isya. Aku bergegas menghampiri Bapak yang sudah duduk di atas ranjang. "Ada apa, Pak?" tanyaku, meletakkan kopiah dan sajadah di atas meja kecil samping ranjang. "Bapak khawatir, Nak." Aku mengernyit menatap Bapak yang wajahnya tampak penuh kegelisahan. Entah apa yang Bapak khawatirkan, tetapi aku berusaha tersenyum dan meresponsnya dengan baik. "Apa yang Bapak khawatirkan? Aku sudah dewasa, bisa menjaga diri, Pak." "Kamu jangan terlalu masuk ke dalam masalah keluarga pasien. Apalagi Bapak merasa merinding saat kamu bercerita sesuatu yang kamu lihat di rumahnya Pak Darman," tutur Bapak mengusap tengkuknya. Aku hanya tersenyum mendengar ungkapan perasaannya sebagai orang tua. Memang cukup mengerikan saat aku merasakan hawa
Hawa aneh mulai sangat terasa, bau busuk yang begitu menusuk membuat perut sedikit mual. Ada hal yang membuatku menelan ludah, saat tengkorak manusia berserakan di mana-mana. Bahkan ada tengkorak yang masih terbalut daging yang mulai menipis dan busuk. "Allahu Akbar. Kau maha pengasih dan penyayang, segera tunjukan hal apa yang membuatku masuk ke dalam sini." Doa dan kalimat istigfar menemaniku. Walau jantung berdegup kencang, tapi aku mencoba menepis segala rasa takut yang hinggap. Tunggu! Aku mendengar suara perempuan yang menangis tersedu-sedu. "Siapa di sana? Apa ada orang?" Aku tidak boleh terlena dengan tipu muslihat setan. Mungkin itu adalah jin nakal yang mencoba mengganggu dan mengarahkanku untuk berjalan menghampirinya. "Tunjukan wujudmu, mengapa kau membawaku kesini!" teriakku, berharap ada sosok yang mau menampakkan wujud aslinya. Tangisan itu semakin mengeras. Jika itu keinginannya, akan aku ikuti sampai ke mana pun. Aku mencoba mengarahkan langkah ini ke arah sum
Aku tersenyum puas melihat kotak hitam berisi tumpukan kertas merah dan benda kuning berkilauan hasil pemujaanku malam tadi. Malam tadi Nyai memberikan nilai yang sangat fantastis karena Mas Darman sudah mengabulkan permintaan Nyai untuk memenuhi segala hasratnya.Cemburu, tentu saja awalnya seperti itu. Aku harus meninggalkan suamiku memadu cinta dan kasih dengan wanita lain, tetapi semua rasa itu hilang saat semua terbayar dengan hal yang sangat kucintai di dunia ini. Aku yakin sebagai lelaki normal, Mas Darman pun tidak akan menolak dengan wujud Nyai yang cantik.Isi kotak sedang kuhitung. Namun, suara bel terdengar berbunyi beberapa kali. Aneh, mengapa ada tamu sepagi ini. Rumah ini tak pernah terjamah oleh tamu. Keluarga kami menutup akses untuk warga untuk berkunjung kemari.Aku segera menyimpan kotak di lemari tempat biasa, dan bergegas melangkahkan kaki ke arah pintu luar untuk melihat siapa yang berani menginjakkan kaki ke rumah ini. Aku terdiam beberapa detik, menatap seseor