Share

Kerinduan

Sudah hampir sore kami menunggu di depan pintu gerbang mengharap belas kasih dari dalam benteng, mereka masih saja keras kepala.

“Apakah kita harus pergi dari sini, Abdullah?” tanyaku penuh rasa kesal.

“Bersabarlah Nerva, kita pasti akan ditolong oleh mereka.” Abdullah terus melembutkan hatiku agar lebih tenang dalam menghadapi situasi yang sulit ini.

“Nerva aku haus...” Pinta Ruqqayah. Aku kebingungan melihat kiri kanan untuk mencari air yang menggenang barangkali ada beberapa yang bisa membuat rasa haus ini sedikit berkurang. 

“Anak muda, aku ada beberapa air yang bisa diminum, minumkanlah untuk gadis yang ada disampingmu itu.” Tawar seorang bapak berpakaian lusuh di sampingku.

“Terimakasih pak, apakah ini bisa menggantikannya?” lalu aku menyodorkannya kepadanya pisau berlapis perak, dengan harapan dia bisa menerimanya dengan senang hati.

“Ambilah kembali, aku yakin kita akan masuk kedalam beteng, disana terdapat sumber mata air yang segar dan bersih.” Aku tersenyum senang dengan perkataan bapak tadi. Ketulusannya bagaikan mendatangi oase di tengah padang pasir yang tandus. Lalu minuman tadi aku berikan kepada Ruqqayah, kemudian dia meminumnya dengan pelan-pelan.

Kemudian datanglah sepasukan yang berjumlah sangat besar datang dari arah selatan. Kami ketakutan dan kami berlarian di bawah parit untuk berlindung. Namun aku melihat Hasan mengamatinya lebih jelas, dan ternyata itu adalah pasukan dari Dinasti Khwarezmia yang hendak menggabungkan kekuatan dengan pasukan beteng Urgench.

“Alhamdulillah, mereka akan membukakan gerbang untuk kita!” Teriak salah satu pengungsi yang juga mengamati apa yang ia bawa, yakni atribut Kwarezmia.

Setelah pasukan itu mendekat, kami kemudian naik ke atas parit dan mendekati mereka.

“Tolong bukakanlah pintu untuk kami!! Kami mohon.....” Abdullah merintih kepada mereka.

Kemudian penunggang kuda yang memakai atribut yang paling bagus datang dan berteriak kepada penjaga gerbang.

“Bukakanlah pintu itu untuk para pengungsi, penjaga... aku adalah pangeran Jalaludin!”

Kemudian mereka membukakan gerbang itu dengan lebar. Kami bersuka cita dan masuk meskipun dengan berdesak-desakan. Aku menjadi berpikir, alangkah besar kharisma seorang pangeran yang dapat menetralkan masalah yang sangat sulit bagi kami.

“Wahai Hasan, bagaimana kamu bisa masuk sedangkan penampilanmu sungguh mencolok?” Aku menggaruk-garuk kepala melihat Hasan.

“Tenang saja, aku memiliki jubah hitam yang bisa menutupi zirah dan segala perlengkapanku. Dan panah ini bisa di buat ringkas sehingga tidak tampak besar ketika ku sembunyikan di belakang punggung. Ketopong yang biasa aku pakai sudah ku buang supaya tidak begitu besar penampilanku.” Kata Hasan. Aku hanya bisa mengangguk-angguk mengerti.

Setelah kami masuk, lalu kami diberikan oleh penduduk asli kota Urgench minuman dingin yang menyegarkan. Serta roti dan buah-buahan. Penduduk disini sangat ramah terhadap kami. Aku melihat para penjaga ketakutan terhadap kami, mungkin karena mereka takut akan musuh yang nanti mereka hadapi, yakni mereka yang suka berperang dan senang berbuat keji. Lalu kemudian kami dibawa ketempat yang besar untuk istirahat.

Aku melihat bangunan sekitar yang begiitu megah dan indah. Di kiri kanan terdapat pilar yang tinggi penyangga bangunan dengan pohon persik dan aprikot yang rindang dan berbuah segar di kiri kanan jalan. Aku memetiknya dan memberikannya kepada Ruqqayah, Hasan, dan Abdullah.

“Aku harus mencari Ibu dari mana, aku binggung....” tanyaku kepada mereka.

“Bagaimana jika kita bertanya kepada penduduk asli sini? Biasanya pelayan itu memiliki rumah tersendiri disamping bangunan istana.” Usul Abdullah.

“Aku akan kesana...” aku kemudian membenarkan pakaianku dan bersiap berangkat.

“Aku ikuutt..” Ruqqayah merengek ingin ikut.

“Aku juga.” Abdullah juga ingin ikut.

“Okey, Hasan bagaimana denganmu?” tanyaku kepada Hasan.

“Aku akan mencari kuda yang bisa kita beli, kita gunakan agar kita bisa keluar segera dari sini.”

“Kenapa tidak berlindung di sini saja, di sini terdapat banyak penjaga dan betengnya begitu tinggi menjulang.” Ruqqayah mengusulkan pemikirannya yang bersebrangan dengan pemikiran kami.

“Aku melihat di sini banyak kelemahan pada garis pertahanannya. Aku bisa mengira jika benteng ini tidak lebh dari seminggu akan runtuh oleh serangan Mongol yang berjumlah besar dan bisa lebih cepat dari itu dengan teknologi rahasia yang mungkin mereka rampas dari dinasti Jin yang maju.”

“Berarti kita tidak bisa mengharapkan perlindungan benteng ini?” tanya Abdullah kepada Hasan.

“Benar. Waktu kita hanya satu hari sampai subuh untuk menjemput ibunda Nerva keluar dari sini.”

“Kalau begitu ayo kita cari!” Sahutku...

Setelah kami mengintari kota, kemudian aku menemukan Istana yang begitu megah dan indah.

“Ini mungkin istana Shah, berarti kita hampir dekat dengan ibuku.” Aku mulai memikirkan siasat agar bisa masuk. Tiba-tiba Abdullah masuk dan menemui penjaga yang menjaga area istana. Aku khawatir mereka menangkap kami karena mendekati istana. “Abdullah tunggu!!”

“Tuan Penjaga, kami ingin bertemu dengan keluarga kami yang bekerja sebagai pelayan istana, apakah kami boleh masuk?” Abdullah tanya kepada pelayan tanpa pikir panjang.

“Baik, sebelah sini...” Jawab penjaga istana itu kepada Abdullah. Abdullah menunjukkan tampang sumringah setelah diizinkan masuk oleh pelayan, memang dirinya senang membuatku sebal.

Setelah kami masuk aku melihat berbagai keindahan istana yang begitu menakjubkan dengan suasana sore yang syahdu. Istana ini memiiki air mancur yang banyak dan simetris dari berbagai sisinya. Pilar-pilar yang besar dan dinding yang berlapis perak membuat istana tampak memantulkan sinar matahari dengan gemerlip yang menawan. Para penjaga yang mengelilingi bagian depan pintu masuk menyandang tombak dan tameng dan berpakaian yang beda daripada pakaian penjaga beteng yang ada di garis depan. Pakaian mereka yang berwarna hijau keemasan yang melapisi baju zirah tampil elok jika dipandang.

Kemudian kami melewati lorong yang memanjang dengan di kiri kanan pintu berlapis emas dan bersanding dengan kain sutra berwarna-warni yang memanjang sebagai hiasan kiri kanan pintu. Sesampainya di tujuan, aku melihat sebuah ruangan yang luas dengan banyaknya wanita-wanita yang cantik. Seketika bajuku ditarik oleh Ruqqayah dengan keras. Aku paham maksudnya, kemudian aku menundukkan pandanganku.

“Siapa pelayan yang ingin kamu temui?” tanya penjaga istana kepada kami.

“Namanya Mariya Tuan, dia ibuku.” Jawabku kepadanya.

“Benarkah kamu Nerva, anaknya? Dia adalah kepala pelayan istana Urgench yang kami hormati.”

Aku  memandang Abdullah, dan dia mengangguk kepada ku. Berarti Abdullah sudah tahu dari awal tentang Ibuku.

“Nyonya Mariya, ada anakmu yang ingin bertemu denganmu.”

“Bawalah kesini tuan” Terdengar suara yang tidak asing lagi dari arah dalam.

“Masuklah” Perintah penjaga tadi.

Saat aku masuk, aku melihat ibuku sedang duduk bermain dengan kucing persia. Dialah ibuku yang telah melahirkanku dan meninggalkanku sejak kecil di desa Ashgabat.

“Assalamu’alaykum , Ibunda, ini aku Nerva.”

“Wa’alaykumussalam, Nerva, kamu sudah besar. Aku mendengar banyak hal tentangmu di desa Ashgabat.” Beliau menyapaku dengan nada yang dingin.

“Engaku pasti mendengarkan hal-hal yang buruk tentangku, tapi aku sekarang sudah berubah, Ibu.” Jawabku kepadanya. Lalu aku mencoba berperilaku baik kepadanya, berharap dia mau mendengarkanku dan mau pergi dari sini.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status