Berikan ulasan dan vote untuk setelah membaca novel ini ya
Sulit sekali bagi Luke untuk bisa memejamkan mata. Setelah rentetan peristiwa hari ini, ia tidak dapat tidur dengan nyenyak. Banyak hal yang melintas di pikirannya, terutama rencana pernikahannya dengan Rose.Ia yakin seratus persen jika Rose akan setuju untuk menikah dengannya. Namun ia justru tidak yakin pada diri sendiri. Sisi terang dan gelapnya sedang berperang satu sama lain. Entah dia sanggup atau tidak untuk melancarkan aksi balas dendamnya terhadap Rose. Pasalnya ia tidak terbiasa menyiksa batin seorang wanita. Namun sayang, tidak ada jalan baginya untuk mundur.Luke masih ingat bagaimana mendiang ibunya membuatnya bersumpah untuk membalas perbuatan Karen Black. Dan sebagai anak yang berbakti, ia tidak bisa melanggar janji itu."Lebih baik aku melukis untuk menenangkan diri," pikir Luke turun dari tempat tidur.Luke mengambil peralatan melukisnya lalu berjalan menaiki tangga. Pikirannya tertuju pada lukisan Rose yang belum selesai. Hari Senin gadis itu harus membawa lukisanny
Saat terbangun, Rose melihat sisi sebelah kiri tempat tidurnya telah kosong. Artinya Luke telah keluar dari kamar itu. Namun ia mendengar suara ribut-ribut dari luar kamar. Rose menyibakkan selimutnya lalu bergegas turun dari tempat tidur. Dia ingin melihat apa yang terjadi di dalam mansion."Selamat pagi, Nona Rose. Kenapa Anda turun dari tempat tidur? Tuan Muda mengatakan Anda kurang sehat akibat kejadian teror semalam," tanya Esme cemas. Dia sedang membersihkan sisa-sisa pecahan kaca di kamar Rose bersama dua orang pelayan wanita lainnya."Aku baik-baik saja, Esme. Ada keributan apa di bawah?""Tuan Muda sedang marah besar kepada Ben dan para petugas keamanan, Nona.""Kenapa dia marah?""CCTV di bagian depan mansion rusak tapi mereka tidak melaporkannya kepada Tuan Muda."Mendengar laporan dari Esme, Rose bergegas menuruni tangga. Tanpa menghiraukan penampilannya yang masih menggunakan gaun tidur, Rose berjalan ke ruang tamu. Ia melihat Luke berdiri dengan wajah tegang di depan par
"Ini dokumen perjanjiannya, Tuan Luke. Silakan dibaca dulu," ucap Tuan Franklin menyerahkan map file berwarna biru kepada Luke.Luke membuka map tersebut lalu membaca isinya dengan teliti. Bola mata lelaki itu bergerak ke kiri dan ke kanan, menelusuri setiap kalimat tanpa ada yang terlewatkan. Selesai membaca, senyuman puas merekah di bibirnya. Rose yang duduk di samping Luke hanya tertunduk dalam diam. Ia merasa seperti orang yang paling bodoh di dunia karena menjerumuskan diri sendiri ke dalam lubang buaya.Mereka bertiga sedang duduk bersama di satu meja berbentuk persegi panjang. Rose tidak mengerti mengapa Luke memilih restoran Italia sebagai tempat untuk membuat kesepakatan dengannya. Mungkin ini adalah bagian dari rencana besar Luke untuk merayakan kemenangannya."Baca dan tanda tangani. Kalau ada yang tidak kamu mengerti, tanyakan saja pada Tuan Franklin," ucap Luke menyodorkan perjanjian itu ke tangan Rose.Dengan wajah datar, Rose menerimanya. Yang dilakukan Luke hanyalah se
Rose saat ini sedang berdiri di depan cermin besar. Ia dipaksa mencoba sejumlah gaun putih oleh sang pemilik butik. Hampir satu jam ia bertahan, tapi tidak ada satu pun gaun yang mampu menarik minatnya. Penyebabnya bukan karena gaunnya yang jelek, tapi perasaannya yang kacau."Bagaimana, Nona Rose? Gaun mana yang Anda pilih?""Yang mana saja, Nyonya. Tolong bantu pilihkan untuk saya," jawab Rose enggan.Wanita pemilik butik itu keheranan. Selama ini ia belum pernah bertemu calon mempelai wanita yang lesu dan tidak bersemangat dalam memilih gaunnya."Sebentar saya akan mengambilkan koleksi gaun yang lain."Ketika wanita itu berjalan keluar, ia berpapasan dengan Luke."Nyonya Viola, apa Rose sudah memilih gaunnya?""Belum, Tuan Luke. Nona Rose tidak menyukai gaun putih yang saya tunjukkan.""Mungkin warna putih tidak cocok dengan kepribadiannya. Coba carikan warna lain. Yang ada motif mawar misalnya.""Mawar?""Iya sesuai namanya, Rose.""Kami punya satu gaun dengan payet mawar merah. A
"Jangan coba melepaskan alat itu. Ingat, aku selalu memantau pergerakanmu dari kejauhan," ucap Luke sebelum Rose melangkah dari pintu.Tanpa menghiraukan Luke, Rose berjalan menuju ke gerbang. Entah kenapa pria ini begitu terobsesi untuk mengontrol hidupnya. Bahkan tidak mau membiarkannya bebas untuk beberapa jam saja."Daddy," panggil Rose. Begitu melihat Rose, Denzel langsung turun dari mobil. Dengan sikapnya yang gentleman, Denzel membukakan pintu untuk Rose."Silakan masuk, Nona.""Terima kasih, Daddy," ucap Rose duduk di samping Denzel.Sesaat Denzel terpesona dengan penampilan Rose yang sangat berbeda hari ini. Dewasa, cantik dan lebih berani. Hal ini semakin menyadarkan Denzel bahwa Rose telah tumbuh menjadi wanita yang menawan. Bukan lagi gadis remaja yang pemalu seperti dulu."Maaf, Daddy harus menunggu di gerbang. Luke memang keterlaluan membuat peraturan seperti ini.""Saya tidak keberatan, Nona. Saya setuju selama tujuannya untuk melindungi Nona. Ini untuk Nona," kata Denz
Denzel menurunkan Rose di depan gerbang mansion. Setelah kedekatan yang terjalin selama tujuh tahun, Rose sangat sensitif terhadap perubahan sikap Denzel. Biasanya Denzel selalu menatapnya dengan hangat, tapi pandangan itu lenyap sudah. Kini yang tersisa hanyalah tatapan dingin dari bola mata sebiru samudera itu. Tak ayal hati Rose terluka karenanya. Hubungan yang terbangun di antara mereka selama bertahun-tahun hancur dalam waktu semalam. Ia harus kehilangan satu lagi orang yang paling berharga dalam hidupnya. Tapi ia harus menyalahkan siapa? Luke? Percuma saja karena ia sendiri yang setuju untuk menikahi pria pendendam itu. Barangkali sudah takdirnya harus terbelenggu dalam pusaran karma yang tiada henti. Kehadirannya di dunia telah menyakiti hati seorang wanita karena itu ia pun harus menanggung rasa sakit yang sama. "Jaga kesehatanmu, Daddy," kata Rose sebelum keluar dari mobil. Rose ingin memeluk Denzel untuk terakhir kali, tapi rasanya mustahil setelah luka dalam yang ditorehka
Setelah melewati empat orang pengawal yang berjaga, Denzel menuju ke ruang kerja ayahnya."Apa Papaku ada di dalam?" tanya Denzel kepada asisten pribadi ayahnya."Iya, Tuan Denzel. Tapi Beliau sedang menerima tamu.""Bukakan pintunya. Aku perlu bicara dengan Papaku.""Saya perlu bertanya dulu pada Tuan Besar.""Tidak usah bertanya. Aku ini anaknya. Aku bisa menemuinya kapanpun aku mau."Tanpa mempedulikan larangan dari asisten ayahnya, Denzel menerobos masuk. Ia melihat ayahnya sedang berbicara serius dengan seorang pria. Namun pria itu mengenakan topeng untuk menyembunyikan wajahnya."Denzel, angin apa yang membawamu datang kesini?""Aku ingin bicara empat mata dengan Papa. Tolong minta dia pergi sebentar.""Pasti kamu ingin membicarakan tentang Rose Black. Apa kamu sudah melamarnya? Katakan saja, tidak ada yang perlu ditutupi.""Aku tidak mau membicarakan masalah pribadi di hadapan orang asing," ketus Denzel."Dia adalah sekutu kita, bukan orang asing."Pria bertopeng itu beranjak d
Rose turun ke lantai bawah dengan wajah masam. Esme dan Benjamin sampai keheranan melihat ekspresi kesal Rose di pagi hari."Ben, tolong turunkan lukisanku dari lantai tiga. Aku akan membawanya ke mobil," kata Rose duduk di meja makan. Mau tidak mau ia harus membawa lukisannya daripada datang ke kampus dengan tangan hampa."Baik, Nona."Esme membuatkan sandwich sayuran untuk Rose sambil menatap lamat wajah gadis itu."Nona Rose, Tuan Muda mempekerjakan supir baru. Katanya dia bertugas mengantar jemput Nona setiap hari. Badannya sangat besar, lebih mirip mafia daripada supir," terang Esme."Dimana supir itu?""Di halaman depan, Nona.""Esme, terima kasih atas sandwichnya. Aku akan berangkat ke kampus sekarang.""Tapi Nona baru makan sedikit sekali.""Lain kali aku akan makan lebih banyak," jawab Rose melambaikan tangannya.Benar saja saat menuju ke mobil, supir bernama Noah itu telah siap menunggunya. Dengan tangannya yang besar, Noah membantu Ben memasukkan lukisan ke dalam mobil.Sep