Kelihatannya memang pulas, tetapi Raden Prana Kusuma tidak lengah. Batin pemuda itu sangat peka dengan keadaan sekitarnya, apalagi dia telah tahu adanya bahaya dari Bimala dan Elakshi.
Dua wanita raksasa yang selalu mengejar Sekar Pandan itu sewaktu-waktu bisa membuat keributan. Dia tidak ingin mencelakakan pemilik pondok.Di luar pondok, berkelebat dua bayangan wanita besar yang tidak lain adalah Bimala dan Elakshi. Keduanya berjalan ke tengah halaman dengan gagah. Sorot mata mereka tajam menatap rumah itu. Mereka tahu, Sekar Pandan dan Pedang Sulur Naga ada di dalam sana.Merasakan kehadiran wanita itu, Raden Prana Kusuma membangunkan Sekar Pandan. "Lawan telah menunggu di halaman pondok ini," bisiknya.Sekar Pandan terkejut mendengar kabar itu. Sigap, gadis perkasa itu menyambar pedang dan tas anyaman pandan yang berisi bubuk hijau beracunnya. Dia menyusul Raden Prana Kusuma yang telah mengintip ke luar lewat lubang jendela.Di halamaRaden Prana Kusuma terhuyung ke samping. Kalau tidak berpegangan pada dinding bangunan pemujaan, pasti tubuhnya telah ambruk. Wajahnya terasa remuk karena pukulan Elakshi. Dengan tangan kirinya, pemuda itu meraba wajahnya yang membiru. Rasanya sakit bukan main.Senopati Prana Kusuma meringis menahan sakit. Wajah tampan bak pualam itu kini membiru. Dari lubang hidung, merembes darah merah kehitaman. Masih untung hidung mancungnya tidak patah."Kau!" Dia mendengkus marah pada Elakshi. Wanita itu menatapnya dengan sinis dan bersiap menyerang kembali, tetapi urung.Tanpa disangka, Bimala menjerit-jerit sambil berusaha melepas pedang di tangannya. Sontak, keduanya mengalihkan pandangan ke Bimala. Dengan memegangi wajahnya, Raden Prana Kusuma duduk di undakan pondok. Ki Kriwil dan beberapa warga dusun berlari menghampirinya. Tampaknya Ki Kriwil mengkhawatirkan tamunya itu. "Raden terluka parah," gumam Ki Kriwil menatap wajah di depannya.
Sekar Pandan menghentikan goresan di telapak tangan itu. Dia memerhatikan wajah lebam di depannya dengan iba. Tangannya terangkat ingin menyentuh. Dalam hati gadis itu kasihan dengan wajah Raden Prana Kusuma. Namun, saat ini dia tidak mungkin membuat obat boreh untuknya."Elakshi, kerahkan semua kekuatanmu! Sebentar lagi kekuatan pedang iblis ini akan mengendur!" Bimala berteriak. Elakshi mengangguk. Keduanya mengeluarkan seluruh kekuatan yang dimiliki untuk menaklukkan Pedang Sulur Naga.Pamor pedang itu makin terang bahkan warna hijaunya makin pekat. Pertarungan itu memang tidak terlihat oleh semua warga, tetapi membuat Bimala dan Elakshi bekerja keras mempertahankan nyawa. Otot-otot mereka terlihat menyembul dari leher dan lengan. Keringat sebesar jagung saling menetes dari tubuh besar mereka."Aku sudah tidak kuat, Bimala." Kekuatan Elakshi mulai mengendur, bahkan Bimala bisa merasakan. Tidak hanya kekuatan kawannya, kekuatannya sendiri pun sama, sedan
Sekar Pandan tersenyum. Matanya tidak lepas dari bulan di atas sana. Dia paling suka melihat bulan purnama. Dia menyakini bahwa bulan itu penampakan ibunya yang telah meninggal saat melahirkan dirinya. Kata kedua bibi pengasuhnya, kecantikan ibunya laksana bulan purnama di langit."Di tempat itu ada air terjun, sungai dan pepohonan yang rindang dan teduh. Sekar, kau tahu di mana tempat itu berada?"Sekar Pandan tidak menjawab. Dia masih sibuk menatap wajah bulan.Raden Prana Kusuma menyentuh pundak gadis itu. Barulah Sekar Pandan tersadar. Dia mengangkat kedua alis melengkungnya."Jadi kau tidak mendengarku?"Sekar Pandan menatapnya heran. Raden Prana Kusuma mendesah, "Sudahlah. Mungkin hanya aku sendiri yang terlalu berpikir aneh."Dengan hati dongkol pemuda itu melangkah pergi dengan diiringi tatapan tidak mengerti Sekar Pandan. Gadis itu memang tidak mendengar gumaman Raden Prana Kusuma karena dia sendiri sibuk berbicara di da
Gadis itu menepis tangan Raden Prana Kusuma dengan kesal. Sampai kapan pun dirinya tidak akan bisa bersaing dengan sang putri. Kalau tiba-tiba Raden Prana Kusuma mencampakkan dirinya dan lebih memilih putri itu, Sekar Pandan tidak bisa berbuat apa-apa.Dengan lembut, diraihnya telapak tangan Sekar Pandan. Gadis itu menarik tangannya. Hatinya masih kesal. Namun, cekalan Senopati Prana Kusuma lebih kuat."Aku tidak menyalahkan dirimu. Itu salah satu tidak enaknya menjadi aku yang tinggal di kota raja, apalagi menjadi keluarga bangsawan. Kami boleh mempunyai banyak wanita, jika mau. Gadis-gadis di dalam dan di luar kota raja cantik-cantik. Kami tinggal milih. Sekali lagi tidak semua laki-laki seperti itu."Sekar Pandan melirik Raden Prana Kusuma yang terus berbicara sambil menggenggam tangannya. Dia memang selalu percaya dengan pemuda ini, tetapi tidak dengan Putri Dewi Gayatri.Keduanya menghabiskan malam berdua sambil mengobrol di bawah sinar bulan
Mendengar suara keras dari atap pondok, anak dan istri Ki Kriwil terbangun. Dengan muka pucat karena ketakutan, mereka menuju asal suara keras tersebut. Wajah tiga wanita itu terkesiap saat melihat ke atas.Atap pondok mereka jebol dan rusak. Kayu-kayu jatuh berserakan di bawahnya.Anak bungsu Ki Kriwil bergegas menuju pintu yang sebagian daunnya telah rusak. Gadis berbadan kurus dengan rambut tergerai sebahu itu menjerit sekuatnya. Di halaman pondok, dia melihat ayahnya tengah tergeletak dan dihampiri sosok tinggi besar berambut kriting gimbal."Ada apa, Nduk?" Ibunya bertanya.Gadis itu langsung memeluk ibunya dengan ketakutan. Air matanya telah jatuh dari tadi. "Ayah," lirihnya.Anak sulung Ki Kriwil segera berlari ke luar menghampiri tubuh ayahnya yang pingsan."Ayah." Dia menghambur dan memeluk tubuh kurus Ki Kriwil.Sosok laki-laki tinggi besar itu mendengkus. Tubuhnya membungkuk. Jari-jarinya yang berukuran b
Sekar Pandan melompat ke arah tubuh Ki Kriwil yang masih pingsan di tengah halaman. Tubuh renta itu tergeletak tak sadarkan diri di dekat tubuh Bimala dan Elakshi. Serangkum angin serangan dari belakang tiba-tiba menerjang tubuh ramping Sekar Pandan. Rupanya Hang Dineshcarayaksa tidak ingin gadis itu menyelematkan orang yang dia lempar ke halaman. Dia juga ingin Sekar Pandan tewas karena telah melumpuhkan Bimala dan Elakshi.Merasakan serangan, gadis itu membuang tubuhnya ke samping. Dia bergulingan sejenak sebelum melompat tinggi sambil mengirimkan pukulan tangan kosong ke Hang Dineshcarayaksa. Ajian Ombak Memecah Karang melabrak tubuh besar penguasa dasar jurang Hung Leliwungan.Hang Dineshcarayaksa yang mendapat pukulan balasan dengan kekuatan besar berteriak nyaring sambil melompat tinggi. Demikian pula dengan Raden Prana Kusuma. Pemuda itu juga menghindar dari serangan Sekar Pandan. Cahaya kuning kemerahan bablas dan menghantam sebatang pohon pisang.
Raden Prana Kusuma memerhatikan tulang itu. Dia tahu, itu bukan tulang biasa. Tokoh sakti seperti Hang Dineshcarayaksa tidak mungkin membawa tulang biasa. Tulang panjang di tangan Hang Dineshcarayaksa adalah tulang yang menjadi senjata pusaka kelompok mereka. Kekuatan dan kekerasan tulang itu tidak jauh beda dengan tembaga yang menjadi bahan senjata pada umumnya. Walaupun tidak seperti senjata sakti. Tulang manusia yang mereka gunakan sebagai senjata adalah tulang manusia pilihan. Manusia yang memiliki tulang kuat layaknya tulang para pendekar, yang mereka korbankan. Mereka melakukan upacara khusus agar tulang-tulang itu dapat digunakan sebagai senjata pusaka. Tidak hanya dengan upacara, tulang-tulang itupun masih menyimpan kekuatan ruh pemiliknya. Ruh yang telah berubah jahat karena dipengaruhi iblis."Tulang di tanganmu itu kurasa adalah senjata yang sangat hebat. Untuk apa kau menginginkan keris ini dan juga pedang milik Sekar Pandan?" Kedu
Sekar Pandan membawa pedang di tangannya demikian lincah. Menyelinap di bagian tubuh Hang Dineshcarayaksa yang terbuka tanpa perlindungan. Senyum yang semula lebar pada Hang Dineshcarayaksa kini berubah cemas.Pasalnya, pedang itu seperti bernyawa di tangan pemiliknya. Berkali-kali, mata pedang hampir melukai kulit gelap sang penguasa dasar jurang Hung Leliwungan."Sontoloyo! Gadis ini sekarang lebih hebat dari sebelumnya," gumam laki-laki tinggi besar itu.Hang Dineshcarayaksa melompat ke belakang dan terus melayang menggunakan ilmu meringankan tubuh, sementara Pedang Sulur Naga yang ujungnya mengarah ke dadanya terus mengejar tanpa ampun.Dia memutar tubuhnya kemudian mengayunkan ujung tulang di tangannya ke punggung Sekar Pandan. Gadis itu terkesiap. Cekatan tubuhnya membungkuk lalu melemparkan ujung selendang dari jarak dekat ke lawan.Tangan kiri Hang Dineshcarayaksa menangkap ujung selendang dengan cepat, memutar, dan menarik kuat k