Aku masuk ke sebuah kamar dengan membawa sarapan di atas nampan dan meletakannya pada meja sisi ranjang. Gorden masih tertutup rapat. Kubuka perlahan agar matahari pagi ini bisa masuk dengan leluasa.
Gadis itu masih terlelap. Kubelai pucuk kepalanya dengan lembut sampai akhirnya mata itu mulai terbuka perlahan."Ibu ...!" Gadisku memeluk dengan erat sembari menangis ketakutan. Aku hanya membalas dekapan itu dengan membelai rambutnya yang panjang."Tenanglah, Lisa!" Aku mencoba menjadi sosok ibu yang selalu ada di saat ia membutuhkan."Aku takut, Bu," ucap putriku lirih.Aku tak bisa berkata apa-apa selain membalas pelukannya yang begitu erat dengan tubuh bergetar hebat."Ibu, tunggu!" Lisa melepaskan pelukannya. "Apa yang terjadi padaku, Bu?"Aku hanya tersenyum dan menghapus air mata yang sudah membasahi pipi merahnya."Katakan, Bu!""Ibu tidak tahu, Lisa. Ibu hanya mendengar teriakanmu. Saat masuk, kamu sudah dalam keadaan tergeletak di ujung sana," jelasku menunjuk salah satu ujung kamar.Lisa membuang tatapannya dariku. Dari wajahnya, terlihat jika ia bingung dengan apa yang terjadi semalam. Lisa menarik lutut dan memeluknya erat, ia seperti seseorang yang kehilangan arah. Sebagai seorang Ibu, hatiku sakit melihat putri yang sangat kucintai dalam keadaan seperti ini."Lisa, dengarkan Ibu! Ceritakanlah semua bebanmu, ibu siap mendengarkan." Aku berusaha membujuknya, agar dia bisa melepas segala rasa yang membuatnya seperti ini.Pandangannya kembali mengarah kepadaku. Ia mengambil kedua tanganku dan menggenggamnya erat."Tolong percaya padaku, Bu. Semalam saat aku mau Shalat tahajud, ada tangan yang begitu mengerikan menarik pergelangan kakiku sampai aku jatuh. Ibu melihatku masih memakai mukena, 'kan?""Lisa, itu hanya--""Ibu, aku tidak berbohong. Ibu harus percaya kepadaku, Bu."Air mata Lisa semakin berderai, aku semakin tidak tega melihatnya seperti ini. Aku merasa menjadi orang yang begitu jahat. Namun, ego mengatakan jika semua ini untuk kebahagiaan keluarga kami."Iya, ibu percaya. Sekarang kamu makan dan beristirahatlah!" perintahku, menghapus air matanya kembali."Temani aku, ya, Bu!" pintanya merengek.Aku hanya mengangguk. Tidak tega rasanya meninggalkan Lisa dengan keadaan bingung dan ketakutan seperti ini.Tentu saja aku mengetahui apa yang terjadi pada Lisa malam tadi.***Setelah dari dapur aku kembali ke kamar. Merebahkan badan yang masih dikuasai oleh kantuk. Baru saja memejamkan mata, sayup-sayup terdengar suara teriakan minta tolong. Aku segera bangun kembali dan memastikan suara yang terdengar cukup jauh. Terlintas dalam pikiran jika itu adalah suara Lisa."Mas, Bangun, Mas!" Aku menggoyangkan tubuh Mas Darman beberapa kali."Hemmm ...," jawabnya tak peduli."Mas, Bangun! Itu, ada suara minta tolong." Mas Darman tak menjawab, ia malah membelakangiku dan menutup telinganya dengan bantal.Tanpa pikir panjang aku segera turun dari ranjang dengan hati-hati, karena takut membangunkan Fahmi dan bergegas mencari di mana suara tersebut berasal. Aku menoleh ke kamar sebelah. Tidak mungkin jika Ibu mertua yang berteriak, sudah jelas jika dia tak lebih dari boneka hidup.Anak tangga mulai kunaiki satu persatu dengan perlahan. Tengkuk ini terasa begitu dingin. Entah kenapa aku merasakan kehadiran Nyai malam ini, padahal ini bukan malam pemanggilannya. Apa mungkin Nyai sedang berada di sini, tapi untuk apa?Aku sudah berada tepat di depan kamar Lisa. Rasanya aneh. Hawa itu semakin menguat dengan bau khas bunga melati yang tercium tajam."Ibu ... Ayah, tolong aku!"Teriakan Lisa? Iya itu Lisa. Aku segera memutar knop pintu beberapa kali, tapi sepertinya terkunci dari dalam."Lisa, kamu baik-baik saja?"Hening, tak ada teriakan lagi atau bahkan jawaban."Lisa ... Lisa, buka!" ucapku dengan sedikit mengetuk pintu.Masih tetap tak ada jawaban.Aku membuka paksa pintu itu dan akhirnya terbuka. Mata ini terbelalak melihat putriku yang sudah tergeletak di lantai dengan keadaan masih mengenakan mukena."Lisa ...!" teriakku dengan setengah berlari menghampirinya.Bingung. Hanya itu yang kurasakan saat ini. Ada apa dengan putriku?Aku terperanjat saat jendela tiba-tiba saja terbuka disusul dengan angin yang begitu kencang. Bebauan yang sering kuhirup kini terasa lagi. Cahaya silau itu muncul dari balik jendela, membuatku menutup mata beberapa saat. Apa itu Nyai?"Marni ...!"Aku segera membuka mata perlahan. Ya, kini sosok wanita berwajah tegas itu berdiri di hadapanku."Ampun, Nyai," ucapku menyatukan telapak tangan dan menunduk, Memberi penghormatan padanya."Kau pasti kaget dengan keadaan putrimu yang seperti itu," ucapnya datar namun begitu menusuk.Aku hanya menunduk, tak berani menatap wajahnya."Anakmu melakukan sesuatu yang akan membuatku sulit untuk masuk ke dalam rumah ini."Dahiku mengernyit, mencoba mencerna pernyataan Nyai."Apa itu, Nyai? Saya tidak paham dengan pernyataan Nyai," jelasku memberanikan diri."Jangan pura-pura bodoh, Marni! Anakmu akan melakukan ibadah, dan itu sesuatu yang paling tidak aku sukai."Jantungku berdegup kencang mendengar nada bicara Nyai yang semakin meninggi. Kuingat Lisa memang anak yang taat dalam beribadah, itu pun kami yang mengajarkannya saat jalur sesat ini belum melintas dalam pikiran."Apa yang harus saya lakukan, Nyai?" tanyaku dengan nada bergetar."Apa kau sudah punya tumbal pertama untuk dipersembahkan kepadaku nanti?"Aku terdiam beberapa saat dan meyakinkan diri dengan jawaban yang akan kulontarkan kepada Nyai."Sudah, Nyai," ucapku yakin."Siapa yang akan kau tumbalkan?""Ibu mertuaku, Nyai."Seketika tawa Nyai menggelegar mengisi ruangan yang hampa. Suara gagak ikut serta membuat hawa mistis ini kian menusuk."Kau manusia paling jahat yang pernah kutemui, Marni!" ucap Nyai dengan setengah berteriak."Dendam ini sudah terlanjur melekat dalam hati. Lebih cepat dia mati, maka dendamku akan terbalaskan, Nyai."Nyai kembali tertawa dalam keheningan. Bulu kudukku seketika merinding."Manusia serakah dan penuh dendam sepertimu, memang pantas mendapatkan kekayaan dariku."Aku tersenyum tipis. Aku tak akan setega ini jika wanita sialan itu tidak menyakiti perasaanku. Teringat dulu saat dia menghina, merendahkan, bahkan menyebutku menantu tidak berguna. Dia selalu membicarakan kejelekan menantunya pada tetangga sekitar rumah, dan itu membuat hatiku begitu terluka. Padahal aku sudah berusaha membahagiakan Mas Darman sebisa mungkin, berusaha menjadi istri yang baik. Namun, Ibu tak pernah menganggap semua pengabdianku. Bagi Ibu, menantunya ini tak lebih dari sampah. Ini adalah kesempatan untuk membalas dendam kepada Ibu, dan kematiannya adalah kebahagiaan yang ditunggu sejak lama."Marni ...!"Aku menoleh dan menatap Nyai."Bukan Ibu mertuamu yang harusnya kau tumbalkan," ucapnya datar."Lantas siapa, Nyai?""Anakmu! dia yang akan menjadi benalu dalam setiap ritualmu."Apa? Aku harus menumbalkan Lisa?Hatiku begitu tertusuk jika harus membayangkan putri yang kucintai menjadi korban sebuah ego. Apa yang harus aku lakukan?"Bagaimana, Marni?"Aku terdiam menatap Nyai dengan tubuh yang gemetar dan kembali mengarahkan tatapan pada Lisa yang sedang dalam pangkuanku. Apa yang harus kulakukan?Bulan purnama telah tiba, hari di mana tumbal akan kami berikan kepada Nyai. Perjanjian sudah kusepakati tanpa sepengetahuan Mas Darman, ia tak boleh tahu tentang apa yang aku janjikan kepada Nyai.Kami merapikan kamar untuk pemanggilan Nyai. Sesajen dan syarat lainnya sudah tersedia dengan rapi. Entah mengapa pikiranku selalu teringat pada Lisa, padahal keadaannya berangsur pulih dan sudah bisa masuk sekolah kembali. "Marni ...!" Panggilan dari Mas Darman membuatku terperanjat. "Iya, Mas?" "Kamu kenapa?" Aku menggeleng perlahan. Dia tidak boleh tahu dengan apa yang kupikirkan. Aku akan menjadi seorang pengecut di mata Mas Darman, jika ia mengetahui ketakutan dalam hatiku tentang keadaan keluarga kami ke depannya."Apa sudah selesai semuanya?" tanyaku mengalihkan pembicaraan.Mas Darman yang sedang menyiapkan berbagai macam bunga berhenti dan mengangguk. "Sudah ko, Dek," ucapnya menyimpan semua peralatan di atas meja. Aku harus bertanya sekali lagi pada Mas Darman, apa dia sudah
Aku masih memandangi Mas Darman yang menangisi jenazah Ibunya. Dari dimandikan sampai dikafani Mas Darman setia disisi Ibu. Aku benar-benar tidak mengerti dengan semua yang terjadi. Lalu, siapa yang menemani ritual malam tadi? Kami dan para warga mengiringi jenazah Ibu ke tempat peristirahatan terakhir. Suamiku terlihat sedikit tegar untuk kali ini, ia ikut masuk ke liang lahat untuk menemani Ibu yang terakhir kali. Proses pemakaman telah usai. Kami sekeluarga berjalan beriringan. Tak ada sepatah kata pun yang terucap, bahkan aku tidak berani bertanya pada Mas Darman tentang kejadian yang tengah menimpanya semalam."Pak ... Bu!" Panggilan dari arah belakang membuatku menoleh. Tampak Ustaz Zul tergesa-gesa menghampiri kami. "Pak ... Bu, ada yang ingin saya bicarakan," ucapnya dengan sedikit terengah-engah. Aku segera menoleh ke arah Lisa, lantas memerintahkannya untuk pulang terlebih dahulu, "Lisa, kamu pulang duluan, sekalian bawa adikmu! Nanti kami menyusul." Lisa mengangguk da
Pria yang aku ikuti menghentikan langkahnya, tak disangka ia menoleh ke arahku yang berdiam diri di sudut jalan yang gelap. Seperti dugaanku, seketika dia pun menghampiri."Bu Marni, sedang apa di sini?" tanyanya dengan wajah kebingungan.Aku hanya tersenyum tipis dan berbalik membelakanginya, berharap dia mengikuti langkahku yang sengaja dipelankan. Orang lain akan melihatku sebagai Marni. Penyamaran yang bagus, bukan?"Bu, apa Ibu baik-baik saja?" tanyanya kembali. Langkah ini terhenti di sebuah tempat tak berpenghuni. Gelap, serta gemercik hujan kian membasahi permukaan tanah."Kau sudah mencampuri urusanku, Pak tua," ucapku datar tanpa menoleh ke arahnya."Astagfirullah hal Adzim, siapa kamu?" Aku berbalik badan dengan memperlihatkan setengah sosokku. Mata merah, wajah bersisik, dan gigi bertaring, serentak membuatnya terperanjat. Aku memang meminjam tubuh Marni, tetapi wujud asliku tetap bisa kutampakkan dengan sesuka hati."Kau ... kau jelmaan siluman. Untuk apa berada di tubu
Memegang benda pipih berwarna putih dengan dua garis merah. Sudah kuduga ternyata memang hamil, pantas saja beberapa hari ini sering mual dan terlalu mudah lelah. Aku kembali membasuh muka, memandang wajah yang sudah sangat basah. Namun, entah mengapa hawa aneh seketika menyeruak. Ah, mungkin hanya pikiranku saja. Kuambil handuk dan mengelap sisa-sisa air yang menempel di kulit. Selintas ujung mataku menangkap bayangan di cermin. Aku terperanjat dan berbalik arah, tapi tak ada siapa pun di sana. Lantas berbalik kembali menghadap cermin.Kuusapkan kembali handuk, tetapi belum sempat membuka mata ada sesuatu yang menggerayang dari belakang tepat mengenai perut. Kubuka mata sedikit demi sedikit, terlihat sebuah tangan berwarna hijau dengan kuku yang sangat panjang, hitam pekat. Ia mengelus perutku dengan hati-hati. Jantungku berdegup kencang, napas ini terasa begitu sesak. Ingin sekali berteriak, tapi bibirku seolah membisu seketika. Belum cukup sampai di sana. Kini sebuah rambut ber
Aku mengompres kening Lisa karena demam yang cukup tinggi. Setelah kejadian kemarin ia jatuh dari tangga, badannya menggigil disertai ocehan yang tidak jelas. "Jangan ... aku mohon, jangan!" ucapnya berkali-kali dengan mata tertutup. Ada apa dengan anak ini? Aku merasa berdosa sudah membuat dia jadi seperti ini. Apa yang Lisa ceritakan sama persis dengan yang kualami di kamar mandi. Sebelum sakit, Lisa sempat bercerita bahwa ada sepasang tangan dengan kuku yang panjang menyeretnya dari belakang. Ciri-cirinya sama seperti tangan yang sudah mengelus perutku.Aku terperanjat saat suara ketukan pintu membuyarkan lamunanku."Masuk!" ucapku, sambil membulak-balikan kain yang di gunakan untuk mengompres.Mas Darman membawa seorang dokter muda, berwajah tampan dengan lesung pipi yang membuatnya terlihat semakin menawan. "Assalamualaikum, Bu. Saya Andi, dokter di kampung ini," tuturnya dengan sangat ramah. "Bapak sudah menceritakan sakitnya Lisa, tapi saya akan memeriksanya dulu. Permisi,
Malam ini, aku sudah berada di rumah Mas Suryo. Sambutan keluarga yang hangat kami terima dengan baik, bahkan di meja sudah disediakan beberapa gelas minuman dan sekedar camilan. "Kalian pindah ke mana? Sudah merasa kaya sepertinya, bahkan sudah sepekan baru berkunjung kemari," ucap pria berkepala plontos itu. Mimik wajah sinis yang paling tak kusukai. "Ada, Mas. Kami--" "Kami pindah ke rumah yang lebih layak," sambungku memotong ucapan Mas Darman. Aku memang melarang suamiku untuk pamit saat pindah rumah dulu. Aku malas, karena Mas Suryo selalu memperlihatkan ketidaksukaannya pada keluarga kami. Apa lagi jika dia tahu keadaan keluargaku sekarang. "Bagaimana dukun yang sudah kutunjukkan pada kalian, apa sudah kalian datangi? Jika sudah, tentunya kalian sudah kaya, bukan?" Pertanyaan yang dibarengi dengan seringaian itu membuatku muak. Sikap sombongnya sampai saat ini masih terlihat jelas, padahal dia bukan orang berada. Dia hanya bekerja di perkebunan dan di percaya sebagai mand
Aku mengikuti langkah Mas Darman. Sesampainya di luar rumah, angin berembus begitu kencang sampai mengibas rambutku. Ini seperti kehadiran Nyai. "Marni, kita lakukan penumbalan Mas Suryo," ucap Mas Darman datar. Aku bahagia mendengar kata-kata itu. "Tidak, Mas. Aku ingin membuat dia mati dengan perlahan. Dengan caraku sendiri." ***Bau dupa sudah tercium, kepulan asap pun memenuhi kamar Lisa. Seperti yang dijanjikan oleh Ki Kusno, hari ini dia datang ingin melihat keadaan Lisa sekaligus mengobatinya. Sudah lima hari ini Lisa terbaring dan tidak memberikan respons sama sekali, padahal badannya sudah tidak terasa panas. Ki Kusno sudah bersila di atas kain putih dengan alat-alat ritual. Kami pun duduk di belakangnya sesuai dengan arahan yang diberikan. Mantra mulai dibacakan. Namun, bulu kuduk ini seketika merinding. Hawa aneh saat ritual memanggil Nyai, tidak seseram hawa sekarang yang sedang menyelimuti kami.Jendela mulai terbuka cukup kencang, angin berembus diikuti dengan cahaya
"Assalamualaikum." Ucapan salam terdengar dari balik pintu, dibarengi dengan ketukan beberapa kali. "Wa'alaikumsalam ... masuk, Pak." Pria paruh baya itu tampak tersenyum melihatku sedang membereskan peralatan salat. Ya, aku baru saja selesai menunaikan salat Isya. Aku bergegas menghampiri Bapak yang sudah duduk di atas ranjang. "Ada apa, Pak?" tanyaku, meletakkan kopiah dan sajadah di atas meja kecil samping ranjang. "Bapak khawatir, Nak." Aku mengernyit menatap Bapak yang wajahnya tampak penuh kegelisahan. Entah apa yang Bapak khawatirkan, tetapi aku berusaha tersenyum dan meresponsnya dengan baik. "Apa yang Bapak khawatirkan? Aku sudah dewasa, bisa menjaga diri, Pak." "Kamu jangan terlalu masuk ke dalam masalah keluarga pasien. Apalagi Bapak merasa merinding saat kamu bercerita sesuatu yang kamu lihat di rumahnya Pak Darman," tutur Bapak mengusap tengkuknya. Aku hanya tersenyum mendengar ungkapan perasaannya sebagai orang tua. Memang cukup mengerikan saat aku merasakan hawa