Bagian 33
“Sebaiknya kamu pulang sekarang, Mir. Sebelum kemarahanku meledak.” Suara Mas Yazid begitu dingin. Aku takut-takut menoleh padanya. Lelaki yang berada di belakangku itu mengepalkan dua belah tangannya. Sementara wajah tampan itu kian memerah akibat menahan emosi.
“Sempat kamu mengulanginya lagi, Ummi tidak akan segan untuk mengusir kamu, Mira!” Ucapan Ummi semakin membuatku bergidik. Hancur sudah pertahanan dan kekuatan yang kubangun selama ini. Runtuh menyisakan puing-puing segala angan. Kandas cita-citaku sebelum tumbuh berkembang. Terima kasih takdir. Sesakit ini kau hantamkan palu godam tepat pada tempurung kepala. Kini yang dapat kupikirkan hanya bagaimana cara lari dari mereka. Aku jujur sudah muak dan tak tahan.
“B-bai
Bagian 34 Di malam yang begitu terang cahaya rembulan, kami berdua resmi meninggalkan rumah. Tak memperdulikan kejadian buruk apa yang akan terjadi di kemudian hari. Bagiku, meninggalkan segala kemewahan yang telah tersedia, bukan suatu sulit yang mesti kutakuti seperti dulu lagi. Langkah ini telah mantap. Tak mau kutoleh lagi ke belakang. Percaya diri, aku dan Azka berjalan beriringan, keluar dari pagar rumah mewah yang selama tujuh tahun ini menaungi dari terik panas dan badai hujan. Sembari memanggul ransel hitamnya, lelaki itu tak memberikan diriku untuk menggeret koper. Dengan sigap dia kerahkan tenaganya untuk menyeret benda berwarna hitam dengan ukuran sebesar 28 inci tersebut. Tak kusangka, Mas Yazid pun ternyata sama sekali tak mencegah diri ini untuk pergi. Kukira dia hanya menggertak saja. Namun, lelaki itu benar-benar telah m
Bagian 35 Kring! Suara ponsel yang sedang kugenggam erat akibat rasa grogi menghadapi pertanyaan Lubna, malah berbunyi keras membuat diri ini kaget setengah mati. Kuperhatikan layar. Kaget luar biasa. Panggilan masuk dari Ummi. “Una, aku keluar sebentar, ya. Ada telepon penting.” Aku langsung bangkit dan berjalan ke luar kamar, tanpa memusingkan ekspresi wajah Lubna yang terlihat begitu penuh tanya. Aku memilih untuk turun tangga, duduk di ruang tamu yang telah disediakan sofa. Tak ada orang lain. Situasi kost pun sedang sepi tanpa ada yang lalu lalang. Panggilan telepon dari Ummi terus berlangsung meski aku lama mengangkat. Kupersiapkan hati ini. Apa pun yang akan dia ucapkan mel
Bagian 36PoV Ummi “Ummi lihatkan sendiri, seperti apa kelakuan menantu kesayangan Ummi!” Dinda berkata dengan geram. Walaupun sedang sakit, anak ini masih tak berhenti berbicara juga. Aku sebagai orang yang paling punya kuasa di rumah ini, jenuh lama-lama melihat sikap Dinda. Namun, mengingat kelakuan Almira yang sangat di luar nalar, membuatku pelan-pelan bisa mengerti mengapa Dinda bisa segeram ini. “Sudah, Din. Kan kamu lihat Ummi barusan memarahi dia. Kamu sekarang tenang. Istirahat dulu.” Aku mendekat padanya. Berusaha untuk meredam kemarahan keponakanku yang sifatnya sangat berbanding terbalik dengan almarhum adikku yang lembut serta baik hati. Tak kusangka juga sifat asli Dinda begitu emosional, pembangkang, dan sulitu dikendalikan. Kalau tahu begini, untuk apa aku menyuruhnya menikah dengan Yazid?
Bagian 37Pov Ummi Makan malam kami usai. Namun, gilanya Azka dan Yazid tak kunjung datang. Sudah hampir jatuh terlelap bagai Putri Salju aku di meja makan ini. Apa yang mereka lakukan di rumah depan sana? Antre bantuan pemerintah atau latihan tawaf mengelilingi Kakbah? “Faraz, kita nonton tivi saja, yuk.” Abi membawa cucu keponakannya pergi menuju ruang tengah. “Bi, Ummi tinggal sendiri di sini?” Aku sudah merah telinga. Enak saja Abi meninggalkanku di meja makan sendirian seperti orang yang tengah jaga lilin pesugihan babi ngepet. “Ya, ayo!” Abi menoleh dengan muka kesal. &ld
Bagian 38PoV Yazid Dengan kerapuhan hati yang sebentar lagi akan hancur berkeping, aku menyetir dengan mobil mewahku. Hampa benar hati ini. Seolah aku baru saja kehilangan satu ginjal. Apalah dayaku tanpa sosok Almira. Hidup jadi tak semarak. Makan pun pasti aku tak akan kenyang. Mira ... tega-teganya kamu pergi bersama sepupuku sendiri. Bahkan tanpa pernah kau beri tanda sebelumnya bahwa kalian memang ada apa-apanya. Sepanjang perjalanan yang tak kutahu bakal menuju mana, pikiranku benar-benar kacau. Marah dan kecewa bertumpuk pada sosok kedua orangtuaku. Ini semua gara-gara mereka. Terutama Ummi yang sejak aku kecil selalu saja bersikap keras dan kasar. Bahkan aku sampai lupa kapan terakhir kali wanita tua itu berucap manis kepada kami saking seringnya dia marah-marah dan penuh emosi jiwa.&
Bagian 39PoV Azka “Azka, kamu mau kan, membuat Mbak Mira menjauhi Mas Yazid supaya hanya Kak Dinda seorang yang menjadi istrinya?” Permintaan Kak Dinda sebelum hari H pernikahannya dengan Mas Yazid membuatku seketika terhenyak. Apa maksud Kak Dinda? Menjauhkan Mbak Mira menjauhi Mas Yazid? Oh, tidak. Kurasa itu bukanlah keahlianku untuk membuat hubungan seseorang hancur, terlebih Mas Yazid adalah sepupuku sendiri. “Maksudnya, Kak?” Aku masih bingung dengan ucapan Kak Dinda. Kuhentikan sesaat aktifitasku mengemaskan seluruh barang-barang kami untuk dibawa ke rumah Ummi. Kupandangi sejenak wajah Kak Dinda yang diliputi keresehan. “Buat dia mencintaimu dan berpaling dari Mas Yazid. Dekati terus perempuan itu. Sementara aku akan me
Bagian 40 Tercenung aku sesaat. Duduk bersandar di atas sofa ruang tamu kost milik Lubna. Setengah menyesal diriku telah memberi tahu Mas Yazid tentang posisiku saat ini. Namun, entah mengapa hati ini seperti memberontak. Meronta minta bertemu suamiku. Seakan mempercayai semua janji-janji klasiknya. Benarkah bahwa Mas Yazid bakal menunaikan kata-katanya tadi? Memangnya, dia sanggup hidup tanpa harta Ummi dan Abi? Baiklah. Sesuai kemauannya tadi, ini adalah kesempatan terakhir. Benar-benar terakhir kalinya aku sudi menemui lelaki itu. Namun, jika dia kembali bertingkah plin plan atau bahkan membawaku kembali pada orangtuanya, maaf aku tak akan bisa. Lebih baik aku hidup sendiri di kota ini atau pulang ke kampung saja dengan sisa uang yang ada. Sekarang aku malah mer
Bagian 41 Sepanjang malam, kami habiskan dalam kamar hotel dengan penuh gelora desah asmara. Kini aku bebas mengekspresikan rasa cinta dan rinduku pada Mas Yazid. Begitu pula dengan dirinya. Kami tak malu maupun sungkan. Sekadar erang atau lenguh, aku keluarkan tanpa merasa risih. Malam ini aku benar-benar hanyut dalam hasrat yang membara. Tak seperti biasanya. Selayaknya aku baru saja menemukan sesuatu yang berbeda pada suamiku itu. Dan tentu saja, setelah puas saling bertukar peluh, kami jatuh tidur dalam keadaan yang sangat lelah. Hari ini sangat di luar kebiasaan. Tiga kali bercinta dalam tempo kurang dari 24 jam. Aku sampai geleng-geleng kepala. Kok bisa? Paginya aku dan Mas Yazid terbangun dalam keadaan matahari telah meninggi. Kami sama-sama kaget. Sebab belum mandi junub dan menunaikan salat Subuh. Tanpa pikir panjang, suamiku la