Sesak ... pengap ... dan berdebu. Pandangan remang-remang, pusing, serta rasa sakit yang begitu mendalam di punggungnya.
"Ugh! Di mana aku?" gumam seorang pria disertai dengan rintihan.Kepalanya terasa berdenyut-denyut dan rasa sakit di punggung, semakin lama semakin nyeri. Ingatannya campur aduk. Beberapa waktu yang lalu, dirinya masih berada di sebuah restoran, sedang meracik bahan untuk membuat siomay ikan tongkol. Namun, tanpa sengaja, jari telunjuknya tertusuk tulang ikan tongkol. Seketika itu, kepalanya menjadi pusing dan pingsan.Pria berumur 25 tahun itu terbangun dalam keadaan tubuh tengkurap di suatu tempat yang sama sekali tidak dikenalinya. Tempat yang gelap, pengap, dan berdebu. Dia berusaha bangun merangkak. Dan ...Braak!Sesuatu terbuka saat ia berusaha untuk bangkit berdiri. Rupanya, dia tertutup di dalam sebuah box kayu tua memanjang dan berbentuk seperti peti mati. Box kayu tua itu berada di samping sebuah bangunan tua yang tampak tak berpenghuni.Kepalanya masih terasa berputar-putar. Ingatan lain pun tiba-tiba muncul. Namanya Junaedi Sutejo. Anak dari seorang chef bernama Bambang Sutejo, seharusnya menjadi pewaris sepuluh restoran ternama, tapi setelah kematian ayahnya, malah berakhir menyedihkan karena kebodohannya tidak memiliki skil memasak apapun. Seorang pria bodoh yang selalu direndahkan dan dianggap tidak berguna oleh orang-orang di sekitarnya.Pria itu menatap tubuhnya sendiri dari ujung kaki hingga ke badan. Dirinya memakai kemeja putih dengan bagian atas terbuka dan celana jins sepanjang mata kaki."Ini bukan tubuhku! Aku, Sumitro Joyo Kusumo adalah seorang master chef jenius di abad ke-18, mengapa aku bisa berada di tubuh pria malang ini?" gumamnya.Beberapa waktu lalu, Junaedi sedang berkencan dengan istri tercintanya. Ia duduk di tepi sawah sembari memandang keindahan malam. Namun, tiba-tiba seseorang menikamnya dari belakang. Sebuah pisau, menancap di punggungnya. Tak lama kemudian, karena sang pemilik tubuh tidak kuat menahan rasa sakit, akhirnya ia pun mati. Entah bagaimana nasib istrinya hingga saat ini.Karena sudah berada di tubuh pria malang bernama Junaedi ini, maka Sumitro bertekad akan memperbaiki kehidupannya."Mulai sekarang, aku adalah Junaedi Sutejo, sang pewaris sepuluh restoran ternama! Aku, akan mengambil kembali apa yang seharusnya menjadi milikku! Dan tidak akan membiarkan mereka menindasku lagi! Akan ku gemparkan dunia ini dengan kemampuanku!"Junaedi segera beranjak dari tempat itu untuk mencari istrinya. Pria tersebut melangkahi box kayu tua dan berjalan tertatih sembari menahan rasa sakit di punggungnya.Baru saja berjalan beberapa langkah, tanpa diduga, dia berpapasan dengan tiga orang pria. Salah satu di antara mereka adalah Marsodi, sepupunya."Ka-kau!" tunjuk salah seorang dari mereka. "Ha-han-hantuuuuuu!" Dia berbalik lari terbirit-birit.Namun, Marsodi yang berada di sebelahnya, menahan dengan menarik sebagian bajunya. "Mana ada hantu, Goblok! Lihat kakinya masih napak di tanah!"Pria yang hendak lari pun menoleh. Dia mendapati kaki Junaedi benar-benar masih menginjak tanah. "Kalau bukan hantu, berarti kau ... mati suri?""Mati suri? Ha ha ha!" Marsodi dengan cepat mengayunkan kakinya menghantam sisi kepala kiri Junaedi.Buagh!Junaedi terhempas jatuh terlentang. Marsodi berjalan mendekatinya dan menarik baju lelaki itu hingga tubuhnya terangkat."Hidup lagi pun masih bernasib buruk bertemu dengan kami! Kau pasti belum pernah sekalipun menyentuh tubuh indah istrimu, kan?" Marsodi memainkan lidahnya sembari menyunggingkan senyum."Istriku? Apa yang telah kau lakukan pada istriku!" gertak Junaedi dengan amarah yang menggebu-gebu.Plak!Marsodi menghempaskan tangannya, hingga punggung tangan mengeluarkan bunyi yang nyaring. "Kau pikir, kau pantas untuk Ambar? Lihatlah, betapa menyedihkannya dirimu! Sampah sepertimu, kalaupun mati, tidak akan ada yang bersedih atas kematianmu! Ha ha ha!" tawa Marsodi disertai lesatan tangan yang mengepal, menghantam keras wajah Junaedi.Buagh!Junaedi terhempas mundur meringis kesakitan. Marsodi mengibas-kibaskan tangannya seraya berkata kepada dua pengikutnya."Sisanya, ku serakan pria sekarat ini pada kalian! Lebih cepat, lebih baik! Bawa mayatnya ke hadapanku!" Kemudian, lelaki bengis itu membalikkan badan dan berpaling meninggalkan mereka bertiga.Kalau saja tubuh ini tidak dalam keadaan terluka. Aku pasti sudah menghabisimu! Batin Junaedi menatap tajam Marsodi yang sudah semakin jauh dari pandangannya.Dengan bersusah payah, Junaedi kembali menggerakkan tubuhnya untuk bangkit."Supaya kami cepat mendapat bayaran, aku akan segera mengirimmu ke neraka untuk yang kedua kalinya!" Salah satu pria itu mengeluarkan sebuah pisau bekas darah. Ternyata, mereka lah yang telah membunuh sang pemilik tubuh.Pria itu mengayunkan pisaunya ke arah Junaedi. Dan Junaedi berusaha menghindar. Namun, kondisi tubuhnya yang tidak memungkinkan malah membuatnya jatuh tetsungkur."Aargh, sial! Kenapa aku tidak menyempatkan untuk belajar bela diri di masa lalu!" sesal Junaedi bergumam. Setidaknya, jika ia belajar bela diri di masa lalu, dia tidak akan merasa kesulitan seperti ini."Ha ha ha!" Dua pria itu menertawai Junaedi yang jatuh tersungkur dengan sendirinya.Salah satu pria itu menginjak bekas luka punggung Junaedi dengan kaki."Aaaaargh!"Junaedi mengerang keras. Rasa sakit yang luar biasa terus menggema di tubuhnya sampai ke ubun-ubun. Dia berusaha bangkit sembari tangannya menggenggam tanah dalam kepalan.Satu pria menahan kakinya dan satu pria lagi mengayunkan kembali pisaunya untuk membunuh Junaedi."Aku tidak akan membiarkan pisau itu menyentuh tubuhku lagi!" gumam Junaedi mengeratkan gigi gerahamnya.Jika Junaedi terkena satu tusukan pisau lagi, maka tamatlah riwayatnya. Ketika si pria mengayunkan benda tajam itu, Junaedi sekuat tenaga menendang pria yang menahan kakinya. Tumit Junaedi berhasil menohok leher pria itu hingga terjatuh. Dia pun berguling untuk menghindari lesatan pisau dan ...Whuuush!Pyaaaar!Junaedi melemparkan tanah dalam genggamannya ke wajah si pria yang memegang pisau. Akan tetapi, lengan pria itu sukses menghalangi wajahnya dari pasir-pasir yang menghujaninya."Heh, kau pikir bisa menaklukanku dengan trik kecil seperti itu?" seringai si pria sembari menodong kembali senjatanya.Junaedi merangkak mundur menjauh dari pria itu. "Aku tidak bisa melawannya, tapi aku masih sanggup berlari sembari menahan rasa sakit ini hingga mencapai batasku," gumamnya. Dia meraba-raba sesuatu apa saja yang bisa dijadikan senjata. Hingga tangannya menemukan segenggam batu.Tanpa basa-basi, tangan itu bergerak secara spontan menghempaskan batu tersebut ke arah si pria.Buagh!Sang batu menghantam keras hidung pria itu, hingga mengeluarkan cairan merah dari lubangnya.Kesempatan!Ketika pria itu lengah, Junaedi dengan sigap berdiri dan berlari tanpa peduli lagi dengan rasa sakit di sekujur tubuhnya. Dia terus fokus berlari ke depan, dan tidak sedikitpun menoleh.Hosh! Hosh! Hosh!Napasnya mulai menipis. Tanpa terasa, langkah kakinya sudah sampai di depan gerbang rumahnya yang tidak tertutup. Dia berjalan sempoyongan menuju pintu masuk dengan napas terengah-engah. Tangannya dengan lemas mengetuk pintu tanpa tenaga. Rasa sakit yang tadi ia abaikan, kini muncul kembali dengan nyeri yang berkali-kali lipat. Tak tahan lagi. Tubuhnya pun ambruk. Bersamaan dengan itu, seseorang membuka pintu dan manangkap tubuhnya yang terjatuh.Pada pagi hari, Junaedi terbangun di sebuah kamar petak berukuran 3×3 meter persegi, dalam keadaan setengah tubuhnya telah terbalut perban. Dia mendapati seorang gadis berambut kepang duduk tertidur di tepi ranjang sembari menggenggam erat tangannya.Siapa gadis ini? Pikirnya.Junaedi berusaha melepaskan genggaman tangan gadis itu. Namun, gerakannya membuat gadis itu terbangun.Melihat pria di depannya sudah sadar, bahkan duduk menatapnya, gadis itu spontan melepaskan genggaman tangannya."Ma-maafkan saya, Pak Juned! Saya tidak bermaksud lancang," ujar gadis itu tak berani menatapnya."Kamu siapa?""Sa-saya Jamelah, pembantu baru di rumah Anda. Bukankah Anda sendiri yang menerima saya untuk bekerja di sini tiga hari yang lalu?""Tiga hari yang lalu?" Junaedi tampak mengingat-ingat kembali. "Oh, benar. Aku mengingatnya."Jamelah adalah gadis desa berpenampilan jadul dengan gaya rambut kepang dan kacamata bulat. Dia berumur 20 tahun dan merupakan anak sulung dari seorang jawara kampung y
"Sayang, kenapa kamu belum tidur? Ini sudah tengah malam loh!" ujar Susi Sutejo kepada anak gadisnya masih tampak serius menatap layar computer."Perasaan aku nggak enak, Mam," jawab Sarah menunjukkan kecemasan."Nggak enak kenapa? Apa yang sedang kamu pikirkan?""Titik letak Mas Juned, Mami. Sistem lacak di ponselnya menunjukan bahwa dia berada di tepi sawah yang membentang dari Kecamatan Maos -Sampang. Dan dia tidak bergerak sejak pukul 19.00 hingga saat ini," ungkap Sarah sembari memperlihatkan komputernya."Mungkin saja hapenya jatuh waktu dia lagi jalan-jalan.""Aku udah berusaha berpikir positif, Mam. Tapi, jam 9 malam tadi, aku sempet telpon Marina supaya dia mampir ke rumah Mas Juned sepulang kerja. Katanya Mas Juned nggak ada di rumah," jelas Sarah mengeluarkan segala isi kegundahannya.Susi pun terdiam dan mulai meresapi kata-kata anak gadisnya. Meskipun Susi dan keluarga kecilnya tidak menyukai sifat Junaedi yang suka leyeh-leyeh dan lontang-lantung tidak jelas, mereka masih
"Besok siang. Rumah makan akan buka jam satu siang sampai jam sembilan malam. Tante akan mengurusnya untukmu."Matahari pun mulai meninggi hingga hingga sedikit condong ke barat. Ambar masih termenung di dalam kamar, memikirkan cara bagaimana ia harus menghadapai Junaedi selanjutnya. Perubahan sikap suaminya yang tak terduga, membuat wanita itu terus mendengus hingga beberapa kali."Aaargh! Bisa-bisanya aku memikirkan pria itu!" umpat Ambar mengacak-acak kepalanya..Tiba-tiba, terbesit dalam pikirannya suatu ide. Ambar pun keluar kamar mencari sosok pria itu. Dia menjumpai suaminya sedang duduk serius di ruang tengah, membaca sebuah majalah maskan tradisional di tangannya. Junaedi melirik sesaat, tapi kemudian dia kembali asik dengan majalah di hadapanya.Ambar perlahan mendekat dan duduk di sisinya. Junaedi masih terdiam tak terucap sepatah kata pun."Kakak-kakakku bilang, mereka akan datang untuk makan malam!" ucap Ambar tiba-tiba.Seketika itu, Junaedi menutup majalah yang sedang di
Membunuh? Satu kata horor ini, kini menghantui Junaedi mengingat kembali kejadian tiga bulan yang lalu.Jamelah menutup teleponnya karena tidak ada yang harus diinformasikan lagi, sedangkan Junaedi masih termenung memikirkan kalimat terakhir yang dia ucapkan.Susi melirik ke arah Junaedi sebentar, lalu kembali fokus pada Marina yang datang dengan membawakan dua porsi batagor untuk mereka. Susi berbisik kepada wanita itu agar membungkuskan tiga porsi lagi untuk dibawa pulang sesuai dengan pesanan Junaedi."Jika bukan karena lima restoran ayahku masih dalam kendalinya, aku akan menceraikan wanita itu detik ini juga!" celetuk Junaedi cukup keras, membuat Susi dan Marina yang berada di sampingnya tersentak.Namun, karena masih banyak pelanggan yang belum dilayani, Marina mengundurkan diri dan kembali melakukan pekerjaannya."Ini salahmu terlalu bodoh! Kalau bukan kamu sendiri yang memberikan hak kepada wanita itu, dia tidak akan bisa mengambil bisnis ayahmu!" ungkap Susi terlihat geram sem
Beberapa saat lalu ketika Jamelah sedang menjalankan perintah."Sepertinya aku telah menemukan orang yang cocok untuk menjadi guruku, Tante," ucap Junaedi kepada Susi sembari menatap kagum gadis berkacamata bulat itu."Dari mana kamu mendapatkan pembatu sehebat itu?" tanya Susi juga tampak kagum melihatnya."Aku tidak tau. Dia tiba-tiba datang mencari pekerjaan.""Bagaimana dengan asal usulnya?""Oh, aku ingat, dia pernah bilang, bahwa dirinya adalah anak dari seorang jawara kampung. Dia cukup kuat. Jadi, tidak masalah melakukan suatu pekerjaan yang berat," jelas Junaedi."Hmm. Ini masuk akal." Susi menatap gadis itu dengan mata menyelidik.Ketika mereka melihat Jamelah sudah berhasil membereskan dua orang itu, mereka pun datang berbondong-bondong. Junaedi membuka penutup kepala dua orang itu dan membalikkan tubuh mereka agar terlentang."Mereka bukan dari Keluarga Wijaya!" kata Junaedi."Lalu, siapa mereka?" tanya Susi. Dan tidak ada seorang pun yang mengenali mereka.Junaedi melihat
Junaedi mendaratkan tinju ke wajah si koki.Bugh!"Setiap datang satu pembeli kamu meremehkannya!" Junaedi mengucapkan kalimat itu berulang-ulang sembari menjambak rambut si kepala koki, hingga kepalanya menunduk. Kemudian, Junaedi menghempaskan dagu sang kepala koki dengan lututnya.Buak!Satu gigi seri bawah ikut terhempas melayang di udara."Aaaargh!" Si kepala koki merintih kesakitan."Sepertinya, satu jam latihan tadi pagi tidak sia-sia," gumam Junaedi tersenyum tipis.Sang koki pembantu yang berada di sisinya menyaksikan dengan tubuh gemetar. Joko yang sudah lama memantau perkelahian mereka juga ikut bergidik. Sejak kapan si penakut itu bisa berkelahi? Pikir Joko.Kemudian, datang lagi seorang pengunjung pria muda. "Eh, Bang! Bang!" teriak pria itu memanggil Junaedi.Junaedi segera merapikan baju dan menghampirinya. "Iya, Mas. Silakan!""Cilok kuah iga seporsi, sambelnyo dikit ajo yo," ucap pria itu dengan logat bataknya."Siap, Mas!"Junaedi kembali ke dapur dan melempar catata
Junaedi berbalik melihat seorang pria berjas merah marun, sangat rapi dan berwibawa, menggandeng seorang wanita bergaun putih cantik nan anggun. Dalam hati, Junaedi bertanya-tanya, siapakah mereka?"Astaga, mohon maaf karena saya tidak menyambut Anda, Tuan dan Nyonya! Saya benar-benar kurang memperhatikan pintu masuk, sehingga saya melewatkan kesempatan itu," ucap Junaedi menunduk sopan sembari menarik dua kursi dan mempersilakan mereka untuk duduk. "Silakan, apakah Tuan dan Nyonya ingin memesan sesuatu?""Ya, awalnya kami hanya ingin singgah dan mencicipi makanan di sini. Tapi, setelah mendengar pedebatan kalian soal memasak, sepertinya suami saya sangat tertarik menjadi juri kalian," ujar si wanita pengunjung melirik ke arah suaminya."Perkenalkan, nama saya Tukijo dan ini adalah istri saya, Markonah. Saya akan mengundang beberapa orang untuk makan di sini, setelah saya menyaksikan skill memasak kalian. Dan saya akan membayar seharga tiga kali lipat untuk makanan terbaik dari yang k
Meskipun masakan sang kepala koki tidaklah buruk, tapi milik Junaedi adalah yang terbaik. Jiwa Master Chef Nusantara abad ke-18 dalam tubuh Junaedi ini, tidak mengenal bumbu penyedap atau yang disebut dengan micin pada zaman ini. Sehingga, cita rasa masakannya yang khas, adalah rasa alami dari bumbu-bumbu dapur yang ia racik.Sang kepala koki pun ikut mencicipi masakan Junaedi. Dia hanya terdiam. Ekspresi tak percaya bahwa dia benar-benar telah dikalahkan oleh seorang Junaedi. Pria yang seminggu lalu sangat memalukan dengan cilok gosongnya. Orang itu berpikir, Junaedi baru belajar memasak satu minggu, tapi dia sudah bisa meracik masakan sesempurna itu."Mulai besok, saya tidak akan bekerja di sini lagi, selamat untukmu kepala koki Junaedi!" ujarnya tertunduk mengaku kalah. Dia menyerahkan seragam kokinya kepada Junaedi, lalu pergi meninggalkan tempat itu.Sebagai hadiah kepada sang pemenang, Tukijo mengabarkan bahwa dia akan mempromosikan rumah makan itu sebagai rekomendasi terfavorit