Rose berlari menuju ke pinggir jalan. Beruntung terdapat beberapa pejalan kaki yang lewat sehingga menghalangi pandangan pria berhodie hitam itu. Ketika sampai di area parkir, Rose langsung masuk ke mobilnya. Tanpa membuang waktu, ia menyalakan mesin mobil lalu mengemudikan mobilnya ke jalan raya. Laju mobil Rose sama dengan kecepatan irama jantungnya yang berdebar kencang. Sesekali ia melihat dari kaca spion untuk memeriksa apakah pria misterius itu mengejarnya. Tidak ada yang mencurigakan. Semua mobil yang ada di belakangnya adalah mobil biasa. Meskipun begitu, Rose tidak mengurangi kecepatan mobilnya. Yang diinginkannya saat ini hanyalah sampai di mansion secepat mungkin. Entah berapa lama Rose berkendara hingga akhirnya ia tiba di mansion keluarga Brown. Di depan gerbang, mobil Rose tiba bersamaan dengan sebuah mobil Roll Royce berwarna hitam. Melihat kedatangan kedua mobil itu, security mansion bergegas membukakan gerbang. Si pengemudi Roll Royce membunyikan klakson berulang k
Rose tidur dengan nyenyak karena fisik dan mentalnya terlalu lelah. Semalaman ia tidak keluar dari kamar. Esme memberitahu Rose bahwa pada malam hari para pelayan akan tinggal di paviliun yang terletak di belakang mansion. Ini artinya di dalam mansion hanya ada dirinya dan Luke. Karenanya Rose tidak mau mengambil resiko untuk berurusan dengan pria itu. Baru pada pagi hari, Rose membuka pintu kamarnya ketika jam sarapan tiba.Rose sudah berpakaian rapi dengan atasan berwarna kuning cerah dipadu bawahan hitam. Hari ini ia akan melepas kepenatan dengan berkunjung ke panti asuhan St. Bernadeth. Rose ingin sekali melupakan semua peristiwa menakutkan yang dialaminya kemarin."Selamat pagi, Nona," sapa Esme dan Benyamin."Pagi," jawab Rose tersenyum.Di ruang makan, Luke sama sekali tidak terlihat. Dan hal itu membuat Rose sangat lega. Ia bisa menikmati sarapan dengan tenang tanpa gangguan dari pria itu."Nona, ingin sarapan apa? Bubur, roti panggang, atau omelette?" tanya Esme."Roti pangga
Sambil menunggu sang donatur datang, Rose berkeliling di bangunan tua itu. Ia melihat kamar tidur anak-anak yang tertata rapi namun dengan seprai dan selimut seadanya. Begitu pula dengan menu makan sederhana yang akan disajikan untuk makan siang mereka. Semua kenyataan ini mengingatkan Rose pada nasibnya sendiri sebelum ia menjadi pewaris Brown Group.Hati Rose tergerak untuk meringankan beban penderitaan anak-anak panti. Mulai bulan depan ia akan meminta Denzel menyumbangkan sejumlah dana secara teratur untuk membiayai pendidikan mereka."Suster, boleh saya mengajarkan anak-anak untuk menggambar dan mewarnai?" tanya Rose meminta izin kepada Suster Kepala."Silakan Nona Rose. Anak-anak pasti senang sekali."Setelah mendapat izin, Rose langsung berjalan ke pekarangan untuk menemui anak-anak yang sedang bermain."Apa hari ini kalian mau belajar menggambar?" seru Rose."Mau," jawab mereka serempak."Kalau begitu ayo kita masuk ke dalam dan bawa bingkisan kalian masing-masing."Rose dan G
Setelah berpamitan kepada anak-anak, Rose diantar oleh Suster Kepala hingga sampai di depan pintu keluar panti."Suster Mary, terima kasih karena saya diberikan kesempatan untuk mengenal anak-anak.""Saya yang seharusnya mengucapkan terima kasih, Nona Rose. Hari ini anak-anak senang sekali bisa belajar menggambar. Semoga tugas akhir Nona Rose berjalan lancar," ucap Suster Kepala bersalaman dengan Rose.Saat melewati Luke, Rose tidak mengucapkan apapun. Gwen-lah yang mengambil inisiatif untuk berpamitan kepada pria itu."Tuan Luke, kami pulang dulu," ucap Gwen mengembangkan senyum termanisnya."Silakan," jawab Luke.Rose segera menarik tangan Gwen supaya masuk ke dalam mobil."Rose, kenapa kamu buru-buru sekali? Sebenarnya aku masih ingin bicara dengan Luke Brown. Ini kesempatan langka aku bisa bertemu dia di panti asuhan.""Kamu bisa bicara sepuasnya dengan Luke Brown hari Senin nanti di kampus. Aku tidak akan mengganggu kalian," jawab Rose menyalakan mesin mobilnya."Kamu aneh sekali
"Kira-kira kenapa ya pria tadi mengejar kita? Apa dia ingin menculik kita?" tanya Gwen membulatkan mata."Aku juga tidak tahu. Gwen, aku akan mengantarmu pulang ke rumah. Besok saja kita pergi ke kampus.""Iya, Rose. Kamu juga harus segera pulang ke rumah. Jangan mengambil resiko dengan berkendara sendirian di jalan. Siapa tahu pria itu masih berusaha mengejar mobilmu."Rose mengangguk. Ia menurunkan kecepatan mobilnya sambil mengemudi dengan konsentrasi penuh. Rose merasa bertanggung jawab atas keselamatan Gwen. Gara-gara ikut dengannya ke panti asuhan, sahabatnya itu ikut mengalami kejadian yang menegangkan."Thanks, Rose. Kamu tidak mampir ke rumahku?" tanya Gwen sebelum melangkah ke pekarangan rumahnya"Lain kali saja, Gwen.""Okey, Rose, hati-hati. Jika pria itu sampai mengikutimu lagi cepat hubungi polisi.""Iya, Gwen. Sampai jumpa besok di kampus."Setelah Gwen masuk dengan selamat ke rumahnya, Rose memutar balik mobilnya. Sembari memastikan tidak ada yang mengikutinya, Rose me
Denzel duduk di sebelah Rose. Ia menatap Rose dengan intens sebelum mengajukan pertanyaan."Apa Nona mengenali wajah pria yang mengikuti Nona di jalan?"Rose menggeleng pelan."Tidak, Daddy. Pria yang pertama memakai masker dan yang kedua mengenakan kaca mata hitam. Wajah mereka tidak terlihat dengan jelas.""Siapa saja orang yang Nona temui akhir-akhir ini?" tanya Denzel mencari tahu."Luke dan Hendrick Brown."Denzel menautkan alisnya ketika mendengar nama Hendrick Brown. Ia tahu benar bagaimana kelicikan dan ketamakan pria itu. Biarpun ia adalah adik kandung Louis, tapi Hendrick selalu berambisi untuk merampas harta kekayaan kakaknya. Hendrick juga pernah menjadi tersangka atas kasus kematian Louis Brown. Namun demikian Denzel memilih untuk menumpahkan kecurigaannya kepada Luke. Ia ingin Rose menjauhi Luke agar tercipta jarak yang semakin lebar antar keduanya."Nona, para penguntit itu kemungkinan adalah suruhan Luke Brown. Dia menganggap Nona sebagai penghalangnya dalam menjual ma
Di antara temaram lampu jalanan, terlihat siluet bayangan hitam seorang wanita. Wajahnya tersembunyi di balik masker dan jubah hitam yang menudungi kepalanya. Hanya bagian mata wanita itu yang terlihat dari luar.Ia menoleh sebentar ke belakang. Setelah memastikan tidak ada orang yang membuntutinya, wanita itu berjalan menuju gang sempit di ujung jalan. Sepanjang tembok yang dilaluinya dipenuhi coretan gambar berwarna warni, pertanda banyak anak jalanan yang lewat di lokasi tersebut.Wanita itu berhenti ketika melihat dua orang pria telah berdiri menantinya. Salah satu pria memegang tongkat di tangannya, sedangkan pria yang lain mengenakan topeng berwarna keperakan. Wanita itu bisa merasakan aura menyeramkan yang terpancar dari kedua orang pria di hadapannya."Tuan, saya sudah datang," ucap sang wanita."Bagus, apa semua aman?""Iya, Tuan."Pria bertopeng itu menyerahkan sebuah amplop coklat tebal kepada si wanita."Mulai besok lakukan seperti yang kami perintahkan. Buat gadis itu ket
Melihat ekspresi terpukul di wajah Rose, para mahasiswa mencoba menghiburnya. "Sabar, Rose. Masih ada waktu untuk memperbaiki lukisanmu." "Iya. Coba selidiki siapa yang sengaja merusak lukisanmu," tambah mahasiswa yang lain. Rose tidak menjawab. Ia mengambil lukisannya yang dari easel lalu menggulungnya perlahan. Meskipun hatinya hancur, Rose tidak mau menangis. Toh, air mata tidak akan pernah menyelesaikan masalah. Yang dia butuhkan saat ini adalah ketegaran dan sikap pantang menyerah. Dia akan membuat lukisan baru dan menyelesaikannya secepat mungkin, agar tidak melebihi batas waktu yang diberikan oleh Luke Brown. "Rose, ada apa?" tanya Gwen melihat para mahasiswa menatap sahabatnya itu dengan rasa iba. "Lukisanku, Gwen...." Gwen menggambil gulungan lukisan yang dipegang Rose. Matanya langsung melotot saat melihat lukisan Rose yang berantakan. "Kita harus melaporkan ini kepada Mr. Zack supaya pelakunya ditangkap. Dia harus dijatuhi sanksi yang berat." Sambil memasang kanvas y