Evan tidak melihat istrinya saat membuka pintu rumah, jadi pria ini mengira jika istrinya sedang berada di dalam kamar mertuanya, tetapi ternyata Adhitia masih sendiri di atas kursi roda yang menghadap pada sinar matahari pagi. Sengaja, Evan berjongkok di hadapan mertuanya yang tidak dapat melakukan gerakan apapun. “Apa penyakit Papa bertambah parah, hm ...? Papa terlihat seperti bayi yang barusaja lahir, tidak dapat melakukan apapun.” Caranya menatap Adhitia memang lembut, tetapi senyuman sarkasme menemani raut wajahnya.“Di mana Aisha, apa putri Papa sudah bosan menemani Papa karena ternyata orangtua yang tersisa tidak memiliki kemajuan apapun. Mengenaskan sama sekali.” Evan menggelengkan kepalanya bersama tawa sarkasmenya walaupun hanya menggunakan volume kecil, tetapi sudut matanya seolah ingin membunuh Adhitia saat ini juga.‘Evan bisa membunuhku kapan saja, tapi bukan itu yang aku khawatirkan. Aku takut Evan mengincar Ansel dan Aisha!’ Kata hati Adhitia yang sangat ingin diungka
Ansel mengerjap kecil saat seseorang mengenalinya. Seharusnya ini bukanlah hal aneh, tetapi setelah sekian lama dirinya tidak berada dalam lingkungan kehidupan elit membuatnya seakan terisolasi dari kepopulerannya sebagai penakluk akal sehat wanita sekaligus seorang CEO handal, maka saat ini dirinya merasa janggal pada wanita di hadapannya. “Bukan,” dustanya untuk mengetahui sejauh apa wanita ini mengetahuinya. “Apa saya salah ya ....” Rima menggaruk kecil sisi kepalanya. “Maaf Mas, Mas mirip sekali dengan suami saudara saya, Alea. Dulu kami tumbuh bersama di panti asuhan, di saat terakhir Mas Ansel ikut mengantar Alea saat berpamitan. Maaf, Mas sangat mirip,” kekeh renyah Rima, tetapi terdengar manis. Pun, saat ini Ansel ikut terkekeh kecil, “Ada banyak manusia yang mirip. Tapi itu bukan saya. Permisi, Mbak.” Segera, Ansel meninggalkan tempat itu, pun dengan sengaja juga pria ini tidak mengakui jati dirinya karena mungkin kehidupannya yang sekarang akan terbongkar. Bukan karena min
Langkah Ansel terhenti dan membiarkan mobil melaju melewatinya. “Sial, kenapa aku harus melamun. Hampir saja aku membuat hidup kami semakin rumit. Ck!” omelan mengarah pada dirinya sendiri. Sesampainya di gedung, orderan segera diserahkan. “Promonya satu minggu ini. Jadi jangan sampai kehabisan,” kekeh hangatnya saat mempromosikan bisnis sang istri pada kawan-kawannya. Hari ini tidak ada pesta, tetapi nama Ansel menjadi perbincangan pada semua kawannya. “Semua kawan kita sudah tahu kalau kamu Tuan muda Ansel,” ucap salah satu rekannya. Ansel tersenyum kecil dan hambar. “Bagaimanapun statusku jangan dianggap ada toh yang kalian lihat aku di sini sebagai penjaga keamanan.” “Tapi kenyatan tentangmu mendarah daging pada kita bahwa kamu adalah pewaris pemilik berlian. Itu hebat kawan!” Bukan hanya satu orang saja yang memuji garis keturunan Ansel, tepi semua kawannya yang kebetulan satu sift dengannya. Senyuman Ansel semakin hambar. “Lupakan saja. Aku di sini membaur dengan kalian.” A
Alea memberikan jawaban dengan bijak dan tetap santun, “Kami mendapatkan rezeki tidak terduga, maka dari itu sebagai salah satu cara mensyukuri rezeki dari Tuhan, kami memanfaatkannya sebaik mungkin.” Kekeh sejuk nan manis adalah pelengkapnya begitupun dengan sikap ramah yang tidak pernah mengalami penurunan.Wanita tua ini berkerling, sedangkan yang lainnya ikut senang dan mensyukuri rezeki tidak terduga dari Tuhan yang didapatkan keluarga Ansel.Namun, saat wanita itu berlalu, dia menyebarkan rumor. “Mungkin neng Alea maling makannya sebulan bekerja langsung mengundurkan diri!”“Hus, tidak mungkin!” Pemilik warung segera membantah. Tempatnya ini memang sering menjadi sarang perkumpulan ibu-ibu.“Lalu rezeki dari mana? Suaminya barusaja bekerja sekitar dua bulan menjadi satpam, sedangkan neng Alea baru satu bulan bekerja di pabrik sudah bisa membuka toko, sampai-sampai mengundurkan diri.”“Mungkin bos suaminya sangat baik.”“Walaupun baik tidak mungkin tiba-tiba memberi uang sampai k
Aisha segera menangkup mulutnya hingga selama beberapa saat dirinya tidak mampu berkata-kata. “A-apa kondisi papa semakin parah?”“Iya, Nyonya. Saya tidak dapat melakukan penanganan di sini karena saya membutuhkan bantuan peralatan medis,” tutur jelas dokter.Segera, Aisha mengangguk menyetujui saran dari dokter. “Kami akan membawa papa!”Saat ini Evan menggambar wajah datar karena tidak menyukai keputusan yang diambil Aisha karena tentu saja pria ini inginkan kondisi Adhitia yang memburuk akan membawanya pada ajal. Namun, saat ini Aisha tidak membutuhkan izin dari Evan, lagipula kali ini terdapat dokter di sisinya yang membuatnya merasa memliki kekuatan lebih untuk memperjuangkan kesembuhan Adhitia.Maka, dengan berat hati Evan membawa mertua serta istrinya masuk ke dalam mobil, mengantar mereka ke rumah sakit. Sementara, dokter sudah melaju lebih dulu, pria itu memimpin maka saat ini Evan semakin membatu, tidak dapat melakukan apapun selain membawa Adhitia ke rumah sakit. ‘Ck. Mati
Sebenarnya Aisha masih bisa mencoba menghubungi Ansel, hanya saja wanita ini pikir mungkin besok lebih baik jika Ansel memilih mengabaikan panggilan Evan mungkin kakaknya sedang benar-benar sibuk.Hati Ansel semakin tidak karuan walaupun sudah mendengar kabar tentang anak dan istrinya. “Ada apa ya, kenapa rasanya berbeda?” Dadanya dipegangi hingga salah satu kawannya mengajukan pertanyaan sebagai tanda pedulinya pada sesama. “Ada apa kawan, kau tidak fit hari ini?” kekeh santainya. “Aku sangat fit.” Ansel menepuk bahu kawannya dengan sikap santai serupa hanya saja senyumannya terlukis tipis dan singkat. “Kau seorang putra dari salah satu pemasok berlian di sini. Jika aku jadi dirimu, aku akan meminta pada ayahku untuk mendapatkan pekerjaan lebih baik.” Ini adalah yang dipikirkan semua satpam tentang Ansel.“Pekerjaan ini juga sudah baik.” Senyuman samar Ansel. Selama ini dirinya hanya buruh serabutan, tentu saja menjadi satpam dengan gaji lebih tinggi dibandingkan penjaga keamanan
“Kamu di mana, kenapa belum pulang?” Nada suara Alea dipenuhi cemas. Ansel terkekeh kecil dan singkat, “Maaf ya Sayang, aku lupa memberi kabar karena aku pergi terburu-buru meninggalkan gedung.” Terdapat perasaan bahagia saat Alea mencarinya, hanya saja yang akan disampaikannya hanya kabar buruk.“Memangnya kamu pergi kemana?” heran Alea. “Eu-ini Sayang. Aku ... di rumah sakit karena kesehatan papa menurun,” desahnya cukup panjang. “Hah, papa?” Khawatir Alea segera berpindah pada mertuanya yang sudah dianggapnya sebagaimana orangtuanya sendiri, “lalu sekarang bagaimana?”“Sekarang keadaan papa mulai stabil, tapi mungkin papa butuh dirawat selama beberapa hari.”“Ya Tuhan ....” Alea mengusap dadanya, wajah Adhitia mengisi setiap ruangan ingatannya. “Apa yang terjadi, bukankah selama ini keadaan papa selalu stabil? Aisha selalu mengurus papa dengan sangat baik.” Kini, wajah Aisha ikut mengisi ruang ingatannya. “Ya, Aisha berjasa besar, Aisha sudah menjaga papa dengan sangat baik, ta
Hari ini produksi berlian meningkat, maka Evan harus mengunjungi pabrik serta pertambangan berlian milik Adhitia yang sudah jatuh ke tangannya. Selembar kertas laporan membuatnya tersenyum puas. “Seharusnya kalian melihat ini karena semenjak perusahaan jatuh ke tanganku, perkembangannya sangat pesat. Berbeda dengan cara kerja kalian yang lamaban.” Senyuman puas dipasang untuk memuji prestasinya sekalian mengejek Adhitia dan Ansel. Pun, saat ini Dewa-ayahnya Evan masuk dalam daftar pertemuan kolega. Dewa dan Adhitia sudah menjadi rekan bisnis sejak lama, bahkan alasan persahabatan inilah yang membuat keduanya menikahkan keturunan mereka. Namun, Dewa yang semula adalah teman baik Adhitia sudah berubah serakah, tidak berbeda dengan Evan, dia menjadi pisau bermata dua yang juga mematikan setelah putranya. “Nak,” sapa Dewa saat memasuki ruangan rapat yang sudah berisi Evan. “Selamat datang, Pa,” sambutan hangat Evan bersama senyuman mengembang. Pukul sepuluh tiba, Ansel meninggalkan ad