Pada pagi hari, Junaedi terbangun di sebuah kamar petak berukuran 3×3 meter persegi, dalam keadaan setengah tubuhnya telah terbalut perban. Dia mendapati seorang gadis berambut kepang duduk tertidur di tepi ranjang sembari menggenggam erat tangannya.
Siapa gadis ini? Pikirnya.Junaedi berusaha melepaskan genggaman tangan gadis itu. Namun, gerakannya membuat gadis itu terbangun.Melihat pria di depannya sudah sadar, bahkan duduk menatapnya, gadis itu spontan melepaskan genggaman tangannya."Ma-maafkan saya, Pak Juned! Saya tidak bermaksud lancang," ujar gadis itu tak berani menatapnya."Kamu siapa?""Sa-saya Jamelah, pembantu baru di rumah Anda. Bukankah Anda sendiri yang menerima saya untuk bekerja di sini tiga hari yang lalu?""Tiga hari yang lalu?" Junaedi tampak mengingat-ingat kembali. "Oh, benar. Aku mengingatnya."Jamelah adalah gadis desa berpenampilan jadul dengan gaya rambut kepang dan kacamata bulat. Dia berumur 20 tahun dan merupakan anak sulung dari seorang jawara kampung yang cukup terkenal di desanya. Gadis itu cukup memiliki bekal pelatihan beladiri. Sehingga, sang ayah mengizinkannya untuk hidup mandiri."Saya akan mengambilkan air minum untuk Anda!" Jamelah pun beranjak pergi ke dapur.Junaedi mendengar suara gaduh di ruang tengah. Orang-orang di sana terdengar sedang asik mencemooh dirinya hingga tertawa lepas."Seekor anjing bahkan lebih pintar dari Junaedi, bodohnya dia tidak menyimpan kecurigaan sedikitpun kepadamu, Ambar. Aku benar-benar tidak menyangka pria bodoh itu belum menyentuhmu seujung lidah pun! Ha ha ha!"Junaedi memakai pakaiannya dan keluar dari kamar pembantu itu. Dia berpapasan dengan Jamelah yang sedang menggenggam segelas air putih di tangannya."Apakah Anda ingin menemui mereka, Pak Juned? Saya pikir, itu bukan ide yang bagus. Saya tidak memberitahu mereka bahwa Anda ada di sini," ujar Jamelah tampak khawatir.Tiba-tiba, Ambar yang bermaksud ke washtafel dapur untuk cuci tangan, matanya terbelalak melihat sosok Junaedi berdiri di hadapannya."Mas Juned! Ka-kapan pulang?" tanya Ambar sangat canggung."Junaedi?"Mendengar nama Junaedi terucap dari lisan Ambar, Marsodi segera bangkit dari tempat duduknya dan menyusul wanita itu diikuti oleh kedua saudaranya."Dunia ini benar-benar sempit." Marsodi melingkarkan tangannya ke pinggang Ambar dan berkata, "cepat atau lambat, istrimu akan menjadi milikku sepenuhnya.""Oh," timpal Junaedi singkat dengan wajah tak peduli.Kekhawatirannya kepada sang istri sangat sia-sia. Jiwa lain yang berada dalam tubuh Junaedi bukan lagi sosok pria yang mudah terpedaya akan cinta."Cih!" decak Marsodi tak puas dengan reaksi Junaedi. Dia pikir, si budak cinta ini akan meluapkan emosinya dengan membabi buta. Tidak sesuai harapan.Junaedi melangkahkan kakinya melewati mereka berdua begitu saja. Namun, Marsodi memerintahkan dua adik kembarnya, yaitu Joko dan Juki untuk menghadang Junaedi.Marsodi pun berbalik mendekati Junaedi. Lalu ia berbisik di telinganya, "kau tau, mengapa kita dipertemukan lagi? Ini adalah takdir bahwa kau harus mati di tanganku!" Lelaki itu meremas bekas luka semalam di punggung Junaedi sembari menarik kemejanya."Tapi, sebelum kau mati, aku akan berbaik hati membiarkanmu bersenang-senang dengan pembantu barumu!" lanjut Marsodi melirik Jamelah di belakangnya menunjukkan seringai.Bersenang-senang dengaku? Apa maksudnya? Batin Jamelah. Gadis itu meletakkan segelas air yang ia bawa di atas meja makan.Tampak si Juki dengan bersemangat mencampurkan serbuk putih ke dalam air. Lalu mereka bertiga memaksa Junaedi untuk meminumnya. Meskipun lelaki itu berusaha terus mengelak, mereka bertiga menekan kelemahannya hingga akhirnya minuman tersebut berhasil tertenggak olehnya. Lalu mereka melemparkan Junaedi ke kamar pembantu.Kini, giliran Jamelah. Tentu saja gadis itu menang dengan memberikan perlawanan, hingga berhasil menjatuhkan Joko, Juki, dan Marsodi dengan kekuatan bela dirinya.Setelah itu, Jamelah segera masuk ke kamar. Kemudian menendang perut Junaedi sampai ia memuntahkan segala isi perutnya. Namun, dia melupakan keberadaan Ambar di sana. Ambar menyuntikkan sebuah jarum berisi suatu cairan ke tengkuk Jamelah, hingga gadis itu jatuh pingsan. Kemudian, Ambar menutup dan mengunci pintu rapat-rapat."Joko, kau hubungi ayah agar dia datang ke sini bersama Mbah Karso, Kakek Buyut Sutejo, dan Om Wito supaya mereka menyaksikan pertunjukan," perintah Marsodi kepada adiknya.Sementara itu, di dalam kamar, Junaedi merasa lega karena telah memuntahkan minuman itu. Dia merangkak mendekati Jamelah sembari memegangi perut. Sekujur tubuhnya berdenyut tiada henti.Sesekali lelaki itu mengeluh. "Mengapa aku terbangun dalam keadaan seperti ini? Sial!" Jiwa dalam diri Junaedi tersadar, mengeluh bukanlah gaya hidupnya. Baru kali ini dia merasakan dirinya sangat dihinakan.Setelah Jamelah terbangun, dia merasa aneh dengan kondisi tubuhnya. Panas di bagian yang terdalam dan merasa sangat bergairah.Heh! Inikah yang mereka maksud dengan bersenang-senang? Jamelah menyunggingkan senyum."Hey, apa kamu baik-baik saja?" tanya Junaedi mendekatinya."Tidak. Saya tidak baik-baik saja, Pak. Tetaplah di sana dan jangan mendekat! Atau saya akan memangsa Anda," balasnya. Wajahnya memerah, dia terus menutup diri, khawatir dirinya benar-benar akan menerjang lelaki itu.Junaedi memahami kondisinya. Dia tetap mendekat dan berkata, "aku bisa membatumu dengan pijatan refleksi. Percayalah!"Jamelah pun mengangguk dan membiarkan lelaki itu membantunya. Beberapa menit kemudian, pintu kamarnya terbuka tepat pada saat Junaedi memijat bagian perutnya.Di balik pintu tersebut, tampak si kakek tua Sutejo duduk di kursi roda, datang bersama Karso Sutejo (anak kedua Sutejo), Wito Sutejo (anakpertama Karso), dan Santo Sutejo (anak kedua Karso/ayah Marsodi)."Apa-apaan ini!" Karso berkacak pinggang dengan suara lantang menatap tajam Junaedi.Santo menendang dahi Junaedi dengan tumitnya hingga jatuh terlentang. "Kau punya istri cantik macam Ambar, malah kau anggurin! Goblok! Pria nggak guna, memang paling cocok bersanding dengan pembantu! Cuih!" Lesatan ludah mendarat di wajah Junaedi.Sementara itu, Marsodi, Joko, Juki, dan Ambar terkekeh puas melihat Junaedi dalam keterpurukan."Jadi, kalian sengaja membawaku ke sini untuk menyaksikan ini?" ujar Sutejo dengan suara lirih."Tentu saja, Kakek. Aku cuma pengin Kakek tau, bahwa anak dari cucu kesayangan Kakek ini, tidak sebaik ayahnya. Dia hanyalah pembawa aib keluarga!" timpal Santo.Hati Sutejo bagai tertusuk duri yang sangat tajam. Mereka menghakimi Junaedi secara sepihak, bahkan tanpa memperdulikan dirinya sebagai orang tertua. Kakek tua itu berusaha mengatur napas menjaga emosinya agar penyakit jantungnya tidak kambuh lagi."Tenanglah Kakek, Susi akan segera datang!" ujar Wito menggenggam erat tangan sang kakek untuk menghiburnya.Di samping itu, Karso melangkah menghampiri Junaedi dan Jamelah. Dia menjambak dan mencengkeram rambut mereka. Lalu, menyeret dan melemparkan mereka ke halaman rumah."Kau adalah aib Keluarga Sutejo! Aku akan membiarkanmu bersenang-senang dengan wanita jalang ini. Tapi, sebagai balasannya, kau akan dikeluarkan dari silsilah Keluarga Sutejo dan angkat kaki dari rumah ini! Ayahmu, Bambang Sutejo tidak akan sudi memiliki anak sepertimu!" teriak Karso mendongakkan dagu Junaedi, lalu menamparnya dengan sangat keras."Siapa yang berani mengeluarkannya dari silsilah Keluarga Sutejo? Anda bahkan tidak berhak mengusir Junaedi dari rumah ini, Paman!" ucap seorang wanita keluar dari sebuah mobil hitam yang cukup megah. Wanita itu berjalan melangkah diiring oleh lima lelaki kekar berjas hitam."Sayang, kenapa kamu belum tidur? Ini sudah tengah malam loh!" ujar Susi Sutejo kepada anak gadisnya masih tampak serius menatap layar computer."Perasaan aku nggak enak, Mam," jawab Sarah menunjukkan kecemasan."Nggak enak kenapa? Apa yang sedang kamu pikirkan?""Titik letak Mas Juned, Mami. Sistem lacak di ponselnya menunjukan bahwa dia berada di tepi sawah yang membentang dari Kecamatan Maos -Sampang. Dan dia tidak bergerak sejak pukul 19.00 hingga saat ini," ungkap Sarah sembari memperlihatkan komputernya."Mungkin saja hapenya jatuh waktu dia lagi jalan-jalan.""Aku udah berusaha berpikir positif, Mam. Tapi, jam 9 malam tadi, aku sempet telpon Marina supaya dia mampir ke rumah Mas Juned sepulang kerja. Katanya Mas Juned nggak ada di rumah," jelas Sarah mengeluarkan segala isi kegundahannya.Susi pun terdiam dan mulai meresapi kata-kata anak gadisnya. Meskipun Susi dan keluarga kecilnya tidak menyukai sifat Junaedi yang suka leyeh-leyeh dan lontang-lantung tidak jelas, mereka masih
"Besok siang. Rumah makan akan buka jam satu siang sampai jam sembilan malam. Tante akan mengurusnya untukmu."Matahari pun mulai meninggi hingga hingga sedikit condong ke barat. Ambar masih termenung di dalam kamar, memikirkan cara bagaimana ia harus menghadapai Junaedi selanjutnya. Perubahan sikap suaminya yang tak terduga, membuat wanita itu terus mendengus hingga beberapa kali."Aaargh! Bisa-bisanya aku memikirkan pria itu!" umpat Ambar mengacak-acak kepalanya..Tiba-tiba, terbesit dalam pikirannya suatu ide. Ambar pun keluar kamar mencari sosok pria itu. Dia menjumpai suaminya sedang duduk serius di ruang tengah, membaca sebuah majalah maskan tradisional di tangannya. Junaedi melirik sesaat, tapi kemudian dia kembali asik dengan majalah di hadapanya.Ambar perlahan mendekat dan duduk di sisinya. Junaedi masih terdiam tak terucap sepatah kata pun."Kakak-kakakku bilang, mereka akan datang untuk makan malam!" ucap Ambar tiba-tiba.Seketika itu, Junaedi menutup majalah yang sedang di
Membunuh? Satu kata horor ini, kini menghantui Junaedi mengingat kembali kejadian tiga bulan yang lalu.Jamelah menutup teleponnya karena tidak ada yang harus diinformasikan lagi, sedangkan Junaedi masih termenung memikirkan kalimat terakhir yang dia ucapkan.Susi melirik ke arah Junaedi sebentar, lalu kembali fokus pada Marina yang datang dengan membawakan dua porsi batagor untuk mereka. Susi berbisik kepada wanita itu agar membungkuskan tiga porsi lagi untuk dibawa pulang sesuai dengan pesanan Junaedi."Jika bukan karena lima restoran ayahku masih dalam kendalinya, aku akan menceraikan wanita itu detik ini juga!" celetuk Junaedi cukup keras, membuat Susi dan Marina yang berada di sampingnya tersentak.Namun, karena masih banyak pelanggan yang belum dilayani, Marina mengundurkan diri dan kembali melakukan pekerjaannya."Ini salahmu terlalu bodoh! Kalau bukan kamu sendiri yang memberikan hak kepada wanita itu, dia tidak akan bisa mengambil bisnis ayahmu!" ungkap Susi terlihat geram sem
Beberapa saat lalu ketika Jamelah sedang menjalankan perintah."Sepertinya aku telah menemukan orang yang cocok untuk menjadi guruku, Tante," ucap Junaedi kepada Susi sembari menatap kagum gadis berkacamata bulat itu."Dari mana kamu mendapatkan pembatu sehebat itu?" tanya Susi juga tampak kagum melihatnya."Aku tidak tau. Dia tiba-tiba datang mencari pekerjaan.""Bagaimana dengan asal usulnya?""Oh, aku ingat, dia pernah bilang, bahwa dirinya adalah anak dari seorang jawara kampung. Dia cukup kuat. Jadi, tidak masalah melakukan suatu pekerjaan yang berat," jelas Junaedi."Hmm. Ini masuk akal." Susi menatap gadis itu dengan mata menyelidik.Ketika mereka melihat Jamelah sudah berhasil membereskan dua orang itu, mereka pun datang berbondong-bondong. Junaedi membuka penutup kepala dua orang itu dan membalikkan tubuh mereka agar terlentang."Mereka bukan dari Keluarga Wijaya!" kata Junaedi."Lalu, siapa mereka?" tanya Susi. Dan tidak ada seorang pun yang mengenali mereka.Junaedi melihat
Junaedi mendaratkan tinju ke wajah si koki.Bugh!"Setiap datang satu pembeli kamu meremehkannya!" Junaedi mengucapkan kalimat itu berulang-ulang sembari menjambak rambut si kepala koki, hingga kepalanya menunduk. Kemudian, Junaedi menghempaskan dagu sang kepala koki dengan lututnya.Buak!Satu gigi seri bawah ikut terhempas melayang di udara."Aaaargh!" Si kepala koki merintih kesakitan."Sepertinya, satu jam latihan tadi pagi tidak sia-sia," gumam Junaedi tersenyum tipis.Sang koki pembantu yang berada di sisinya menyaksikan dengan tubuh gemetar. Joko yang sudah lama memantau perkelahian mereka juga ikut bergidik. Sejak kapan si penakut itu bisa berkelahi? Pikir Joko.Kemudian, datang lagi seorang pengunjung pria muda. "Eh, Bang! Bang!" teriak pria itu memanggil Junaedi.Junaedi segera merapikan baju dan menghampirinya. "Iya, Mas. Silakan!""Cilok kuah iga seporsi, sambelnyo dikit ajo yo," ucap pria itu dengan logat bataknya."Siap, Mas!"Junaedi kembali ke dapur dan melempar catata
Junaedi berbalik melihat seorang pria berjas merah marun, sangat rapi dan berwibawa, menggandeng seorang wanita bergaun putih cantik nan anggun. Dalam hati, Junaedi bertanya-tanya, siapakah mereka?"Astaga, mohon maaf karena saya tidak menyambut Anda, Tuan dan Nyonya! Saya benar-benar kurang memperhatikan pintu masuk, sehingga saya melewatkan kesempatan itu," ucap Junaedi menunduk sopan sembari menarik dua kursi dan mempersilakan mereka untuk duduk. "Silakan, apakah Tuan dan Nyonya ingin memesan sesuatu?""Ya, awalnya kami hanya ingin singgah dan mencicipi makanan di sini. Tapi, setelah mendengar pedebatan kalian soal memasak, sepertinya suami saya sangat tertarik menjadi juri kalian," ujar si wanita pengunjung melirik ke arah suaminya."Perkenalkan, nama saya Tukijo dan ini adalah istri saya, Markonah. Saya akan mengundang beberapa orang untuk makan di sini, setelah saya menyaksikan skill memasak kalian. Dan saya akan membayar seharga tiga kali lipat untuk makanan terbaik dari yang k
Meskipun masakan sang kepala koki tidaklah buruk, tapi milik Junaedi adalah yang terbaik. Jiwa Master Chef Nusantara abad ke-18 dalam tubuh Junaedi ini, tidak mengenal bumbu penyedap atau yang disebut dengan micin pada zaman ini. Sehingga, cita rasa masakannya yang khas, adalah rasa alami dari bumbu-bumbu dapur yang ia racik.Sang kepala koki pun ikut mencicipi masakan Junaedi. Dia hanya terdiam. Ekspresi tak percaya bahwa dia benar-benar telah dikalahkan oleh seorang Junaedi. Pria yang seminggu lalu sangat memalukan dengan cilok gosongnya. Orang itu berpikir, Junaedi baru belajar memasak satu minggu, tapi dia sudah bisa meracik masakan sesempurna itu."Mulai besok, saya tidak akan bekerja di sini lagi, selamat untukmu kepala koki Junaedi!" ujarnya tertunduk mengaku kalah. Dia menyerahkan seragam kokinya kepada Junaedi, lalu pergi meninggalkan tempat itu.Sebagai hadiah kepada sang pemenang, Tukijo mengabarkan bahwa dia akan mempromosikan rumah makan itu sebagai rekomendasi terfavorit
Jamelah mengantar Sutejo ke kamar tamu dan membantunya berbaring ke ranjang. Saat Jamelah hendak pamit undur diri, tangan pak tua itu dengan lemah menarik baju Jamelah."Nak, bolehkah aku minta tolong?" ujar Sutejo."Kakek mau minta tolong apa?""Sebelum Junaedi pulang, aku melihat Ambar menyimpan gunting di sakunya. Tolong, kamu lihat kamarnya dan bangunkan dia! Aku sangat khawatir."Jamelah pun segera berlari menuju kamar Junaedi. Pintunya terkunci. Dia mengambil ponselnya dan menelpon Junaedi.Sementara itu, di dalam kamar, aksi Ambar terhenti karena suara getaran di ponsel suaminya. Sayangnya suara getaran itu terdengar sangat lirih sehingga tidak mampu membangunkan Junaedi. Ambar pun melihat layar ponsel itu."Jamelah?" Dia mengangkatnya, karena ingin tahu apa yang akan pembantu itu katakan."Halo, Pak Juned." Jamelah terhenti. Sebenarnya, dia hanya ingin mengetes, siapa yang mengangkat ponsel milik Junaedi."Dasar pembantu tak punya sopan santun! Beraninya kau mengganggu malamku